Beberapa waktu lalu, saat saya berbincang dengan seorang teman mengenai seorang perempuan, saya sempat mengatakan “ah, tapi dia cewek banget!”. Kita juga sering mendengar di sekitar kita orang-orang mengatakan “dia cowok banget” ketika membicarakan seorang laki-laki. Pernyataan-pernyataan ini tidak hanya sekali saya katakan atau dengar di lingkungan, tetapi cukup sering. Saya kini menyadari ada yang tidak pas dari pernyataan-pernyataan yang saya katakan atau juga yang sering kita dengar tersebut.

Mengatakan “cowok banget” atau “cewek banget” secara tersirat menjelaskan bagaimana seorang laki-laki atau perempuan seharusnya berperilaku. Laki-laki atau perempuan yang tidak berperilaku seperti itu, maka “tidak cowok banget”, “bencong”, “banci”, atau “tidak cewek banget”. Pernyataan tersebut me-refer pada konsep gender roleGender role adalah peran atau standar-standar yang diberikan lingkungan kepada individu mengenai bagaimana ia sebaiknya berpikir, berperilaku, dan berperasaan, sesuai dengan jenis kelaminnya (Shaffer, 2000; Helgeson, 2012). Harapan lingkungan terhadap apa yang harus dilakukan oleh laki-laki, disebut sebagai maskulinitas. Sedangkan harapan terhadap apa yang harus dilakukan oleh perempuan disebut dengan femininitas. Contoh dari maskulinitas adalah laki-laki harus tangguh, dapat diandalkan, agresif, dan keras. Di sisi lain, contoh dari femininitas adalah lembut, sabar, sensitif, dan dependent.

Pilihan kata dan bahasa yang kita gunakan tersebut mungkin saja memiliki dampak yang berbeda pada kesejahteraan psikologis individu tersebut. Pernyataan “tidak cowok/cewek banget”, “bencong”, “banci”, dan berbagai label lain, secara tidak langsung merendahkan derajat individu tersebut. Ia seakan lebih rendah dan lebih tidak berharga dibandingkan dengan individu lain sejenisnya yang mampu menampilkan perilaku yang diharapkan oleh lingkungan. Ia seakan dipisahkan, dibedakan, dan diasingkan, dari individu-individu lain sejenisnya. Individu tersebut dapat saja menjadi merasa lebih terasing, tidak diterima, dan merasa lebih inferior dibandingkan sejenisnya. Belum lagi, jika kita melihat bagaimana nyinyirnya seseorang mengatakan pernyataan tersebut. Padahal, menurut Sandra L. Bem (1974) setiap manusia memiliki sisi maskulinitas maupun femininitas di dalam dirinya. Bahkan, mungkin saja individu tersebut memiliki sisi maskulinitas dan femininitas yang sama-sama tinggi (androgin) atau sebaliknya, yaitu sama-sama rendah (undifferentiated).

Alternatif yang dapat kita lakukan jika ingin mengatakan atau menjelaskan mengenai sikap seseorang adalah dengan menyebutkan sisi maskulin atau feminin dari individu tersebut, misalnya dengan mengatakan “dia (laki-laki) itu feminin” atau “ia perempuan yang maskulin”. Hal ini menjadi lebih positif, karena seperti yang dinyatakan oleh Bem, bahwa seseorang mungkin saja memiliki sikap atau perilaku yang maskulin atau feminin. Seseorang mungkin saja menampilkan perilaku atau sikap yang tidak sesuai dengan harapan lingkungan. Sangat mungkin pula seseorang menampilkan perilaku yang justru sebenarnya diharapkan muncul dari orang lain yang berbeda jenis kelamin dengannya. Hal tersebut adalah sesuatu yang sepenuhnya normal dan tidak salah. Cara lain yang dapat digunakan untuk menjelaskan perilaku atau sikap seseorang adalah dengan mendeskripsikan perilaku yang ditunjukkannya. Misalnya “laki-laki tersebut suaranya sangat lembut dan hatinya sensitif” atau “perempuan tersebut suaranya keras dan sikapnya kadang juga kasar”.

Dengan mengurangi penggunaan label pengasingan seperti “tidak cowok/cewek banget”, “bencong”, atau “banci”, namun lebih menggunakan penjelasan deskriptif atau setidaknya mengatakan bahwa individu tersebut lebih maskulin atau feminin. Cara tersebut menunjukkan bahwa sebenarnya kita mengakui individu tersebut merupakan bagian dari kita, bagian dari masyarakat, dan secara tidak langsung juga mempersilahkannya untuk berperilaku sesuai dengan dirinya. Tekanan atau pressure dari lingkungan yang diterima oleh individu tersebut menjadi lebih rendah. Hal ini juga dapat membantu peradaban kita menjadi lebih positif, dapat menerima sesama, menjadi lebih damai, dan memiliki derajat yang sama antar manusianya.

Penulis: Cantyo A. Danis, Psikolog

Artikel pernah dimuat di teropongkuas.wordpress.com pada 2/6/2016

 

Referensi

Bem, S. L. (1974). The Measurement of Psychological Androginy. [Versi Elektronik]. Journal of Consulting and Clinical Psychology. 42(2), 155-162.

Helgeson, V. S. (2012). The Psychology of Gender Ed. ke-4. New Jersey: Pearson Education, Inc.

Shaffer, D. R.(2000). Social & Personality Development (4th Ed). Belmonth: Wadsworth/Thomson Learning.