Pada awal Januari 2019 saya melihat satu iklan video menarik dari salah satu produk yang selama ini sangat mempromosikan nilai-nilai patriarkal. Yaps, Gillette merilis video iklan dan slogan baru yang menyoroti toxic masculinity (maskulinitas beracun). Setelah bertahun-tahun menggunakan slogan “The Best a Man Can Get” dan menayangkan iklan laki-laki yang bercukur sambil dielus pipinya oleh perempuan cantik, perusahaan ini tiba-tiba meluncurkan perubahan konsep pariwara. Gillette sekarang mengusung semangat “The Best Men Can Be”.

Momen reflektif tersaji saat terdengar kata “Is this the best a man can get,” tanya pengisi suara di video tersebut, sebelum memainkan adegan perundungan, gerombolan kutu buku yang tertekan saat menonton video spring break, dan pelecehan seksual saat meeting. Juga sederet sosok ayah menyilangkan tangan sambil berseru “Boys will be boys” saat melihat anak-anaknya saling baku hantam. Sangat menyedihkan, bukan? Setelah itu, iklannya memainkan lagu yang membangun semangat dan menayangkan adegan para lelaki yang melakukan hal-hal baik. Sungguh sebuah ajakan yang menggugah.

Baca juga: Kisah Inspiratif Laki-laki yang Terlibat Pekerjaan Domestik

Namun ternyata memang benar toxic masculinity sudah menggerogoti laki-laki dan membuatnya terbuai oleh privilege yang didapatkannya. Buktinya banyak yang melakukan protes dan merespon negatif iklan ini. Apakah ini pertanda bahwa toxic masculinity tidak akan hilang kalau yang melakukannya menolak untuk berubah, dan malah memilih untuk mewariskannya ke generasi selanjutnya?

Di sebuah coffee shop di bilangan Jakarta Selatan, saya berkumpul bersama beberapa teman semasa kuliah dahulu. Tujuh tahun tidak bertemu rasanya membuat obrolan kita sangat variatif, mulai dari cerita kenangan saat kuliah dulu sampai pekerjaan masing-masing saat ini. Di sela-sela obrolan santai, salah satu teman menerima panggilan masuk dari istrinya di smartphonenya. Kami semua tetap melanjutkan obrolan saat salah satu teman kami sedang menerima telepon.

Tak lama setelah menutup telepon, dia pamit untuk kembali kerumah karena harus membelikan popok dan susu untuk anaknya, sekalian sayuran dan ikan untuk MPASI anaknya. Beberapa dari kami mengiyakan dan menitipkan salam untuk keluarganya di rumah. Namun salah satu teman kami berkata, “Yaelah, nanti aja dulu sih lagi asik ngobrol kan, lagipula udah lama gak ketemu. Toh juga belanja sayuran kan tugas istri lu, masa lu udah cape-cape kerja masih mau aja disuruh-suruh. Ngapain lu punya istri kalau lu masih disuruh-suruh aja?” Sontak pernyataan salah satu teman saya membuat beberapa teman tertawa dan mengiyakan, namun saya dan salah satu teman menyuruhnya untuk tidak menghiraukan, dan lekas pulang. Sambil sedikit memberikan argumen kepada teman yang memberikan pernyataan aneh nan ajaib itu, bahwa namanya tugas rumah adalah tugas semua orang yang ada di rumah dan itu harus dibagi. Masa kita enak-enakan ngopi di sini tapi orang di rumah malah mengerjakan tugas yang seharusnya jadi tugas kita? Tidak lama setelahnya saya memutuskan untuk kembali ke rumah. Setelah sampai rumah saya menerima chat di whatsapp, ucapan terima kasih dari teman saya atas pertemuan sore tadi dan juga karena sudah membantunya menjelaskan tentang pentingnya saling berperan di tugas rumah. Dia juga bercerita, terkadang di lingkungan rumahnya masih sering terlontar pertanyaan tentang kenapa dia mau melakukan tugas yang menurut mereka adalah “tugas perempuan”, sampai oleh beberapa temannya dia dijuluki “SUAMI TAKUT ISTRI”, dan itu sempat membuatnya tidak nyaman.

Baca juga: Lima Manfaat Peran Ayah dalam Tumbuh Kembang si Kecil

Faktor-faktor eksternal dari lingkungan sekitar inilah yang menjadi salah satu penyebab penghambat laki-laki untuk berbagi peran dalam rumah tangga. Budaya Patriarki yang sudah mengakar di Indonesia dan diajarkan serta diwariskan secara turun temurun membuat banyak nilai-nilai maskulinitas beracun dan nilai-nilai ketidaksetaraan gender tumbuh subur dan dilanggengkan oleh masyarakat. Padahal sudah banyak efek negatif yang ditimbulkan oleh budaya patriarki. Tidak hanya timbulnya diskriminasi dan kekerasan terhadap perempuan, namun hal tersebut juga dapat terjadi pada laki-laki.

Sebagai laki-laki, sudah seharusnya kita berani untuk membongkar budaya patriarki dan terus menerus mensosialisasikan isu kesetaraan gender ke lingkaran terdekat, misalnya orang tua, mertua dan keluarga terdekat lainnya, sampai lingkungan sekitar kita. Selain itu kita perlu membuat support system untuk laki-laki yang mau berbagi peran dan mendukung kesetaraan, agar mereka juga bisa merasakan kebaikan dan terlepas dari toxic masculinity, yang selama ini sebenarnya sangat merugikan untuk laki-laki.

Yuk #KitaMulaiSekarang wariskan sesuatu hal positif yang bisa dirasakan dan patut diteruskan oleh generasi selanjutnya,

Baca juga: Berlibur Bersama Ayah, yuk!

Penulis: Aditya Pratama

Referensi: