Orang dengan gangguan jiwa (ODGJ) penyebabnya banyak faktor. Sebetulnya kebudayaan di Yogyakarta itu secara kasat mata sangat menghargai. Bahkan membeli apapun murah. Tapi jangan salah, ternyata ada hal tertentu yang membuat rentan terhadap stres.

Contoh, tradisi pernikahan di Yogyakarta, warga saling membantu beras dan kebutuhan lainnya. Semakin banyak diberi, semakin besar balas-budinya. Bayangkan si mempelai suatu hari nanti– tidak sanggup membalas budi kepada orang-orang yang memberinya dengan jumlah yang setara. Itu tekanan tersendiri. Itu terkait gengsi sosial mereka, “Ini lho, saya bisa ngasih sekian banyak”.

Persoalan lain, minimnya kesadaran akan kesehatan mental. Di Gunung Kidul itu paling tinggi tingkat bunuh dirinya. Itu terkait mitos Pulung Gantung dan ada penelitiannya. Disana itu sangat tinggi angka penderita Skizofrenia– seringkali dikaitkan mistis, bukannya diobati. Di Jawa kan cukup kental mistisnya. Nah, pikiran kolot ini menghambat kesadaran warga untuk pahami kesehatan mental.

Ironisnya di desa-desa, ODGJ dibawa ke orang pintar (dukun), bahkan ada yang kakinya dipasung. Padahal penderita sangat membutuhkan perawatan medis. Skizofrenia tidak boleh putus minum obat dan harus teratur.

Nah, orang-orang di Yogyakarta ini tipikalnya alon-alon (pelan-pelan), santai– tapi tingkat bunuh dirinya kok justru paling tinggi. Jadi sebetulnya ada yang kasat mata. Karakter yang mendem jero  (memendam perasaan)  itu berpengaruh– meski bukan satu-satunya faktor pencetus.

Tak setiap orang yang mendem jero itu sakit jiwa. Ada juga, orang berhasil mengelola stresnya, entah curhat ke teman dan lainnya. ODGJ itu disebabkan, tidak memiliki akses sosial yang bisa diajak bercerita. Semua persoalan ditanggung sendiri, diperparah oleh perubahan struktur kota seperti pembangunan hotel, mall dan lainnya.

Dua pendekatan yang berbeda terkait ODGJ, di kota akan lebih mudah memaparkan fakta-fakta dengan ilmu pengetahuan. Kalau di desa, pengaruh kejawennya sangat kuat– itu agak susah, yang bisa dilakukan adalah mengedukasi masyarakat. Kita tidak bisa bergerak sendiri, harus mengajak pihak lainnya.

Di Yogyakarta, banyak psiko-edukasi terutama bagi penderita Szikofrenia. Bahkan yang dipasung dilepaskan. Keluarga diberi pemahaman soal penyakit tersebut. Sebenarnya penderita dapat berfungsi normal dengan rutin minum obat. Bukan pasien yang rusuh dan resah, yang tidak bisa ditolong lagi. Kita bantu memberi rujukan secara medis dan mengedukasi—agar bisa tenang dan berguna di  masyarakat. Pasien Skizofrenia rutin minum obat. Itu bisa membantu dia, tapi kalau tidak minum obat– sampai kapan pun akan ngamuk-ngamuk.

Itu kontinum (rangkaian), mulai dari stres– ketika dia tidak bisa mengelola stres karena faktor kepribadian atau sosial-lingkungannya itu akan memperparah stresnya. Stres ada yang ringan, sedang dan berat. Stres berat mengarah ke depresi. Depresi juga ada yang ringan, sedang dan berat. Tidak semua depresi mengarah ke psikotik atau gangguan kejiwaan berat. Dianggap psikotik ketika seseorang sudah mulai mengalami halusinasi dengar.

Berbicara dengan keluarga penderita Skizofrenia itu sangat berat. Keluarga beranggapan bahwa penderita Skizofrenia seperti anak kecil dan berbeda dengan dulu. Ketika menjalani perawatan, muncul masalah baru; komplain saat minum obat. Pasien Skizofrenia suka bilang, “Saya sudah sembuh kok” padahal belum sembuh. Mereka bisa sembuh dan dapat bekerja—cuma ada kendala-kendala yang terbatas. Mereka suka mengeluh, minum obat kayak mummy, affectnya jadi datar. Saya tahu itu lucu, tapi tidak bisa tertawa. Saya sedih.

Terkait stres dan depresi, masyarakat mulai paham. Kalau Skizofrenia masih tertutup banget. Itu bisa ditolong, separah apapun. Waktu saya dulu praktek di  RSMM Bogor, ada pasien di bangsal yang gaduh dan gelisah, ngamuk sampai nyakar. Lalu dikasih obat dan memasuki tahap konseling– kita ajak ngomong meski awalnya tidak nyambung. Ketika emosinya mereda dan lebih tenang akan dipindahkan ke bangsal lain.

Tanda orang stres itu kehilangan minat. Kalau belum pada tingkat psikotik, pasien bisa ke psikolog. Tapi psikolog tidak memberikan obat, lalu merujuk ke psikiater. Itu kalau sudah ada halusinasi dengar. Tahap lainnya, baru penanganan medis, dan konseling.

*Artikel ini pernah dimuat watyutink.com 7/11/2017

Penulis: Jane L. Pietra, Psikolog Yayasan Pulih