Ada banyak cerita tentang orang tua yang cemas saat melepas anaknya kuliah, atau merantau ke luar kota. Apalagi buat orang tua yang merasa anaknya kurang memiliki kemandirian, tentunya akan semakin khawatir. Pada umumnya kekhawatiran orang tua bukan saja soal pergaulan, tapi juga soal kehidupan sehari-hari, mulai dari apakah bisa bangun pagi? Atau, apakah bisa mengurus diri sendiri? Misal memenuhi kebutuhan makan, dan sejumlah pekerjaan rumah lainnya, seperti mencuci pakaian, perabot dapur, sampai memastikan kebersihan tempat tinggal.

Baca juga: Laki-laki Berbagi Peran Domestik, Apa sih Manfaatnya?

Keluarga yang mempraktekkan pemilahan peran gender, yakni menjauhkan anak laki-laki dari pekerjaan domestik dengan alasan bahwa mencuci piring, pakaian, membersihkan rumah, dan tugas domestik lainnya adalah urusan perempuan saja, hal itu berimbas pada: 1) Ia meyakini bahwa laki-laki tidak boleh melakukan pekerjaan domestik, 2) laki-laki tidak memiliki keterampilan melakukan pekerjaan domestik. Imbasnya semua jenis pekerjaan domestik ia jauhi. Itulah mengapa kemudian ada cerita orang tua, bahwa mereka perlu mengirimkan jumlah uang yang lebih besar jika anak-anak mereka berkuliah di luar kota, karena jumlah uang yang dikirimkan tidak pernah mencukupi untuk mencuci baju ke laundry, makan dan memenuhi kebutuhan sehari-hari lainnya.

Lalu apa sebenarnya faktor penyebab banyak laki-laki yang asing dengan jenis pekerjaan rumah tangga, atau yang biasa disebut tugas domestik? Apakah karena jenis pekerjaan tersebut tabu buat laki-laki sehingga tidak boleh mengerjakan? Atau karena dari kecil tidak pernah diperkenalkan dan dilibatkan dalam tugas-tugas domestik, sehingga ia tidak bisa dan merasa asing dengan jenis pekerjaan domestik?

Faktor Pemilahan Peran Berdasarkan Jenis Kelamin

Untuk menjawab pertanyaan di atas dapat dimulai dari adanya kebiasaan yang menjadi budaya di masyarakat, yaitu memilah pembagian peran berdasarkan jenis kelamin. Dari pembagian peran itu, pekerjaan yang bersifat domestik, atau pekerjaan yang melingkupi menjaga rumah dan membersihkannya, menyiapkan makanan, mencuci piring dan pakaian, hingga merawat anak, dibebankan menjadi tugas perempuan1. Sementara itu, peran laki-laki berada di luar rumah, yaitu sebagai pencari nafkah bagi keluarga2. Itulah mengapa banyak laki-laki selain merasa tidak terbiasa melakukan pekerjaan domestik, juga merasa malu, dan dianggap tidak pantas melakukan pekerjaan tersebut karena telah dianggap sebagai norma yang berlaku di masyarakat.

Faktor Pola Asuh dalam Keluarga

Keluarga menjadi faktor penting dalam membangun identitas diri seorang anak laki-laki atau perempuan. Dari keluargalah pembagian peran berdasarkan jenis kelamin dimulai. Keluarga yang tidak melibatkan, ataupun tidak memperbolehkan anak laki-laki melakukan pekerjaan domestik, lama kelamaan akan membangun cara pandang bahwa seorang laki-laki tidak perlu terlibat pekerjaan domestik. Sebaliknya, bila dalam sebuah keluarga melibatkan seluruh anggota keluarga untuk melakukan pekerjaan domestik, maka mereka akan membangun keluarga yang terbiasa melakukan pekerjaan domestik, baik itu laki-laki ataupun perempuan.

Faktor Budaya di Masyarakat

Faktor budaya juga menjadi salah satu faktor yang dapat memengaruhi kenapa laki-laki cukup asing dengan pekerjaan domestik. Di Indonesia, sampai saat ini masih cukup banyak yang meyakini bahwa pekerjaan domestik adalah tugas perempuan. Nilai ini diturunkan dari generasi ke generasi dan sudah dianggap menjadi sebuah nilai di masyarakat. Jika ada laki-laki yang melakukan pekerjaan domestik, biasanya akan dipandang aneh ataupun tidak sesuai dengan nilai yang ada di masyarakat. Sehingga, laki-laki cenderung menghindar ketika diminta untuk melakukan tugas domestik.

Tidak Bisa vs Tidak Mau

Kalau dipikir-pikir, pekerjaan domestik pada dasarnya bisa dilakukan siapa saja, laki-laki maupun perempuan. Persoalannya ada pada mau melakukannya atau tidak. Tetapi karena jenis pekerjaan yang satu ini selalu dikonotasikan sebagai pekerjaan perempuan, laki-laki menjadi cenderung untuk menghindari pekerjaan domestik karena khawatir dianggap aneh ataupun tabu oleh orang lain, bahkan diri mereka sendiri. Padahal jika laki-laki dan perempuan saling berbagi peran, manfaat yang akan didapatkan oleh kedua belah pihak akan semakin besar3. Manfaat ini tidak hanya akan dirasakan bagi laki-laki, tetapi juga perempuan. Faktor-faktor yang dapat menyebabkan laki-laki menjadi enggan untuk terlibat melakukan pekerjaan domestik, tentunya dapat diatasi bersama. Dimulai dari diri sendiri dan menularkannya kepada orang-orang terdekat. Bagi orang tua yang mau mengirimkan anak-anaknya untuk sekolah ke luar kota, juga tidak perlu ada kecemasan berlebih lagi jika mulai melibatkan anak-anak turut berbagi pekerjaan domestik. Jadi, tunggu apa lagi, yuk #KitaMulaiSekarang!

Baca juga: Karena Aku Bagian dari Rumah

Penulis: Wawan Suwandi

Referensi:

  1. Dampak Pembakuan Peran Gender terhadap Perempuan Kelas Bawah di Jakarta, Penerbit: LBH APIK Jakarta, 2005.
  2. Menjadi Laki-laki, Pandangan Laki-laki Jawa tentang Maskulinitas dan Kekerasan dalam Rumah Tangga, Hasyim, Kurniawan, Hayati, Penerbit: Rifka Annisa, 2011.
  3. Banyak Manfaatnya: Yuk Kita Mulai Sekarang Berbagi Peran, Fauzan, www.yayasanpulih.org, 2018.