Pernahkah kamu mendengar kata maskulin dan feminin? Pasti sering lah ya, dan tentunya biasa digunakan untuk menggambarkan sifat seseorang dalam berperilaku, berpikir, maupun berpenampilan. Kata sifat ini juga sering kali digunakan untuk mengkotakkan jenis pekerjaan, pakaian, serta mengatur bagaimana laki-laki dan perempuan seharusnya berpikir, merasakan, serta berperilaku.
Tapi tahukah kamu, bahwa sifat maskulin dan feminin ini sebenarnya ada dalam setiap diri manusia. Sandra L. Bem (1974) mengatakan hal yang sama, bahwa manusia memiliki kedua sifat tersebut dan kedua sifat ini berguna bagi kehidupan kita. Sifat maskulin sering diidentikkan dengan bagaimana seseorang berpikiran rasional, berani, bertanggungjawab, dan melindungi. Sementara sifat feminin sering dikaitkan dengan kelemahlembutan, keibuan, merawat, penyayang dan sabar. Kalau dilihat-lihat secara seksama, sebetulnya semua sifat yang tergolong feminin maupun maskulin tadi dimiliki setiap dari kita dan penting untuk kehidupan kita. Seorang laki-laki yang sudah menjadi ayah misalnya ketika bermain bersama dengan anaknya pasti akan menampilkan sifat lemah lembut, penyayang, dan sabar. Sementara seorang perempuan juga perlu berpikir secara kritis dan rasional, berani, serta bertanggungjawab dalam kehidupannya.
Baca juga: Move On
Lalu apa yang menjadikan kedua sifat ini semakin terpolarisasi satu sama lain dan muncul toxic masculinity? Konstruksi peran gender yang kaku, secara tidak langsung telah melanggengkan polarisasi kedua sifat ini. Sebuah tulisan yang dibuat oleh American Psychological Association (APA) tentang riset mengenai toxic masculinity, mengajak kita untuk berpikir lebih kritis tentang bagaimana norma-norma gender yang mempengaruhi perilaku kita sehari-hari. Lebih penting lagi, mereka juga memberikan pencerahan pada mekanisme psikologis dan faktor-faktor sosial yang memengaruhi. Seiring berjalannya waktu, pengertian toxic masculinity berkembang menjadi “norma sosial tentang bagaimana laki-laki seharusnya berperilaku”. Norma-norma tersebut dapat membuat seseorang menjadi misogyny, homophobia, violence, dan dapat mempengaruhi kesehatan mental mereka.
Norma sosial adalah sebuah standar sosial atau ekspektasi tidak terlihat yang diikuti agar seseorang dapat merasa diterima dalam situasi yang diberikan, dan membuat kita merasa tidak nyaman ketika kita tidak melakukan norma-norma tersebut. Norma gender sama seperti itu, tetapi lebih spesifik berhubungan dengan jenis kelamin dan bagaimana ia perilaku, berpikir, merasakan, serta berpenampilan yang diasosiasikan dengan gender tertentu. Sebagai contoh, “laki-laki tidak menangis” adalah salah satu norma gender laki-laki yang sudah ada dari sangat lama, dan membuat laki-laki lebih memilih untuk menekan perasaan mereka dibandingkan memproses emosi mereka dengan cara yang sehat atau baik. Beberapa norma sosial yang dapat membentuk perilaku toxic masculinity diantaranya:
Baca juga: Pentingnya Informed Consent dalam Konseling atau Psikoterapi
- Power dan merasa Dalam sejarah, laki-laki memiliki kekuatan sosial dan ekonomi yang lebih dibandingkan perempuan dan menjadi grup yang dominan dalam bermasyarakat. Seperti bagaimana laki-laki mendapatkan uang lebih banyak dibandingkan perempuan dan mayoritas menempati posisi pemimpin dalam sektor publik dan pribadi. Salah satu contohnya adalah bagaimana laki-laki merendahkan efek dari kekerasan seksual dan memiliki bias terhadap perempuan. Hal tersebut terjadi karena banyak laki-laki yang tidak merasakan kekerasan seksual atau bias gender karena identitas mereka sebagai laki-laki.
- Privilege. Privilege atau keuntungan yang terjadi akibat adanya norma gender yang kaku dapat menyebabkan laki-laki tidak sadar bagaimana menjadi laki-laki dan mengikuti norma maskulin memberikan mereka power dan keuntungan yang tidak dimiliki oleh perempuan.
