Tahun 2018 ini merupakan tahun ke 28 setelah Indonesia meratifikasi Konvensi Hak Anak. Sehingga secara umum, konsekuensinya adalah negara wajib memenuhi hak tumbuh kembang anak secara komprehensif. Meski negara telah mewujudkan ratifikasi ini ke dalam UU Perlindungan Anak Nomor 23 Tahun 2002 dan dengan perubahannya pada Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014, namun pada kenyataannya masih banyak ditemukan pelanggaran hak asasi anak Indonesia.

Salah satu isu pelanggaran hak asasi anak yang terjadi di Indonesia adalah kasus pernikahan usia anak yang ternyata masih banyak ditemukan. Badan Pusat Statistik (BPS) menyatakan bahwa prevalensi perkawinan usia anak tahun 2013 sebesar 24 persen. Pada 2015 prevalensi perkawinan usia anak mengalami penurunan tapi itu hanya sekitar 1 persen. Penurunan prevalensi perkawinan usia anak di Indonesia termasuk lambat. Sementara itu UNICEF dalam laporannya pada tahun 2014 menyebutkan bahwa dalam tiga dekade terakhir, perkawinan usia anak di Indonesia menurun kurang dari setengah. Artinya penurunan jumlah perkawinan usia anak melambat dari masa sebelumnya.

Jumlah pernikahan usia anak yang masih banyak terjadi di Indonesia tersebut, tentu memprihatinkan. Mengingat dampak pernikahan usia anak yang berdampak buruk pada aspek psikososial diri anak yang mengalaminya. Berikut adalah paparan temuan dari beberapa penelitian mengenai dampak pernikahan usia anak:

1. Temuan pada aspek pendidikan dan pengembangan diri:

  • Hak anak akan pendidikan sering kali tidak terpenuhi secara continue/berkelanjutan.
  • Anak memiliki kesempatan yang terbatas untuk mengeksplorasi potensi serta minatnya, sehingga berdampak jangka panjang akan pengembangan karir atau pilihan pekerjaannya kelak, yang mungkin sekali berpengaruh pada tingkat kemampuan mencari nafkah atau taraf ekonominya.
  • Anak memiliki kesempatan yang terbatas untuk mengembangkan kemampuannya untuk mengelola emosi serta pertemanan/bersosialisasi, sehingga kurang memiliki kemampuan untuk mengenali dirinya sendiri serta kemampuan menjalin hubungan sosial yang sehat.
  • Anak memiliki posisi tawar yang lemah dalam rumah tangganya, karena kurang memiliki kemampuan negosiasi serta kemampuan membuat keputusan.
  • Dengan kata lain menikahkan anak (perempuan) yang menyebabkannya putus sekolah akan melanggengkan lingkaran kemiskinan.

2. Temuan dampak destruktif pada aspek kesehatan biologis dan fisik:

  • Kesehatan reproduksi anak perempuan yang menikah memiliki resiko tinggi, mulai dari gangguan kesehatan sampai kematian
  • Anak perempuan yang menikah beresiko mengalami HIV-AID atau Infeksi Menular Seksual, yang mungkin ditularkan oleh pasangan (suami) yang usianya lebih tua dengan pengalaman seksual yang beresiko.
  • Proses persalinan di usia muda merupakan faktor resiko tertinggi bagi kematian anak perempuan
  • Resiko kematian janin yang dikandung atau ketika proses persalinan karena beragam alasan.
  • Kesehatan bayi yang lahir yang mungkin kurang terpenuhi secara adekuat karena kurang siap mengasuh anak serta mungkin tingkat ekonomi rendah.
  • Anak yang menikah mengalami tekanan mental dari tuntutan menjalankan peranan sebagai orang tua, di usia muda yang belum siap menjalani peranan ini
  • Karena ketidaksiapan menjadi orangtua, bayi dan anak dari perkawinan ini beresiko tinggi mengalami salah asuh atau penelantaran.
  • Beresiko tinggi mengalami kekerasan dalam rumah tangga. Salah satu alasannya adalah karena anak atau remaja belum siap untuk memenuhi tuntutan kehidupan perkawinan, baik secara psikologis dan ekonomi, sehingga menciptakan tekanan tersendiri yang mungkin menghasilkan bentuk-bentuk kekerasan tersebut. Selain itu anak perempuan yang menikah memiliki posisi tawar yang rendah, menciptakan ketimpangan relasi kuasa dengan pasangannya (suami) sehingga kemungkinan mengalami KDRT semakin tinggi.
  • Tekanan-tekanan mental akibat perkawinan anak ini, dapat menyebabkan gangguan mental pada anak yang menikah, mulai dari keadaan emosi yang tidak stabil, tidak mampu mengelola dirinya sendiri, sampai gangguan mental berat seperti depresi sampai bunuh diri.

Lies Marcoes dan Fadilla Dwianti Putri dalam buku Kesaksian Pengantin Bocah, menyampaikan bahwa untuk mencari solusi masalah pernikahan usia anak ini perlu dikaji secara komprehensif mulai dari ruang budaya yang luas serta hukum yang berlaku, lembaga-lembaga formil terkait, sampai norma di ruang sosial terkecil yaitu keluarga. Menurut penelitian, keluarga lah yang memegang peranan terpenting dalam terjadinya pernikahan usia anak. Hal yang sungguh ironis, ketika seharusnya keluarga menjadi menjadi sumber utama pemenuhan hak tumbuh kembang anak, dalam hal pernikahan usia anak, sering kali justru keluarga lah yang menjerumuskan anak ke dalam situasi yang membahayakan kondisi kesehatan mental dan biologis anak.

Melihat dampak-dampak yang akan dialami anak ketika menikah pada usia dini, masihkah kita berkata bahwa pernikahan usia anak adalah solusi bagi masalah yang dihadapi (seperti kehamilan di luar nikah), atau jawaban masa depan yang lebih baik bagi anak-anak kita?

Penulis: Gisella Tani Pratiwi, Psikolog Anak