Kenapa terjadi kasus duel ala gladiator oleh anak-anak? Motif duel gladiator adalah mendapatkan ‘pengakuan’. Sekolah siapa yang paling keren dan siapa yang paling kuat. Dua siswa diadu dan dipertontonkan untuk saling menunjukkan siapa yang paling kuat di antara keduanya.
Sebetulnya ini adalah bentuk kekerasan/bullying yang terjadi antar sesama laki-laki. Hal ini terjadi karena masih adanya pemahaman yang kuat mengenai maskulinitas dan hubungannya dengan power. Istilahnya kalau gak berantem bukan laki atau kalau tak merokok kayak banci, kalau cowok nangis kayak cewek, laki-laki adalah pemimpin dan hal-hal lainnya yang di anggap sebagai nilai maskulinitas (sebagai bentukan masyarakat juga). Jika si laki-laki ‘berhasil’ menunjukkan citra maskulin yang ideal, seperti bentukan dan gambaran masyarakat selama ini maka si laki-laki itu di anggap kuat, hebat, gagah, dan punya power terhadap yang lain. Nilai-nilai maskulinitas seperti itu kemudian dikukuhkan jadi tolok ukur melabel apakah seseorang pantas untuk d sebut laki-laki atau tidak.
Sayangnya banyak juga laki-laki yang tidak bisa menunjukkan citra ideal maskulinitas, sehingga mereka dianggap ‘lemah’ oleh orang lain dan bahkan mereka sendiri merasa tertekan karena ‘gagal’ memenuhi tuntutan ideal tersebut. Sehingga salah satu cara menunjukkan mereka masih punya ‘power’ atau masih bisa disebut sebagai laki-laki, salah satunya lewat kekerasan.
Kalau ditanya siapa yang berperan, tentu semua lini masyarakat berperan. Mulai dari keluarga, komunitas masyarakat, sekolah, medsos, bahkan level yang lebih besar. Karena sudah ada nilai ideal yang menjadi tolok ukur untuk melabel seseorang adalah laki-laki atau bukan. Nilai ini mendarah daging, turun-temurun, serta seolah menjadi standar baku.
Kalau dari perspektif lingkungan keluarga, kurangnya peran keluarga juga berpengaruh. Keluarga seharusnya bisa menjadi wadah diskusi bagi anak-anaknya mengenai berbagai macam hal.
Dari penjelasan saya di awal, bisa dikatakan pelaku adalah korban. Bahkan korbannya adalah semua orang. Maka, sejatinya, tidak ada yang salah dan tidak ada yang benar, karena kita semua ‘korban’ dari citra ideal maskulinitas. Media juga berperan.
Bagaimana mencegah hal-hal seperti ini terjadi di Indonesia? Tentunya dengan menyadari betul apa yang sedang terjadi dan memahami bahwa yang terjadi saat ini bukan hanya seolah kenakalan remaja yang ‘salah gaul’. Kita perlu mulai berefleksi mulai dari diri sendiri.
Caranya sederhana saja, jika ada teman atau kenalan yang ingin curhat (baik laki-laki ataupun perempuan), tidak perlu lah kita komentari “Ah.. masa gitu aja curhat?” Atau kalau yang curhat kebetulan laki-laki “Ah.. masa curhat sih? Gak jantan lu!” Kita bisa mulai menghindari komentar-komentar yang berbau seksis itu dulu lalu menularkan atau menurunkannya ke anak anak kita atau lingkungan kita.
Lalu ikut libatkan laki-laki untuk menurunkan angka kekerasan dan kejadian-kejadian seperti ini. Laki-laki juga merupakan agen perubahan perilaku. Sehingga dalam hal ini mereka mampu memberikan contoh baik, bagaimana citra maskulin. Misalnya terlibat dalam pengasuhan anak, berbagi peran dengan istri, bantu pekerjaan domestik ibu di rumah, dan lain-lain.
Terkait dengan pelibatan laki-laki, saat ini Pulih (berdiri 2002, bergerak di pemulihan trauma dan penguatan psikososial) sendiri melakukan advokasi tentang pelibatan ayah dalam pengasuhan, diskusi komunitas bersama dengan remaja laki-laki dan perempuan, dan juga konseling pelaku. Nah, ini yang saya bilang ada hubungannya dengan nomer 1 dan 2. Karena Pulih menganggap laki-laki itu bukan musuh tetapi rekan yang bisa diajak kerjasama sebagai agen perubahan. Tidak menutup kemungkinan bahwa pelaku juga korban sebetulnya. Inilah yang saat ini coba Pulih sasar. Kami juga bekerjasama dengan Dokpol, puskesmas, serta Mako Brimob untuk melatih skill konseling bagi pelaku kekerasan serta rencananya akan membuat pilot project konseling kelompok bagi pelaku dan korban kekerasan []
*Artikel ini pernah dimuat di watyutink.com pada 4/11/2017
Penulis: Jane L. Pietra, Psikolog Yayasan Pulih
0 Comments
Leave A Comment