Kerentanan (vulnerability) adalah rangkaian kondisi yang menentukan apakah bahaya (baik bahaya alam maupun bahaya buatan) yang terjadi dapat menimbulkan bencana (disaster) atau tidak. Rangkaian kondisi, umumnya dapat berupa kondisi fisik, sosial, dan sikap yang dapat mempengaruhi kemampuan masyarakat dalam melakukan pencegahan, mitigasi, persiapan, dan tindak-tanggap terhadap dampak bahaya. Jenis-jenis kerentanan dapat berupa:
- Kerentanan fisik : bangunan, fisik individu
- Kerentanan sosial : kemiskinan, lingkungan, konflik, tingkat pertumbuhan yang tinggi, anak-anak dan wanita, lansia, dan stigma
- Kerentanan mental : ketidaktahuan, tidak menyadari, kurangnya pecaya diri, memiliki tantangan kesehatan mental, dan lainnya.
Kelompok yang rentan terkena dampak di tengah pandemi nyatanya bukan hanya penyintas KDRT dan kekerasan berbasis gender saja. Berdasarkan definisi UU Republik Indonesia, yang termasuk ke dalam kelompok rentan adalah orang lanjut usia, anak-anak, fakir miskin, perempuan hamil, dan orang dengan disabilitas. Namun pada kenyataannya yang disebut dengan kelompok rentan jauh lebih kompleks dibandingkan dengan definisi yang ada di dalam undang-undang. Kerentanan yang kompleks bisa dipahami dengan kerangka psikososial karena masing-masing sistem saling berinteraksi dan mempengaruhi. Kerentanan juga bisa terjadi karena adanya ketimpangan peran gender.
Baca juga: Layanan Konseling Online Gratis untuk Perempuan dan Anak Korban Kekerasan di masa Pandemi
Salah satu kelompok yang rentan adalah kelompok minoritas seksual atau LGBTQ. Sebelum ada wabah Covid-19 pun mereka kerap menerima diskriminasi, mereka kesulitan mengakses layanan kesehatan, pekerjaan, akses mendapatkan tempat tinggal karena mereka kerap ditolak untuk sewa kos, dan akses keadilan, sehingga pandemi Covid-19 ini membuat kelompok minoritas seksual semakin rentan (- Mantan Koordinator KontraS dalam Webinar “Diskusi Media: Dampak Covid-19 dan Pemberitaan Media terhadap Transgender” -)
Kelompok rentan lainnya adalak kelompok difabel. Seorang difabel netra yang membuka usaha panti pijat di rumahnya harus kehilangan pendapatannya karena wabah Covid-19 yang terus merebak sehingga membuat pelanggan khawatir karena terapi pijat mengharuskan adanya kontak langsung, selain itu pemerintah juga mengharuskan warga untuk melakukan physical distancing. Distribusi informasi terkait penyebaran dan pencegahan Covid-19 juga dirasa sulit untuk diakses oleh para difabel.
Tidak hanya kelompok minoritas seksual dan difabel saja, kelompok penyandang disabilitas mental juga tidak kalah rentannya terhadap ancaman wabah Covid-19. Yeni Rosa Damayanti dari Perkumpulan Jiwa Sehat mengatakan para difabel mental di panti-panti sosial sulit menjaga jarak aman karena jumlah penghuninya sudah terlampau padat, selain itu penyebaran virus juga berpotensi ditularkan oleh pegawai panti karena mereka banyak dari mereka yang tinggal di rumah masing-masung dan datang hanya pada saat jam kerja. Menurut Yeni, beberapa panti di Jawa Tengah gizinya sangat buruk, malnutrisi, sehingga memperlemah daya tahan tubuh. Banyak juga panti swasta yang masih memasung pasiennya dan mereka hidup dalam kondisi jauh dari layak sehingga ketahanan tubuhnya lemah. Tidak hanya itu, banyak juga penghuni panti yang mempunyai penyakit bawaaan, apalagi panti-panti juga menerima orang-orang yang berasal dari jalan, yang tadinya gelandangan.
