Membicarakan perbedaan self-love dengan narsistik merupakan hal yang menarik, dan bisa mengenali kedua perilaku tersebut tentu akan membantu kita dalam mengidentifikasi  hubungan kita dengan orang lain, didasarkan atas self-love, ataukah narsistik.

Sebagaimana dituliskan Tara Well Ph.D. dalam Psychology Today, mengenai perbedaan antara self-love dan narsistik, menyatakan bahwa perilaku narsistik dapat diibaratkan seperti seseorang melihat ke cermin serta mengagumi diri tanpa henti. Cermin akan merefleksikan kembali diri kita. Melihat refleksi diri kita sendiri dapat menjadi sumber kebahagiaan, atau malah dapat memicu pikiran-pikiran yang tidak mencintai diri sendiri. Bagi orang yang narsistik, biasanya mencintai dirinya secara berlebihan.

Bagaimana caranya kita dapat mencintai diri sendiri dan membuat kita merasa baik dengan diri kita dan meningkatkan kualitas kehidupan kita, tapi tidak narsistik? Peneliti menemukan 4 perbedaan konsisten antara self-love yang sehat dan narsistik:

1. Self-love yang sehat berdasar pada kepercayaan bahwa kita memiliki kualitas positif dalam diri kita, begitu juga dengan orang lain yang memiliki kualitas positifnya. Jika kita tidak bisa mencintai diri kita sendiri, kita bisa saja menjadi sering membandingkan diri dengan orang lain. Seperti memercayai kalau kita memiliki kemampuan yang lebih sementara orang lain dibawah kita. Kepercayaan kalau orang lain selalu dibawah kita atau tidak sebaik kita agar kita merasa “lebih” adalah sifat dasar dari narsisme.

2. Seorang yang narsis lebih fokus pada memainkan peran sebagai teman yang baik, pasangan yang setia, atau pegawai yang baik, dibandingkan dengan benar-benar melakukan peran-peran tersebut dengan kemampuan dan kompetensinya. Mereka lebih memperhatikan bagaimana mereka berperan dibandingkan dengna kualitas hubungannya dengan orang lain. Mereka juga tidak memiliki banyak keinginan untuk melakukan pekerjaannya atau bertanggung jawab ketika ada sesuatu yang salah. Sementara orang dengan kemampuan self-love yang tinggi mampu melakukan pekerjaannya dengan baik dan bertanggung jawab atas perilakunya, serta memperhatikan kualitas hubungan mereka dengan orang lain.

3. Orang yang narsis membutuhkan orang lain untuk memvalidasi kehebatan dirinya. Mereka membutuhkan afirmasi terus menerus dari orang lain karena mereka tidak memiliki perasaan layak, perasaan saya pada diri mereka, atau perasaan menghargai diri mereka sendiri. Mereka mungkin saja melakukan hal gila untuk mendapatkan pujian dan pengakuan. Orang narsis juga kerap mengukur kelayakan mereka berdasarkan simbol status seperti  perhiasan, pakaian, pasangan yang atraktif (cantik atau tampan), dsb. Berbeda dengan orang yang memiliki self-love, mereka dipandu oleh nilai-nilai yang ada di dalam diri mereka dan bertindak secara konsisten dengan nilai-nilai tersebut dan menopang perasaan baik dan bangga pada diri mereka sendiri.

4. Orang yang narsis cenderung tidak memiliki area abu-abu, mereka hanya mencintai sesuatu atau membenci hal tersebut. Sedangkan orang dengan self-love mampu mengembangkan kemampuan untuk mentoleransi ketidakpastian dan emosi yang lebih halus.

Self-love yang sehat terkait dengan kemampuan untuk memahami dan mengakui kelemahan dirinya, dimana hal itu tidak dimiliki seorang narsistik. Ketika kita mengetahui kelemahan diri sendiri, secara alami kita mulai merasa perlu mencari bantuan, dan ini membuat kita merasa lebih terhubung dengan orang lain. Jika kita tidak bisa menerima perasaan tidak nyaman terhadap diri sendiri, hal itu tercermin dari sikap dan perilaku kita terhadap orang lain, sehingga dapat menciptakan konflik, isolasi, dan kekecewaan diri. []

Artikel ditulis oleh Tara Well Ph.D. dan dimuat di protal psychologytoday.com dengan judul: Is Self-Love Healthy or Narcissistic?

(F. Nadia)