Bila membaca atau mendengar istilah pekerjaan domestik, apa yang pertama kali terlintas di benak anda? Bisa macam-macam tentu saja. Mungkin ada yang langsung terpikir menyapu dan mengepel lantai rumah, ada yang terpikir memasak, ada yang teringat mencuci baju, menyikat kamar mandi, dan lain-lain. Pekerjaan domestik memang istilah yang biasa digunakan untuk menjelaskan tipe-tipe tugas harian dalam membersihkan dan merawat hunian tempat tinggal. Lalu jika diajukan pertanyaan lebih lanjut, siapa yang biasanya melakukan pekerjaan domestik? Mungkin sebagian besar pembaca akan hampir secara otomatis membayangkan sosok perempuan dibenaknya. Benar atau tidak, ya?
Dalam budaya timur, sering kita lihat pembagian peran domestik di rumah lebih banyak dilakukan oleh sosok perempuan. Contohnya, pembagian peran dalam rumah tangga masyarakat Indonesia. Sangat umum ditemukan dalam sebuah rumah, ibu atau anak perempuan bertugas memasak, membersihkan rumah, mengurus keperluan dan kebutuhan sehari-hari. Dalam budaya kita, anak perempuan dianggap sudah sepantasnya membantu ibu melakukan tugas-tugas rumah tangga, dan gambaran ini diperkuat melalui tayangan televisi, seperti sinetron, film, maupun iklan.
Tidak hanya di Indonesia, negara-negara dengan budaya timur lain pun menerapkan hal yang sama. Mudah saja untuk menemukan hal ini, kita bisa saksikan berbagai film negara setempat dan kita akan menemukan dalam potret keseharian masyarakat tersebut, sosok perempuan lebih sering terlihat bertanggung jawab mengurus rumah. Lalu bagaimana dengan laki-laki? Laki-laki dan pekerjaan domestik seringkali dianggap tak sejalan. Dekatnya pekerjaan domestik dengan perempuan, membuat seolah-olah tidak pada tempatnya laki-laki melakukan pekerjaan domestik.
Apa saja kerugian yang dialami perempuan bila mereka menghabiskan waktu lebih banyak untuk mengerjakan pekerjaan domestik? Beberapa dampak yang mungkin terjadi adalah waktu untuk mengembangkan diri akan terbatas, kesempatan untuk berkontribusi pada kondisi ekonomi keluarga akan terbatas. Sementara pada mereka yang bekerja dan tetap dituntut untuk melakukan pekerjaan domestik lebih banyak dari pasangannya, tingkat stress karena beban ganda dalam menjalankan perannya akan meningkat (1). Hal-hal ini mungkin sekali berpengaruh pada kepuasan pernikahan dan berpotensi menyebabkan relasi yang tidak sehat dengan pasangan, termasuk dengan anak-anak.
Apakah artinya hanya perempuan yang merugi dalam situasi tersebut? Tidak juga. Laki-laki juga mengalami kerugian dari bersikap pasif dalam melakukan pekerjaan domestik. Terbiasa di-’urusi’ membuat laki-laki menjadi tergantung pada anggota keluarga perempuan, seperti ibu, istri, atau saudara perempuan. Saat tiba suatu kondisi dimana laki-laki harus mengurus dirinya sendiri karena anggota rumah yang perempuan sedang berhalangan; misalnya sakit, harus keluar kota, dan sebagainya, ia merasa bingung, tidak tahu apa yang harus dilakukan, tidak tahu dimana meletakkan barang. Ia bisa jadi kemudian mengeluarkan uang lebih untuk menyewa jasa orang lain untuk mengerjakan apa yang sebenarnya bisa dilakukan sendiri. Misalnya mencuci pakaian jadi harus menggunakan jasa laundry, untuk makan harus beli di luar, rumah bisa jadi menjadi kurang terawat karena tidak terbiasa ikut membersihkan rumah, saat sakit memilih untuk mendiamkan penyakitnya menunggu sakitnya sembuh sendiri, daripada melakukan segala yang bisa dilakukan secara mandiri untuk sehat lebih cepat.
Meskipun demikian, dengan perubahan zaman dan meningkatnya pengetahuan, mulai banyak pula sebenarnya laki-laki terlibat lebih aktif dalam melakukan pekerjaan domestik. Manfaat yang dirasakan tentu tidak sedikit, ada yang merasa senang bisa meringankan beban pasangan, ada yang sudah terbiasa sejak kecil sehingga kini merasa dirinya lebih bertanggung jawab atas dirinya sendiri, ada yang merasa terjalin hubungan yang lebih berkualitas dengan pasangan dan anak-anak, dan sebagainya. Akan tetapi, masih ada kemungkinan para laki-laki yang ambil bagian dalam pekerjaan domestik akan dicibir oleh orang lain yang masih berpikiran tradisional. Masih ada rasa khawatir dianggap aneh, ‘nggak laki’, ‘takut istri’, terlalu feminin, dan sikap-sikap tidak mendukung lainnya. Akibatnya para lelaki menjadi enggan untuk terbuka pada banyak orang, bahwa mereka telah mengambil bagian dalam pekerjaan domestik.
Tampak sekali bahwa yang besar pengaruhnya dalam hal ini adalah pandangan masyarakat bukan? Dengan mengingat besarnya manfaat yang akan didapat dari pembagian peran domestik yang imbang antara laki-laki dan perempuan, alangkah baiknya jika kita mulai bergerak mewujudkan manfaat itu menjadi nyata dan lebih luas dapat dirasakan berbagai lapisan masyarakat. Para laki-laki bisa mulai lebih berperan melakukan pekerjaan domestik dan para perempuan dapat bersikap lebih terbuka, memberi dukungan dan semangat pada pasangan atau anggota keluarga laki-lakinya untuk lebih terlibat aktif. Bagi mereka yang sudah lebih dulu menerapkan pembagian peran ini, jadilah nyaman dengan diri sendiri dan percaya diri dengan apa yang anda yakini. Anggap diri anda sebagai agen perubahan yang dapat membuka pandangan mereka yang masih ragu agar terdorong untuk melakukan hal yang sama dan merasakan manfaat yang sudah anda rasakan lebih dulu.
Penulis: Yovie Safitri
Referensi:
www.yayasanpulih.org, Fauzan: Karena Aku Bagian Dari Rumah, 2018
www.yayasanpulih.org, Wawan Suwandi: Mengapa Laki-laki Jauh dari Pekerjaan Rumah Tangga?, 2018
Cerrato, J and Cifre, E. (2018). Gender Inequality in Household Chores and Work-Family Conflict. J. Frontiers in Psychology, vol. 9, doi.org/10.3389.
0 Comments
Leave A Comment