- Masculine power. Didapat melalui norma gender tradisional yang memaksa laki-laki untuk menjadi dominan. Salah satunya adalah mempermalukan laki-laki yang melakukan perilaku yang dianggap “tidak manly”. Salah satu contoh dari perilaku “tidak manly” adalah perilaku mengakui kelemahan atau kesalahan, lemah terhadap perasaannya, tidak menggunakan paksaan ketika menyelesaikan masalah, ataupun hal-hal yang dapat mempertanyakan status mereka sebagai laki-laki. Oleh karena itu, ketika laki-laki menghadapi isu yang berhubungan kesehatan mental, mereka kerap merasakan dilemma antara mencari bantuan dan against norma, dan kemudian mendapatkan kritik dari laki-laki lainnya, atau tetap pada norma dan diam saja menghadapi masalahnya.
- Beberapa norma maskulin mendorong laki-laki untuk pamer seberapa banyak perempuan yang sudah mereka tiduri. Ketika laki-laki berbicara tentang perempuan seperti itu, sama saja mereka memaksakan gagasan kalau perempuan adalah objek yang harus dikuasai. Meskipun tidak terlihat berbahaya, tetapi penelitian menunjukkan kalau laki-laki dengan tradisional maskulin yang besar akan lebih cenderung melakukan kekerasan seksual pada wanita.
Robert Brannon dan Samuel Juni (1984), mengembangkan sebuah alat ukur yang berakar pada teori peran sex awal dan dikembangkan untuk mengukur bagaimana “apa yang sebenarnya orang rasakan tentang tradisional maskulinitas Amerika”. Termasuk dalam alat ukur tersebut adalah perspektif dan gambaran pernyataan-pernyataan yang mewakili nilai dan norma maskulinitas mainstream. Dalam norma tradisional maskulin Brannon Masculinity Scale (BMS), terdapat empat tema penting dari apa yang laki-laki inginkan, bagaimana laki-laki seharusnya, dan kesuksesan dalam menjalankan hal-hal yang berhubungan dengan bagaimana seharusnya laki-laki bersikap dan berperilaku:
- The big wheel. Laki-laki adalah tulang punggung dan harus menanggung keluarganya; memiliki tujuan untuk dikagumi dan dihormati.
- The sturdy oak. Memiliki fisik yang kuat dan dapat handling rasa sakit; kuat, memiliki kepercayaan yang tinggi, tegas, atau bisa juga disebut sebagai “male machine”.
- No sissy stuff. Menghindari hal-hal yang dianggap feminin dan mengindari terlibat dalam aktifitas yang dapat dianggap feminin; menutupi emosi mereka dan tidak pernah menunjukkan perasaan mereka.
- Give ‘em hell. Berani, agresif, dan memaksa, mampu terlibat dalam kekerasan jika diperlukan.
Baca juga: Mitos-mitos Bahagia
Dapat dilihat bahwa norma-norma yang mengatur mengenai bagaimana seharusnya laki-laki bersikap dan berperilaku dapat menyebabkan munculnya toxic masculinity. Dengan adanya toxic masculinity, menyebabkan munculnya krisis identitas ketika laki-laki mencoba untuk mencapai maskulinitas yang ideal, dan kemudian dapat memberikan efek negatif pada mental dan emosi mereka, seperti
- Menampilkan emosi yang diredam atau tidak didengar.
- Menunjukkan kurangnya rasa empati.
- Mengalami agresi yang cenderung bertahan lama
- Terlibat dalam perilaku kasar terhadap orang yang.
- Mengalami diagnosis penyakit mental yang lebih.
- Mendapatkan diagnosis gangguan psikologis yang salah.
- Menghindari mencari bantuan dari profesional.
Saat ini, sangat penting untuk mempromosikan healthy masculinity, atau positive masculinity. Hal itu tidak hanya bermanfaat bagi laki-laki, tetapi pemahaman maskulinitas yang sehat bermanfaat pada upaya menekan angka kekerasan terhadap perempuan dan anak. Sebuah organisasi di Amerika bernama A Call to a Men, mengembangkan positive manhood untuk mencegah kekerasan, dan mereka mendorong laki-laki untuk:
- Mengekspresikan berbagai emosi dan merasa emosi yang mereka rasakan diterima
- Merasa rentan dan mencari bantuan jika memang perlu.
- Memperlakukan orang lain secara sama rata dan dengan rasa hormat
- Mendengarkan dan menghargai perempuan.
- Menjadi role model bagi laki-laki yang sebaya dengan mereka. []
by: Fairuz Nadia
2 Comments
Tulisan yang sangat bagus. Terimakasih untuk tulisan sebaik ini.
Leave A Comment