Pandemi mengubah semua sektor kehidupan kita. Mulai dari perubahan di sektor ekonomi, sosial, kesehatan, termasuk kehidupan rumah tangga. Pembatasan aktivitas di luar rumah membuat perubahan yang cukup drastis dalam dinamika keluarga. Jika selama ini anggota keluarga memiliki waktu pertemuan yang relatif singkat karena kesibukan di luar rumah, ketika pandemi terjadi anggota keluarga menghabiskan hampir 24 jam selama tujuh hari bersama-sama.

Ada saja yang mulai mengeluhkan ketidaksabaran saat mengasuh dan menemani anak-anak untuk mengerjakan tugas-tugas sekolah, kurangnya privasi untuk melakukan pekerjaan kantor, maupun perempuan yang makin disibukkan oleh urusan domestik karena seluruh anggota keluarga berkegiatan di rumah dan belum ada pembagian peran domestik yang adil gender. Tidak jarang pula suami-istri menjadi lebih sering bertengkar karena merasa tidak saling mendapatkan dukungan satu sama lain. Kondisi ini membuat sebagian orang mulai merasa situasi rumahnya menjadi tidak kondusif dan mengarah pada kekerasan dalam rumah tangga (KDRT).

Baca juga: Cara Menghindari Burnout Saat Bekerja dari Rumah

Seperti yang disebutkan oleh Marianne Hester, seorang sosiolog dari Universitas Bristol, kejadian KDRT meningkat seiring dengan anggota keluarga menghabiskan waktu bersama lebih banyak. Jadi, kekhawatiran di atas bukanlah tidak berdasar. Apalagi menurut laporan di berbagai negara, seperti Australia, Amerika, Italia, Perancis, dan lainnya, angka pelaporan kasus KDRT meningkat semenjak Covid-19 mulai merebak dan negara menerapkan karantina wilayah. Bahkan di Cina sendiri, setelah dinyatakan bebas Covid-19, banyak gugatan perceraian masuk ke pengadilan.

Pemahaman yang Salah

Meskipun demikian, konflik tidak bisa disamakan dengan KDRT, walau KDRT berawal dari konflik di dalam hubungan. Konflik adalah hal yang tak bisa terhindarkan ketika kita berada dalam sebuah relasi. Ketika konflik terjadi bisa saja perseteruan itu berujung pada penggunaan kekerasan. Namun, tidak semua konflik merepresentasikan KDRT. Oleh karena itu, kita butuh mengenali mana yang termasuk konflik biasa dan konflik KDRT.

Kita bisa saja mengalami peningkatan emosi negatif sesaat karena masifnya konflik yang terjadi. Emosi negatif, seperti marah dan kesal bisa memuncak apabila terus distimulasi. Ibaratnya seperti menyiram bensin pada api, apabila terus terjadi maka akan menimbulkan ledakan kemarahan, sehingga kekerasan pun bisa muncul.

Sebagai contoh, dalam kondisi PSBB (Pembatasan Sosial Berskala Besar) saat ini, suami yang bekerja di rumah mugkin mengharapkan rumah yang tenang saat ia harus mengikuti rapat bersama rekan-rekan kerjanya melalui aplikasi rapat jarak jauh. Namun, di saat bersamaan anak-anak yang juga bersekolah di rumah sedang beradu mulut dan membuat kegaduhan. Suami yang merasa terganggu pun mengingatkan kepada istri untuk menenangkan anak-anaknya. Istri yang tidak menerima pendapat suami karena sedang merasa kerepotan mengurus bayi atau memasak, akhirnya menanggapi dengan kemarahan pula. Jika adu argumen terus terjadi, bisa jadi pada satu titik suami melakukan kekerasan fisik untuk menenangkan situasi.

Baca juga: Dampak Pandemi COVID-19 bagi Perempuan

Kekerasan yang sifatnya situasional seperti di atas, disebut juga Situasional Couple Violence (SCV) menurut Michael Johnson (dalam Miller, 2012). Dalam contoh di atas, setelah kejadian suami-istri dapat merenungi kembali kejadian tersebut dan mengungkapkan perasaan satu sama lain untuk menyelesaikan kesalahpahaman tersebut. Di dalam penyelesaian konflik ini pun masing-masing memiliki hak yang sama untuk mengutarakan pendapat dan perasaan, sehingga bisa didapatkan penyelesaian yang sifatnya solutif. Artinya, ada kesetaraan atau kesamaan hak dari masing-masing pihak untuk mengungkapkan pendapat serta adanya penghargaan dari pihak lain akan peran yang sedang dijalankan masing-masing.

Sebaliknya, dalam KDRT posisi yang dimiliki suami-istri tidaklah setara. Salah satu pihak memiliki peran yang lebih dominan, merasa perannya lebih penting dibanding yang lain. Dalam contoh di atas, apabila suami merasa perannya sebagai pencari nafkah lebih penting kemudian merendahkan istrinya karena dianggap tidak mampu menenangkan anak di kala ia butuh, maka ada ketimpangan di sana. Bahkan diperparah dengan suami yang merasa butuh memukul istrinya agar istrinya patuh. KDRT dapat muncul dari pemikiran-pemikiran demikian, saat peran yang lain dianggap lebih tidak berarti dibanding perannya sendiri.

