Dampak dari pandemi virus COVID-19 Corona, memberikan pengaruh yang berbeda antara laki-laki dan perempuan. Pandemi yang telah mendunia membuat ketidakadilan yang sudah dirasakan oleh perempuan dan kelompok marginal lainnya, seperti kelompok disabilitas, dan mereka yang memiliki ketidakmampuan ekonomi, kondisinya menjadi kian memburuk.
Dengan segala keterbatasan yang dihadapi, perempuan dan kelompok rentan memiliki beban yang kian berat, terutama bila ketika suatu daerah/negara memberlakukan isolasi ketat tetapi tidak adanya jaminan pemenuhan kebutuhan primer secara merata, dan keterbatasan ekonomi yang berakibat tidak memiliki fasilitas memadai, serta akses ke layanan kesehatan guna melakukan deteksi awal virus.
Lalu apa saja dampak buruk akibat norma gender dalam konteks pandemik bagi perempuan dan kelompok rentan lainnya?
Norma Gender Menimbulkan Risiko
Dalam norma gender yang patriarki, perempuan tidak memiliki kekuatan membuat keputusan ketika wabah berlangsung, dan akibatnya sebagian besar kebutuhan umum, dan kesehatan reproduksi mereka tidak tepenuhi. Lebih dari itu bahkan perempuan tidak memiliki otonomi untuk membuat keputusan yang berhubungan dengan reproduksi mereka sendiri. Hal tersebut diperparah dengan terbatasnya sumber keuangan sehingga sulit bagi perempuan mengakses layanan kesehatan, baik untuk dirinya sendiri maupun bagi anak-anaknya.
Baca juga: Pandemi Covid-19 dan Imbasnya bagi Perempuan: Apa yang dapat Kita Lakukan?
Di sisi lain laki-laki justru cenderung enggan mengakses layanan kesehatan untuk deteksi awal penularan virus. Hal itu disebabkan oleh norma gender yang ingin memperlihatkan betapa mereka sebagai makhluk yang kuat (maskulin). Padahal perilaku merasa kuat berakibat pada keterlambatan deteksi, dan tentu saja pengobatan yang terlambat.
Dalam konteks norma gender yang patriarki, laki-laki didapuk sebagai pencari nafkah utama. Dengan adanya pandemi virus COVID-19 Corona, pemerintah membuat kebijakan karantina guna memutus rantai penularan virus. Kebijakan tersebut membuat laki-laki berdiam di rumah, sehingga tidak dapat memenuhi norma gendernya sebagai pencari nafkah. Hal itu tentu menjadi tekanan tersendiri, baik dari dalam dirinya, maupun dari keluarganya yang juga mengaplikasikan norma gender patriarki dengan turut meyakini bahwa laki-laki adalah pencari nafkah utama. Dari realita tersebut berpotensi terjadinya ketegangan bahkan konflik dalam rumah tangga.
Pembagian Kerja yang Tidak Berimbang
Secara umum, selama masa karantina di rumah, beban pekerjaan perempuan dalam rumah tangga semakin besar. Mulai dari menyiapkan makanan, mencuci pakaian, membersihkan rumah, menemani anak menyelesaikan tugas-tugas sekolah. Bagi keluarga yang suaminya pekerja harian, perempuan semakin terbebani karena ia harus memeras pikirannya dalam memenuhi kebutuhan sehari-hari keluarga, dimana suami sedang tidak bisa keluar rumah untuk mencari nafkah.
Keluarga dengan norma gender yang diskriminatif pada perempuan, tidak mengenal yang namanya berbagi peran domestik antara suami-istri. Suami/laki-laki merasa tabu, atau merasa urusan rumah tangga tugasnya perempuan, walaupun saat itu sang suami sedang tidak bekerja. Dengan demikian pandemi virus COVID-19 Corona membuat beban perempuan semakin berat.
