Merenungi kebebasan manusia dalam konteks kemerdekaan Indonesia tampaknya relevan untuk mengulas kembali pemikiran klasik Erich Fromm yang ditulisnya di tahun-tahun sekitar proklamasi kemerdekaan negara kita (1941-1947).
Melalui analisis historisnya terhadap evolusi manusia di antara spesies hidup lainnya, Fromm menyimpulkan manusia adalah satu-satunya makhluk hidup yang merdeka. Jika binatang bersatu dengan alam dan dipengaruhi kondisi alam, manusia mampu mengatasi alam. Kemampuan berpikir, mencipta, dan berkarya memberikan kebebasan, tetapi sekaligus membuat terasing dari alam. Daya khayal dan antisipasi tentang masa depan sekaligus menyebabkan kita cenderung terus membawa perasaan tidak aman.
Seluruh teori Fromm berakar pada dilema akibat dikotomi antara kebutuhan memperoleh kebebasan versus rasa aman. Manusia terus terjebak di antara pilihan-pilihan: mundur pada eksistensi binatang (misal: didominasi oleh dorongan tubuh saja) atau melampauinya? Mencari aman dengan ikut suara kelompok atau membebaskan diri bersuara berbeda? (Bebas) mengeksploitasi alam atau mempertimbangkan keamanan hidup generasi penerus?
Fromm mengemukakan lima kebutuhan yang berasal dari dikotomi kebebasan versus keamanan. Evolusi manusia sebagai makhluk paling berbeda menghilangkan ikatan manusia dengan alam dan dengan satu sama lain. Kita sadar bahwa sesungguhnya kita berbeda, terpisah, sendiri, tak berdaya. Akibatnya, ada kebutuhan untuk menjalin hubungan. Maka, orang berteman, menikah, mencari sahabat. Keterpisahan sekaligus seperti pemutusan dari akar. Karena itu, ada kebutuhan untuk mencari akar. Lebih dari sekadar hubungan, akar adalah sesuatu yang lebih inti dan mendalam dipengaruhi oleh keyakinan yang ditanamkan lingkungan sosial. Misalnya, apakah mengakar pada negara kebangsaan? Persaudaraan seluruh umat manusia yang berbeda-beda? Meyakini ideologi sosialis atau negara agama?
Ciri khas lain adalah kebutuhan akan identitas untuk memberi makna pribadi, kejelasan tentang jati diri di tengah pergaulan sosial. Bahkan, pegawai yang berseragam pun menandai identitas diri dengan aksesori berbeda, memperkenalkan diri ”sama-sama Batak, tetapi dengan marga berbeda” atau ”psikolog yang suka olahraga”.
Dua kebutuhan yang kuat sekali berkait dengan rasa berdaya dan kemampuan untuk mengaktualisasikan kemerdekaan adalah kebutuhan akan transendensi dan kebutuhan akan kerangka orientasi. Manusia perlu menghayati diri sebagai makhluk berdaya dan aktif bukan sekadar disetir lingkungan, melainkan mengubah dan menghasilkan sesuatu. Kebutuhan akan transendensi diisi dengan kerja, kreativitas, dan mencipta. Sementara itu, kerangka orientasi yang jelas—gambaran yang relatif konsisten dan jelas tentang dunia, sangat memengaruhi bagaimana manusia akan menginterpretasi keberadaannya.
Fromm menjelaskan, dalam tarik-menarik konflik dirinya di tengah konteks sosialnya, manusia dapat mengembangkan penyesuaian yang konstruktif dan sehat atau sebaliknya destruktif dan ”sakit”. Maka, akhirnya dapat dipahami pandangannya yang menyatakan bahwa kepribadian adalah produk kebudayaan. Kesehatan psikologis kita banyak dipengaruhi oleh sejauh mana lingkungan sosial atau masyarakat dapat memfasilitasi pemenuhan kebutuhan dasar dan potensi kemanusiaan kita.
Menjelang ulang tahun ke-66 Kemerdekaan Indonesia, kerangka orientasi seperti bagaimanakah yang disuguhkan oleh pemimpin, penguasa, wakil rakyat, dan kita sendiri dalam peri kehidupan bersama? Yang berseliweran di depan mata adalah berita-berita tentang kebohongan, korupsi, ketidakadilan, ketidakpedulian, kesibukan orang-orang hebat mengejar atau mempertahankan kekuasaan. Tentang betapa sulitnya menyeberang di Jalan Margonda untuk dapat masuk ke kampus UI karena tidak adanya jembatan penyeberangan dan ganasnya pengendara yang makin mempercepat laju mobil dan motornya begitu melihat sesama manusia hendak melintasi jalan. Atau tentang ibu tua dan bapak tua yang menjajakan jepit rambut Rp 500 di banyak stasiun kereta di Jabodetabek.
Ceritanya mengenai kebohongan, ketidakpedulian pada kaum rentan, manipulasi, eksploitasi, kecurangan, ketidakmampuan bersikap, destruksi, hilangnya penghormatan pada martabat diri, dan banyak lainnya. Memang pemimpin dan penguasa punya tanggung jawab jauh lebih besar. Namun, dalam intensitas berbeda-beda kita, terutama kelas menengah dan terdidik, mungkin juga terlibat dalam menciptakan Indonesia yang seperti sekarang ini.
Seperti kata Gabriel Marcel (1967), ”I cannot treat myself as something external to evil, as simply having to observe evil from outside and map out it contours. On the contrary, I am implicated in evil….The distinction between what is within me and what lies outside me becomes meaningless. One might say that such a distinction has a physical rather than metaphysical validity.”
Kita menghadapi tantangan sangat besar untuk mampu memastikan diri tetap menjadi manusia, yang dalam istilah Fromm, produktif dan sehat untuk mengisi Indonesia yang juga produktif dan sehat. Akhirnya pula, meski kata Fromm manusia terlepas dari alam, hidup yang eksploitatif sesungguhnya dapat sangat merusak alam fisik. Dan ketika alam fisik rusak, manusia nyaris sama seperti makhluk hidup lainnya, terlunta dalam kelangkaan mengalami kesulitan mempertahankan hidupnya. Pada akhirnya kita tak bisa bersombong diri untuk mengklaim diri sepenuhnya bebas dari alam.
Terpulang pada kita untuk menciptakan kerangka orientasi yang lebih positif bagi diri sendiri dan sesama. Sesama itu maksudnya bukan sesama dalam kelompok kita sendiri saja, tetapi dalam arti seluas-luasnya. Sesama manusia yang berbeda-beda suku, agama, jenis kelamin, lokasi tinggal, kelas sosial-ekonomi, serta kategori sosial lainnya. Semoga Yang Maha Bijaksana memberkati negara kita, memberi kita kesempatan untuk lebih mengerti, dan bekerja dengan lebih peduli.
Artikel ini pernah dimuat di kompas.com pada 14/8/2011
Penulis: Kristi Poerwandari, Psikolog Yayasan Pulih
0 Comments
Leave A Comment