Tangis itu memecah kesunyian, suara pertama yang kudengar dari bayi perempuanku, suara yang membuat jantungku berdegup kencang dan air mata haruku menetes. Ya, kini aku menjadi ayah, suatu peran yang bukan lagi sekedar obrolan angan-angan yang paling sering dibahas saat makan malam bersama istri atau obrolan saat kita sama-sama menjelajahi tempat baru, seraya berkata “suatu saat kita foto bertiga nih disini, pasti seru”.
Secara pribadi, menjadi ayah membuatku termotivasi untuk lebih banyak belajar tentang pengasuhan anak. Alasannya antara lain karena aku ingin anakku merasakan kehadiranku, tidak hanya secara fisik namun juga secara kedekatan emosional. Aku ingin dia tahu bahwa kami selalu ada untuknya dan selalu bersamanya. Selain itu juga karena aku tahu bahwa waktu terus berjalan, dan setiap waktu bersamanya adalah momen berharga yang hanya datang sekali. Sangat singkat, serta tidak dapat diulang lagi. Kami sebagai orangtua sadar bahwa kami hanya bisa berinteraksi intens dengan anak hingga ia mencapai masa puberitasnya. Karena saat itu anak akan mulai sibuk dengan teman-temannya. Jadi orangtua sesungguhnya hanya memiliki waktu intensif dengan anak selama 9-15 tahun, bukankah itu sangat singkat sekali? Itulah sebabnya, aku dan istri memutuskan untuk bersama-sama berperan dalam pengasuhan anak, memberikan yang terbaik dan membantunya bersinar dengan caranya sendiri.
Dahulu dalam tatanan keluarga tradisional, ayah mempunyai peran sebagai kepala keluarga yang berfungsi memberikan perlindungan dan menyediakan kebutuhan material bagi anggota keluarganya. Biasanya ia dicirikan sebagai orang yang bekerja keras mencari nafkah (breadwinner), namun seringkali absen (tidak hadir) baik secara fisik maupun emosional bagi anak-anaknya (Mc Keown, 2001). Mungkin ketidakhadiran secara fisik dan emosional inilah yang membuatku dahulu canggung untuk berdiskusi atau sekedar memulai obrolan singkat tentang update berita sepakbola dengan ayahku. Dulu kami sering menonton siaran pertandingan sepakbola, namun suara yang lebih sering terdengar di ruangan itu hanya suara komentator di layar televisi.
Keterlibatan ayah tidak hanya di butuhkan sedari anak lahir saja, namun semenjak dalam kandungan. Ayah bisa memberikan perhatian dengan selalu mendampingi istrinya, memperhatikan kebutuhan istrinya dan juga bisa mengajak berkomunikasi sang anak dalam kandungan. Misalnya dengan cara mengelus perut istrinya dan mencoba merasakan gerakannya sambil sedikit bercerita atau memberikan pertanyaan dan kata-kata positif untuk si anak. Begitupun saat memasuki fase pengasuhan, seorang ayah juga harus terlibat aktif di dalamnya. Sebuah penelitian yang dilakukan oleh University of Guelph Canada pada tahun 2007 menunjukkan bahwa peran ayah dalam pola pengasuhan bisa memberikan pengaruh yang kuat untuk perkembangan anak, baik secara sosial, emosi, fisik, dan kognitif. Hal serupa juga ditemukan oleh Maureen Black, PhD, peneliti dan profesor pediatrik di University of Maryland School of Medicine. “Kami menemukan bahwa anak-anak yang pola asuhnya melibatkan ayah memiliki masalah yang lebih sedikit,” ujar Maureen. Dalam penelitian tersebut, secara spesifik Maureen menemukan bahwa anak-anak yang dekat dengan ayahnya punya keahlian bicara yang lebih baik dan masalah tingkah laku yang lebih sedikit.
Selain banyak manfaatnya untuk perkembangan anak, keterlibatan ayah dalam pengasuhan juga bisa mendorong pemberdayaan perempuan. Dengan berbagi peran dalam pengasuhan, Ibu bisa tetap memiliki waktu untuk bekerja dan berkreasi. “Sangat dimungkinkan ayah jadi pengasuh utama anak dan bekerja dari rumah. Sama seperti ibu yang juga jadi pengasuh utama bila bekerja dari rumah. Yang paling penting adalah mereka yang bekerja di luar rumah mendapatkan kesempatan yang sama untuk mengasuh dan berinteraksi dengan anak,” menurut Edward Andriyanto, M.Psi., psikolog klinis anak dari Universitas Indonesia.
Jadi, memiliki anak bukanlah suatu hambatan bagi perempuan untuk tidak lagi bisa bekerja dan berdaya secara ekonomi. Begitupun hal ini tidak bisa lagi menjadi alasan populer bagi beberapa suami untuk memaksa istrinya di rumah serta membatasi aksesnya untuk bekerja dan mengaktualisasikan dirinya. Keputusan untuk menjadi ibu rumah tangga atau ibu yang bekerja di ruang publik adalah keputusan perempuan itu sendiri. Bukankah harusnya perempuan dan laki-laki memiliki kesempatan yang sama untuk mengakses pekerjaan dan berdaya secara ekonomi? Dan bukankah perempuan dan laki-laki memiliki tanggung jawab yang sama dalam mengelola rumah tangga? Tak ada yang salah dari keputusan menjadi ibu rumah tangga atau ibu yang bekerja selama keputusan itu diambil tanpa adanya paksaan, ancaman dan intervensi dari siapapun. Apapun posisinya, tetap saja tugas-tugas domestik seperti pengasuhan dan yang lainnya adalah tugas bersama sebagai sebuah keluarga.
Pengalamanku, mengasuh anak itu asyik, jika kamu mau lebih membuka diri. Tidak perlu memandang bahwa mengurus anak akan mengurangi sisi maskulin yang ada di dirimu. Tidak perlu membatasi peran kamu hanya sebagai pencari nafkah atau pendisiplin. Menurut saya dan istri, dalam pengasuhan justru tidak perlu dibedakan. Kami bisa menjadi teman curhat anak, bisa bergantian mengantarnya ke posyandu, mengajaknya bermain, menyiapkan makanan dan menyuapinya, serta banyak kegiatan seru lainnya.
Yuk ayah, #KitaMulaiSekarang terlibat dalam pengasuhan dan mendukung pasangan kita untuk tetap berkreasi dan mengembangkan potensi dirinya secara maksimal.
Penulis: Fauzan
Referensi :
- https://womantalk.com/parenting/articles/ini-pentingnya-peran-ayah-dalam-mengasuh-anak-yBqv4
- https://lakilakibaru.or.id/peran-dan-keterlibatan-ayah-dalam-pengasuhan/
- https://kumparan.com/@kumparanmom/tak-hanya-ibu-ayah-juga-punya-peran-penting-dalam-pengasuhan-anak-1542443739051672518?ref=rel
0 Comments
Leave A Comment