Pertama-tama kita perlu melihat permasalahan ini dari sudut pandang yang lebih luas terlebih dahulu, yaitu perilaku manusia secara umum. Video porno tersebar luas di dunia maya maupun disebarkan melalui alat komunikasi elektronik karena adanya ‘permintaan’ akan hal itu. Di beberapa negara Eropa Timur misalnya Polandia, Hungaria dan Ceko, tempat penyewaan video porno dan toko-toko yang menjual alat erotis dapat bebas di akses oleh masyarakatnya yang telah mencapai usia dewasa. Tidak ada tempat tersembunyi atau penyamaran yang dilakukan, sehingga setiap orang yang melewati toko dapat melihat dengan jelas toko apa yang mereka lewati. Tidak mengherankan sebetulnya, jika banyak permintaan datang dari negara-negara yang melegalkan hal tersebut.

Berbeda dengan Indonesia maupun negara Asia lainnya yang masih tabu membicarakan seksualitas manusia. Permintaan itu tetap ada, namun permintaan yang datang secara sembunyi-sembunyi. Artinya, di satu sisi membicarakan maupun melihat hal-hal yang bersinggungan dengan seksualitas manusia masih dianggap sangat tabu, namun di sisi lain hal ini menjadi sesuatu yang justru paling menarik untuk di bahas.

Sebetulnya, hal ini juga berkaitan dengan perkembangan moral manusia (anak-anak) yang menurut Kohlberg terbagi dalam 4 tahapan: 1) Prakonvensional 2) Konvensional 3) Postkonvensional, dimana dalam masing-masing tahapan dibagi lagi ke dalam beberapa tahapan sendiri. Dalam tahap prakonvensional terbagi menjadi 2 tahapan lagi, yaitu Punishment and Obedience Orientation dan Instrumental-Relativist Orientation atau Hedonistic Orientation. Singkatnya dalam tahapan prakonvensional ini, manusia secara umum menganggap bahwa konsekuensi yang ditimbulkan dari suatu tindakan sangat menentukan baik-buruknya suatu tindakan yang dilakukan, tanpa melihat sisi manusianya. Tindakan-tindakan yang tidak diikuti dengan konsekuensi dari tindakan tersebut, tidak dianggap sesuatu hal yang buruk dan apakah tindakannya bermanfaat bagi dirinya atau tidak. Dalam tahap konvensional, manusia sudah melakukan berbagai tindakan untuk memenuhi harapan orang lain sehingga mereka mendapatkan pengakuan dari orang lain dan sudah mencoba mematuhi hukum yang berlaku. Sementara pada tahap postkonvensional, terdapat usaha dalam diri manusia untuk menentukan nilai-nilai dan prinsip-prinsip moral yang memiliki validitas yang diwujudkan tanpa harus mengaitkan dengan otoritas kelompok maupun individu dan terlepas dari hubungan seseorang dengan kelompok.

Pada dasarnya, negara patut melindungi seluruh warga negaranya, dari orang dewasa sampai dengan anak-anak. Untuk kasus video porno, pelaku sendiri dapat dijerat dengan pasal 13 ayat (1) Undang-undang Nomer 23 tahun 2002 yang telah diubah oleh UU Nomer 35 tahun 2014 tentang Perubahan Atas Undang-undang Nomer 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak yang menyatakan bahwa setiap anak selama dalam pengasuhan orang tua, wali, atau pihak lain mana pun yang bertanggung jawab atas pengasuhan, berhak mendapat perlindungan dari perlakuan:

  1. diskriminasi;
  2. eksploitasi, baik ekonomi maupun seksual;
  3. penelantaran;
  4. kekejaman, kekerasan, dan penganiayaan;
  5. ketidakadilan; dan
  6. perlakuan salah lainnya.

