Mensana Incorpore Sano (di dalam tubuh yang sehat terdapat Jiwa yang sehat) adalah frase yang sering sekali digunakan dalam konteks olahraga dan pendidikan ini memiliki makna yang sangat penting. Berawal dari Juvenal, seorang penyair Romawi kuno yang menuliskan Satire X – sebuah kumpulan puisi satir – untuk menyebarkan pemahaman kepada para masyarakat Romawi kuno bahwa doa-doa kepada Tuhan untuk memiliki umur panjang bukanlah sesuatu yang tepat sasaran jika ingin berdoa. Juvenal menuliskan dalam Satire X, Orandum Est Ut Sit Mensana Incorpore Sano. Guru Besar Filsafat Damardjati Supadjar, pernah mengatakan bahwa jika diterjemahkan ke dalam Bahasa Indonesia, maka dapat diartikan “Marilah kita berdoa agar dalam tubuh yang sehat terdapat pula jiwa yang sehat.”

Dalam konteks real saat ini, apakah frase Mensana Incorpore Sano tetap relevan? Lalu bagaimana dengan fenomena begitu banyak orang yang menjaga kesehatannya dengan tetap berolah raga dan menjaga pola makan, tetapi dalam kesehariannya ia mengalami tekanan luar biasa, baik dari tempatnya bekerja, atau dalam konteks pemenuhan tuntutan budaya, dsb? Pada akhirnya frase Mensana Incorpore Sano mengalami perubahan konteks seiring dengan perkembangan zaman.

Jika kita menelaah lebih lanjut dari apa yang dituliskan oleh Juvenal dapat dilihat bahwa belum tentu dalam tubuh (fisik) yang sehat terdapat jiwa yang juga sehat, dan kedua hal ini tidak dapat dipisahkan satu sama lain. Tubuh perlu dalam keadaan sehat agar jiwa juga sehat dan begitu juga sebaliknya. Jiwa perlu dalam keadaan yang sehat agar tubuh juga dalam keadaan yang sehat.

Tanpa kita sadari, terkadang kita merasa baik-baik saja secara fisik. Tidak luka, tidak memar, atau tidak memiliki masalah lainnya yang terlihat secara fisik. Dengan kata lain terlihat baik-baik saja dan tidak ada masalah, bahkan kita masih bisa tersenyum ataupun tertawa. Tetapi terkadang kita lupa bahwa mungkin jiwa kita sedang tidak dalam keadaan yang baik. Tidak percaya? Sekarang jika seseorang bertanya kepada Anda “Apa kabar?”, biasanya apakah jawaban Anda? Mayoritas mungkin akan berkata “Baik”, padahal bisa saja saat itu sedang stres memikirkan pekerjaan yang sudah tenggat waktu. Kata baik ini selain menjadi sebuah jawaban yang menggambarkan sopan santun, juga sebuah jawaban yang lebih menyatakan keadaan fisik seseorang di saat itu. Contoh lainnya adalah ketika kita mengalami masalah dan mengalami stres, terkadang kita bisa sampai merasakan sensasi sakit di bagian tubuh tertentu yang tidak ada penjelasannya secara medis. Secara fisik, ya akan terlihat baik-baik saja sebetulnya dan tidak ada penjelasan medis mengenai penyebab sakit di bagian tubuh kita itu.

Sehingga rasa-rasanya, penggalan frase yang pernah ditulis oleh Juvenal dalam Satire X tidak hanya cocok dalam konteks olahraga maupun pendidikan, tetapi juga cocok sebenarnya dalam kehidupan kita sehari-hari. Kedua contoh di atas hanya merupakan sebagian kecil dari apa yang kita alami dalam kehidupan kita sehari hari. Melalui Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) yang dilakukan pada tahun 2013, tercatat bahwa prevalensi masyarakat Indonesia untuk mengalami gangguan kesehatan jiwa sebesar 1,7 per mil atau dengan kata lain 1-2 orang dari 1.000 penduduk Indonesia mengalami gangguan kesehatan jiwa. Angka yang cukup besar jika kita mau menghitung seluruh populasi penduduk Indonesia.

Angka yang Terus Bertambah

Setiap tahunnya data masyarakat yang mengalami gangguan kesehatan jiwa terus bertambah. Dari data Riskesdas tahun 2007 tercatat bahwa prevalensi masyarakat yang mengalami gangguan kesehatan jiwa sebesar 11,6 persen dan belum setinggi prevalensi data di tahun 2017. Lalu hal apa yang menyebabkan angka ini terus bertambah setiap tahunnya? Salah satu penyebabnya adalah belum adanya kesadaran bahwa kesehatan jiwa atau kesehatan jiwa juga sama pentingnya dengan kesehatan fisik. Jika kita ingin mengacu kembali pada frase Mens Sana Incorpore Sano, dan hubungan antara fisik – jiwa tidak bisa dipisahkan, maka jangan-jangan selama ini kita juga cukup sering menyalahartikan frase yang telah dituliskan oleh Juvenal tersebut. Sering kali kita tidak menyadari bahwa kesehatan jiwa kita juga sama pentingnya dengan kesehatan fisik. Selama kita tidak merasakan kendala fisik, sering kali kita artikan bahwa keadaan kita sedang baik-baik saja. Padahal jika kita melihat kembali contoh di atas, sebenarnya keadaan jiwa kita tidak dalam keadaan yang baik. Bila peristiwa itu sering terjadi jangan mengabaikannya, dan kita perlu menyadari untuk meminta pertolongan profesional.