Selain itu, KDRT memiliki sebuah pola dan biasanya terjadi terus-menerus. Ketidakmampuan mengelola konflik membuat kekerasan digunakan untuk mengendalikan pihak lain untuk menunjukkan dirinya lebih berkuasa. Jadi, kekerasan terjadi sebagai upaya untuk membatasi dan mengendalikan pasangan, sehingga pihak yang menjadi “korban” tidak memiliki kemampuan untuk keluar dari situasi itu.

Satu kunci lain yang membedakan antara konflik biasa dan KDRT adalah adanya peningkatan frekuensi dan intensitas dari perilaku kekerasan yang terjadi. Biasanya peningkatan ini terjadi secara bertahap. Namun, dengan adanya pembatasan untuk keluar rumah dan pasangan semakin sering bersama, frekuensi dan intensitas ini bisa meningkat.

Jika meminjam istilah dari Michael Johnson (dalam Miller, 2012) maka KDRT termasuk ke dalam Intimate Terrorism. Sesuai makna katanya, korban merasa diteror terus-menerus menggunakan kekerasan. Kekerasan, baik fisik, verbal, emosional digunakan untuk mengendalikan dan menekan korban agar mengikuti kemauan pelaku. Sampai akhirnya korban tidak lagi merasa dirinya berharga dan berdikari sebagai seorang manusia.

Oleh karena itu, perlu dikenali lebih lanjut, konflik berujung kekerasan yang terjadi setelah terjadinya pembatasan sosial akibat Covid-19 ini memang merupakan KDRT atau bukan. KDRT ketika memang sudah ada potensi-potensi konflik yang memang sudah terjadi sebelum pandemi terjadi dan memuncak setelah terjadinya pembatasan aktivitas. Sebaliknya, ketika kekerasan muncul hanya sesaat dan setelahnya konflik bisa diselesaikan dengan baik, maka hal itu hanya bersifat situasional.

Bukan Candaan, Jangan Terabaikan

Sayangnya, di tengah pandemi ini KDRT malah dijadikan bahan bercanda oleh beberapa orang atas konflik yang terjadi di rumahnya. Menganggap dirinya bisa menjadi pelaku karena terlalu lama di rumah yang memunculkan banyak konflik bersama pasangan. Kebersamaan dengan keluarga pun dianggap bisa memicu munculnya KDRT. Mungkin tampaknya ini hanyalah sekedar usaha untuk meredakan ketegangan di rumah. Bisa juga menjadi isyarat bahwa ada masalah yang sedang terjadi di dalam hubungannya dengan anggota keluarga lain.

Baca juga: Wujudkan Keadilan Gender dalam Penanganan COVID-19

Meskipun demikian, tetaplah harus disadari tidak semudah itu menjadikan konflik yang terjadi dalam rumah tangga sebagai suatu bentuk KDRT. Ketika ternyata memang konflik semakin banyak dialami setelah lebih banyak menghabiskan waktu di rumah, ada baiknya pasangan suami-istri menganalisis sebabnya secara lebih mendalam. Kemudian, menemukan solusi-solusi yang bisa dilakukan untuk meredakan ketegangan yang terjadi di rumah tangga.

Ini pun merupakan usaha agar kita bisa mengenali pula kondisi orang-orang di sekitar kita yang memang ternyata memiliki potensi terjadinya KDRT. Sebab KDRT terjadi dalam situasi yang lebih kompleks, yaitu ketika korbannya benar-benar tidak memiliki kemampuan untuk keluar dari situasi kekerasan yang dialami. Di tengah karantina wilayah yang sedang terjadi ini, mereka akan semakin kesulitan untuk keluar sejenak demi memberi jarak dengan pelaku.

Belum lagi, imbas pandemi yang membuat para pelaku bisa saja kehilangan pekerjaan dan penghasilan, membuat para korban menjadi semakin rentan untuk mendapatkan kekerasan. Seperti yang disebutkan dalam artikel UNWomen bahwa jumlah angka kejadian dari tindak kekerasan terhadap perempuan dan anak kemungkinan meningkat seiring dengan adanya kekhawatiran yang meningkat tentang keamanan, kesehatan, dan keuangan.

Keterbatasan akses untuk mendapatkan perlindungan bisa menjadi perhatian kita pula agar tidak mengabaikan para korban yang sedang bertahan di tengah karantina wilayah ini. Bagaimanapun sudah menjadi tanggungjawab kita bersama untuk memahami dampak yang dapat terjadi ketika KDRT terjadi. Jangan sampai karena salah mempersepsikan makna sebenarnya dari KDRT, kita tidak bisa melihat orang-orang yang memang membutuhkan pertolongan kita untuk menyelamatkan diri dari KDRT yang ia alami.

Jadi, sebelum berpikir apa yang kita alami adalah KDRT, mari kita coba pahami dahulu situasi apa yang sebenarnya kita hadapi. Jangan sampai kita salah menyimpulkan dan salah dalam mencari bantuan untuk menyelesaikannya.

Baca juga: Pandemi COVID-19 dan Imbasnya bagi Perempuan: Apa yang Bisa Kita Lakukan?

by: Nurindah Fitria, M.Psi., Psikolog

 

Sumber bacaan:

www.nytimes.com/2020/04/06/world/coronavirus-domestic-violence.html

www.apa.org/topics/covid-19/domestic-violence-child-abuse

Miller, R. S. 2012. Intimate Relationships. 7th ed. New York: McGraw-Hill.

UNWomen. 2020. Covid-19 and Ending Violence Against Women and Girls. Issue Brief.