Sehingga ketika berbicara dari segi hukum, pelaku pantas mendapatkan hukuman yang setimpal dengan perundang-undangan yang berlaku di negara Indonesia. Namun memang dalam implementasinya masih banyak yang abu-abu sehingga proses hukuman bagi pelaku juga tidak menimbulkan efek jera. Ketika mengacu kembali pada tahapan moral Kohlberg, dapat dikatakan bahwa tahapan untuk memahami bahwa ini pembuatan video porno pada anak merupakan tindakan yang melanggar hukum masih menjadi kesadaran yang prakonvensional. Sehingga konsistensi hukuman sangat diperlukan untuk menimbulkan efek jera bagi pelaku. Hukuman yang sebaiknya dilakukan adalah hukuman penjara yang ditambahkan dengan program rehabilitasi seperti misalnya konseling bagi pelaku serta belajar keterampilan dasar yang akan berguna bagi mereka jika keluar dari penjara nantinya. Karena tujuan dari pusat tahanan dan rehabilitasi adalah memanusiakan manusia.

Lalu apakah pemerintah juga perlu turut campur untuk mengawasi penggunaan media sosial dan internet untuk membentung jaringan pedofil trans-nasional? Tentu saja sebetulnya tidak perlu sampai seketat itu karena ketika hal ini terus terjadi, tentunya perkembangan moral manusia di Indonesia tidak akan pernah naik ke tahap-tahap selanjutnya. Upaya pemerintah mengawasi melalui Undang-undang dan hukum yang berlaku itu menjadi sangat perlu namun pemerintah juga tidak dapat mengintervensi hak warganya. Bayangkan saja, ketika pemerintah terus mengintervensi hak warganya, perkembangan moral juga tidak akan pernah terjadi. Hanya akan terus dalam tahap prakonvensional saja dan tidak akan berkembang ke tahapan konvensional maupun postkonvensional.

Terdapat berbagai upaya yang dapat kita lakukan untuk melindungi anak-anak dari jerat pedofil global, terutama dari media internet atau media sosial. Pertama adalah menyadari betul bahwa orangtua masih sangat berperan dalam perkembangan anak-anaknya, terutama di era digital seperti saat ini. Dapat dimulai dari belajar mengenai ketubuhan dan pendidikan seksual bagi anak-anak karena pada dasarnya membicarakan mengenai ketubuhan bukanlah sesuatu yang tabu dan dirahasiakan. Anak-anak yang cenderung penasaran akan lebih banyak mencari informasi dari internet dan teman-teman merek ayang belum tentu juga mengetahui secara pasti mengenai seksualitas. Ajak juga mereka mengenali sentuhan baik dan sentuhan yang tidak baik, misalnya apa saja bagian tubuh yang privat, siapa saja yang berhak menyentuh bagian tubuhnya yang paling privat, dan apa yang harus dilakukan jika ada orang asing yang menyentuh bagian privat mereka. Cara belajar dapat melalui nyanyian, permainan, ataupun menggambar. Orangtua juga perlu memahami betul penggunaan internet yang sehat bagi anak-anaknya dan mengawasi mereka ketika menggunakan internet. Ajak mereka berdiskusi mengenai hal yang boleh dan tidak boleh, dibanding melarang mereka secara satu pihak saja.

Lalu mengapa orangtua korban pembuatan video porno itu dapat terlibat. Tentunya kita juga tidak bisa secara satu pihak berspekulasi akan hal ini karena pada akhirnya kita hanya akan menghakimi secara sepihak. Banyak hal yang dapat terjadi, salah satunya memang himpitan ekonomi dan ketidaktahuan dari orang tua sang anak anak konsekuensi yang mungkin dapat terjadi bagi diri anak dalam jangka panjang. Bisa juga karena ditipu oleh pihak yang ingin membuat video, dan masih banyak speskulasi lainnya yang bisa menjadi penyebab.

Bagi korban, terutama anak-anak tentunya pendampingan bertahap yang sesuai dengan kebutuhan anak tersebut, misalnya konseling bagi anak maupun orang tua. Disamping itu, kita juga perlu memberikan informasi atau psikoedukasi sebagai bentuk penyadaran bagi masyarakat agar memahami dampak dari kekerasan pada anak dan hal-hal apa saja yang perlu diperhatikan ketika ada korban di lingkungan mereka, sehingga stigmatisasi tidak terjadi bagi anak maupun keluarganya.

by: Jane L. Pietra, M. Psi., Psikolog

*Artikel ini pernah dimuat di watyutink.com 15/01/2018, editor Ade.