Kesadaran akan kesehatan jiwa juga berhubungan dengan pandangan masyarakat mengenai gangguan kesehatan jiwa. Masyarakat masih banyak yang beranggapan bahwa gangguan kesehatan jiwa adalah gangguan atau penyakit-penyakit kejiwaan berat seperti skizofrenia, bipolar, ataupun psikopat. Padahal sebenarnya penyakit gangguan kejiwaan ada banyak, bahkan depresi juga masuk ke dalam penyakit gangguan kejiwaan. Pandangan masyarakat yang masih sangat awam mengenai kesehatan jiwa dan gangguan kesehatan jiwa menyebabkan stigma pada orang-orang yang memang membutuhkan pertolongan profesional. Bahkan terkadang menghambat orang-orang yang sudah merasa membutuhkan pertolongan profesional menjadi ragu untuk mengakses pertolongan tersebut, karena khawatir akan mengalami perundungan dan di label gila.

Kesehatan dan Keselamatan Jiwa di Tempat Kerja

Pemahaman mengenai kesehatan jiwa menjadi sangat penting karena jika tidak memahami bahwa kesehatan jiwa sama pentingnya dengan kesehatan fisik, pada akhirnya angka gangguan kesehatan jiwa di Indonesia akan terus meningkat. Pemahaman kesehatan jiwa ini juga tidak hanya penting untuk diaplikasikan ke dalam kehidupan sehari-hari tetapi juga menjadi penting untuk memahami kesehatan jiwa di tempat kerja.

Ragam pekerjaan yang ada di Indonesia memiliki risikonya tersendiri yang dapat mengganggu kesehatan jiwa pekerjanya. Mulai dari hubungan antara atasan dengan bawahan, hubungan antara sesama pekerja, hubungan antara satu divisi dengan divisi lainnya, bahkan iklim kerja di suatu tempat kerja memiliki pengaruh terhadap kesehatan jiwa para pekerjanya. Perjalanan dari rumah ke tempat kerja maupun dari tempat kerja ke rumah, juga dapat menjadi salah satu faktor risiko yang mengancam kesehatan jiwa seseorang. Misalnya saja, jalanan yang sangat macet dan cuaca panas lebih meningkatkan risiko bagi seorang pekerja untuk mengalami gangguan kesehatan jiwa. Mungkin terdengar sepele, namun kondisi jalanan yang kurang kondusif lebih mudah membuat seseorang untuk mengalami stres. Jika ditambah dengan kondisi kerja yang kurang kondusif bagi pekerjanya, maka risiko para pekerja untuk mengalami gangguan kesehatan jiwa akan semakin lebih tinggi.

Di Indonesia sendiri sudah ada Undang-undang Keselamatan Kerja yang mengatur tentang keamanan dan keselamatan kerja, namun sisi kesehatan jiwa belum menjadi salah satu faktor yang utama. Sejauh ini masih mengedepankan sisi kesehatan secara fisik. Hal ini mungkin juga terjadi karena masih minimnya kesadaran masyarakat akan kesehatan jiwa dan risiko-risiko yang dapat terjadi jika pekerja mengalami gangguan kesehatan jiwa.

Selain ada Undang Undang Keselamatan Kerja, saat ini di Indonesia sudah ada bulan Kesehatan dan Keselamatan Kerja (K3) yang merupakan sebuah upaya untuk meningkatkan kesehatan dan keselamatan para pekerja di tempat kerja. Setiap perusahaan atau industri kerja bertanggung jawab untuk membuat K3 sesuai dengan risiko bidang kerjanya, karena kembali lagi setiap bidang pekerjaan memiliki risikonya tersendiri. Bulan K3 ini diperingati setiap tanggal 12 Januari – 12 Februari dan sudah berjalan sejak diberlakukannya UU Undang-Undang No. 1 Tahun 1970 tentang Keselamatan Kerja.

Di satu sisi, dengan adanya bulan K3 setiap tahunnya patut di berikan apresiasi karena sudah ada upaya dari pemerintah untuk mendorong kesehatan dan keselamatan para pekerja. Namun masih perlu juga untuk meningkatkan kesehatan dan keselamatan kerja dari sisi kejiwaan karena hal ini belum menjadi prioritas utama. Padahal kesehatan jiwa para pekerja juga sama pentingnya dengan kesehatan fisik. Kecelakaan kerja tidak hanya berfokus pada fisik saja, tetapi juga dapat menyangkut masalah kejiwaan. Sehingga akan dapat menjadi lebih komprehensif jika dalam bulan K3, tidak hanya membicarakan dari sisi fisik saja tetapi juga kesehatan dan keselamatan jiwa pekerjanya. Sebagai pekerja, kita juga perlu lebih menyadari bahwa kesehatan dan keselamatan kerja dari sisi kejiwaan juga sama pentingnya dengan kesehatan dan keselamatan kerja dari sisi fisik.

Berbicara mengenai kesehatan dan keselamatan kerja adalah tanggung jawab semua pihak. Sehingga kita tidak dapat menyalahkan satu pihak saja ataupun membebankan tanggung jawab kepada salah satu pihak saja. Bagi masyarakat yang mungkin sudah mengetahui mengenai pentingnya kesehatan jiwa, juga dapat mempromosikan dan melakukan advokasi kepada rekan-rekan kerjanya maupun di luar lingkungan kerja mengenai pentingnya memahami kesehatan jiwa. Jika tidak dimulai dari kita, siapa lagi yang akan memulainya.

Penulis: Jane L. Pietra, M.Psi., Psikolog