Setelah kekerasan seksual oleh ayah sendiri yang dialami Ri (11) yang akhirnya meninggal, lagi-lagi muncul (dugaan) kasus pencabulan oleh guru.

Bila kita dirampok dan terluka oleh tindakan perampok, kita tidak merasa perlu untuk menyembunyikannya. Bahkan sering ingin segera bercerita kepada semua orang yang kita temui. Bayangkan kita seorang remaja (bisa perempuan, bisa pula laki-laki) dan mengalami kekerasan seksual dari orang yang sangat dihormati, seperti orangtua sendiri atau guru. Mungkin kita merasa sangat bingung, takut bila bercerita tidak dipercaya atau dinilai buruk, juga khawatir akan pembalasan dari orang yang memanfaatkan tubuh kita tersebut. Akhirnya kita memilih diam.

Hal tersebut makin memudahkan pelaku pelecehan berbuat semaunya karena sebagai guru atau orangtua, ia berkuasa atas kita. Hal tersebut makin merentankan posisi kita, demikian seterusnya. Ketika tekanan yang ditanggung sudah terlalu berat dan kita akhirnya mengungkapkan kejadian, laporan akan ditanggapi sinis. ”Sudah dilecehkan berulang kali kok baru lapor, itu sih berarti suka sama suka….” Atau, ”Sepertinya muridnya yang genit dan tukang pacaran….”

Adakah laporan palsu mengenai kekerasan seksual? Tentu ada, seperti juga ada laporan palsu mengenai kasus perampokan, pencurian, dan sebagainya. Namun, kekerasan seksual justru seperti gunung es. Yang dilaporkan umumnya jauh lebih sedikit daripada fakta yang sesungguhnya terjadi. Karena itu, prinsip yang harus dipegang adalah bahwa semua laporan perlu ditindaklanjuti dengan serius sebagai kasus yang sangat mungkin memang terjadi.

Pelaku kekerasan seksual pada anak (dan remaja) mayoritas adalah orang dewasa yang dikenal dekat oleh anak, yakni orang yang harusnya berperan menjadi pelindung anak itu. Perkiraannya 10 persen pelaku tidak dikenal oleh anak. Pelaku bisa jadi orangtua, guru, kakak, paman, wali, penjaga, dan tetangga. Dapat dimengerti anak enggan bercerita karena takut ceritanya tidak dipercaya dan ia malah makin disudutkan oleh lingkungan.

Tanggung jawab orang dewasa

Penanganan kasus secara klinis pada korban menunjukkan sedikit sekali pelaku yang (segera) mengakui tindakannya. Yang lebih umum adalah bahwa pelaku menyangkal dengan berbagai dalih canggih. Namun, jejak-jejak luka psikis pada anak kuat mengindikasikan bahwa kekerasan seksual memang terjadi dan dilakukan oleh orang yang dilaporkan itu. Ada pula yang mengakui melakukan hal-hal seksual yang dilaporkan oleh sang anak, tetapi menyalahkan si anak. Misalnya dengan mengatakan anak itu yang datang ke rumahnya, si anak genit, sudah tidak perawan, anak menggoda atau lebih aktif mengajak hubungan seks.

Penting untuk diingat bahwa anak belum mencapai tahapan perkembangan (kognitif, intelektual, sosial, emosional, dan moral) seperti orang dewasa sehingga tidak bisa dikenai tanggung jawab atas aktivitas seksual yang terjadi antara dia dan orang dewasa. Hubungan seksual antara orang dewasa dan anak harus selalu dilihat sebagai tindakan yang menjadi tanggung jawab dari orang dewasa tersebut. Bukan tanggung jawab anak, terlepas dari apakah ia anak bandel atau baik, bodoh atau pintar, dari keluarga pecah atau punya orangtua lengkap, sering menggunakan rok mini atau baju bertutup, sudah pernah terlibat aktivitas seksual sebelumnya ataupun belum. Apalagi bila orang dewasa tersebut adalah guru, orangtua atau tokoh otoritas dari anak: ia bertanggung jawab untuk menjaga anak tersebut dan mengajarkan nilai-nilai baik, bukan malah memanfaatkan anak untuk memenuhi kebutuhan seksualnya sendiri.

Sensitivitas pada korban

Laporan kasus kekerasan seksual perlu ditindaklanjuti dengan sangat serius sekaligus hati-hati agar tidak berdampak makin merugikan anak. Anak perlu ditempatkan dalam situasi yang aman dan nyaman untuk berani bercerita mengenai detail kejadian, bukan justru dipersalahkan dan dikonfrontasi dengan orang yang dilaporkannya sebagai pelaku, di depan umum pula. Sebenarnya tidak dibutuhkan analisis yang hebat-hebat, atau inteligensi sangat tinggi untuk memahami hal ini. Yang dibutuhkan cuma kepedulian pada posisi korban: bayangkan bila kita anak berumur 15 atau 17 tahun, dikonfrontasi di depan umum berhadapan dengan orang yang sangat berkuasa, yang kemungkinannya memang melakukan kekerasan seksual kepada kita: mudahkah bagi kita untuk bercerita?

Bercerita mengenai sesuatu yang menyenangkan itu mudah. Sebaliknya, bercerita mengenai sesuatu yang membuat kita mengulang lagi perasaan terkejut, sakit, bingung, terhina, malu, dan tidak berdaya itu sangat tidak enak. Apalagi bila kita masih dihadapkan pada cercaan, ancaman, sikap tidak percaya, dan merendahkan. Maka, dapat dimengerti bila cerita korban sering tidak keluar secara meyakinkan, sementara pelaku, dengan posisinya yang lebih berkuasa, dapat fasih berkelit atau mengarang cerita yang terasa lebih meyakinkan dan masuk akal.

Bila kita tidak melakukan tindakan yang tidak pantas secara seksual kepada anak, tidak ada yang perlu ditakutkan. Kasihan pada orang yang dilaporkan dan keluarganya. Kekacauan, rasa malu, dan kehancuran yang dialami keluarga merupakan dampak dari perbuatan pelaku itu sendiri. Adalah pelaku itu sendiri yang telah menghancurkan keluarganya, bukan korban ataupun orang yang melaporkan terjadinya tindak kekerasan seksual.

Tantangan sangat besar bagi kalangan psikologi dan hukum untuk menyusun kisi-kisi pengungkapan fakta yang mampu merefleksikan kejadian yang sesungguhnya dan dapat menyediakan keadilan bagi korban. Tantangan sangat besar pula bagi pendidik untuk melakukan evaluasi diri, menjaga tindak-tanduk pribadi dan mengingatkan rekan-rekan kerja demi memperbaiki citra. Orangtua, guru atau tokoh otoritas mencabuli anak? Memang sangat tidak pantas, memalukan, dan harus dihukum seberat-beratnya.

*Artikel ini pernah dimuat di Kompas.com pada 1/3/2013

Penulis: Kristi Poerwandari, Psikolog Yayasan Pulih