Baca juga: Pentingnya Self-care bagi Petugas Kesehatan
Pentingnya Perspektif Gender dan Melibatkan Perempuan dalam Perencanaan
Sebesar 70% tenaga kesehatan di dunia adalah perempuan, sehingga dapat dilihat siapa yang lebih beresiko tertular virus COVID-19 Corona. Tenaga kesehatan perempuan memberikan intervensi langsung pada pasien di fasilitas kesehatan primer, termasuk berada di garis depan dalam berinteraksi dengan masyarakat. Tetapi begitu yang membuat prihatin adalah mereka tidak sepernuhnya terlibat dalam membuat keputusan dan perencanaan intervensi, pengawasan keamanan, proses deteksi, dan mekanisme pencegahan.
Melihat besarnya keterlibatan perempuan dalam dunia kesehatan, dan pengalaman perempuan dalam penanganan wabah yang pernah terjadi sebelumnya, menunjukkan pentingnya memasukkan analisis gender dalam persiapan dan respon suatu bencana. Selain untuk meningkatkan efektifitas dari intervensi kesehatan, juga untuk mendorong kesetaraan gender, dan mewujudkan keadilan pada layanan kesehatan.
Norma gender yang menempatkan perempuan sebagai perawat dalam keluarga, serta besarnya keterlibatan perempuan sebagai tenaga kesehatan, maka menjadi alasan kuat untuk melibatkan perempuan dalam perencanaan, serta menggunakan perspektif gender dalam dunia kesehatan.
Situasi Bencana dan Meningkatnya Kekerasan Berbasis Gender
Dalam situasi bencana atau pandemi virus, kian melipatgandakan kerentaan, dan ketidakadilan gender yang sudah ada, serta meningkatkan risiko kekerasan bagi perempuan. Pada masa-masa krisis seperti outbreak, anak-anak dan perempuan berada dalam resiko yang lebih besar mendapatkan kekerasan akibat ketegangan yang meningkat di dalam rumah tangga.
Akibat pandemi, layanan-layanan profesional yang biasa membantu kelompok rentan, untuk sementara menghentikan layananannya secara umum karena energi mereka terfokus pada penanganan pandemi. Akibatnya perempuan atau kelompok rentan lainnya, seperti penyandang disabilitas, dan anak-anak, memiliki kendala dalam mencari perlindungan dari kekerasan yang mereka alami.
Baca juga: Bagaimana menjaga hubungan tetap sehat selama self-isolation
Menurut UNFPA, memahami ketidakadilan gender menjadi kunci untuk membangun kepekaan adanya potensi peningkatan risiko kekerasan berbasis gender dalam situasi bencana atau pandemi saat ini. Seluruh populasi merasakan imbas dari pandemi virus COVID-19 Corona, dan tentu saja setiap orang atau wilayah akan mengalaminya secara berbeda-beda.
Dalam konteks situasi bencana dan perempuan, sebagaimana identifikasi UNFPA, sekitar 48 juta perempuan dan anak perempuan, termasuk 4 juta perempuan hamil, membutuhkan bantuan kemanusiaan dan perlindungan di tahun 2020 ini.
Bahaya lebih besar lagi akibat COVID-19 dialami oleh daerah konflik, tempat tinggal yang buruk, dan sumber daya yang terbatas, kian memperbesar resiko. Penyebaran COVID-19 yang cepat lebih menakutkan bagi negara-negara yang juga menghadapi krisis, konflik yang berkepanjangan, bencana alam, dan keadaan darurat lainnya. Negara-negara tersebut sering dianggap rapuh karena sistem kesehatan yang lemah, sehingga membuatnya rentan terhadap COVID-19, dan kurangnya kapasitas mereka untuk mendeteksi, mengkonfirmasi virus, mengelola kesehatan, dampak klinis, dan penyakit dalam suatu populasi.[]
by: Fairuz Nadia
Referensi:
United Nations Population Fund HQ. (2020, March). COVID-19: A Gender Lens PROTECTING SEXUAL AND REPRODUCTIVE. Retrieved from www.unfpa.org
0 Comments
Leave A Comment