Baca juga: Mengatasi Kesepian pada Masa Karantina
Situasi PSBB (Pembatasan Sosial Berskala Besar) yang diterapkan saat ini dapat meningkatkan stres dan kecemasan yang dirasakan oleh setiap orang. Hal ini dapat mempengaruhi kondisi psikologis setiap individu, termasuk pada kelompok-kelompok rentan tersebut di atas. Mereka juga menjadi lebih mudah terpapar dengan kekerasan berbasis gender. Kelompok-kelompok tersebut juga rentan akan keterbasan mengakses layanan kesehatan. Kerentanan lainnya diantaranya:
- Stigma dan diskriminasi membuat angka kekerasan tinggi atau meningkat. Stigma sebenarnya sudah ada dari sebelum munculnya PSBB ataupun pandemi, namun dengan adanya situasi seperti saat ini, stigma juga semakin lebih tajam.
- Lebih dari 50% transpuan terdampak secara kritis dari pendemi Covd-19
- 800 orang dengan gangguan kesehatan mental terlaporkan dipasung
- Orang dengan disabilitas dan transpuan kebanyakan bekerja non-formal
- Penghuni panti sosial disabilitas melebihi kuota sehingga sulit menjaga jarak aman satu sama lain
- Kondisi tertentu orang dengan disabilitas menjadikan mereka tergantung kepada orang lain
- Minoritas seksual menjadi 7-12x untuk kemungkinan melakukan percobaan bunuh diri
- Kondisi psikologis masyarakat sekitar yang saat ini juga sedang terdampak dapat memperburuk keadaan maupun situasi
- Layanan kesehatan non Covid-19 dinomor-duakan, juga layanan untuk ODHA, orang dengan gangguan kesehatan mental, dsb. Keterbatasan layanan sebenarnya sudah ada dari sebelum munculnya pandemi, namun dengan adanya situasi seperti saat ini, akses layanan medis bagi kelompok rentan bukan merupakan prioritas. Penyandang disabilitas dan pengasuhnya juga menghadapi berbagai tantangan yang dapat menghalangi mereka untuk mendapatkan perawatan dan informasi penting untuk mengurangi risiko selama wabah Covid-19. Beberapa halangan-halangan tersebut diantaranya:
- Komunikasi risiko penting untuk mempromosikan kesehatan dan mencegah infeksi dan mengurangi stres di tengan masyarakat, tetapi sering kali informasi tidak dikembangkan dan dibagikan secara inklusif bagi penyandang disabilitas komunikasi.
- Banyak pusat kesehatan sulit diakses penyandang disabilitas fisik karena hambatan perkotaan dan sulitnya sistem transportasi umum untuk diakses oleh penyandang disabilitas.
- Secara institusi, biaya layanan kesehatan yang tinggi menghalangi banyak penyandang disabilitas untuk mengakses layanan-layanan penting. Selain itu, kurangnya protocol tentang cara merawat penyandang disabilitas yang berada di karantina.
- Prasangka, stigma, dan diskriminasi terhadap penyandang disabilitas, termasuk pandangan kalau penyandang disabilitas tidak dapat membantu dalam respons wabah atau mengambil keputusan sendiri. Halangan-halangan ini dapat menimbulkan stres tambahan bagi penyandang disabulitas dan orang yang merawatya selama wabah Covid-19. Pendapat dan kebutuhan penyandang disabilitas penting untuk dimasukkan ke dalam perencanaan dan respons darurat wabah untuk menjaga kesehatan fisik dan mental sembari menurunkan risiko infeksi virus.
Baca juga: Tips Mencegah KDRT Terjadi Pada Masa Pandemi COVID-19
Sangat penting untuk memahami langkah atau cara untuk meminimalisir risiko gawat darurat bagi kelompok rentan, salah satunya adalah dengan menggunakan kerangka berpikir psikososial. Pesan komunikasi yang mudah diakses perlu dikembangkan, antara lain pertimbangan tentang penyandang disabilitas (termasuk disabilitas sensorik, intelektual, kognitif, dan psikososial), seperti:
- Situs web dan daftar fakta yang mudah diakses sehingga penyandang disabilitas visual dapat membaca informasi penting tentang wabah ini
- Berita dan konferensi pers tentang wabah perlu melibatkan juru bahasa isyarat tersertifikasi yang divalidasi oleh penyandang tuna rungu
- Jika pengasuh perlu dikarantina, harus ada rencana untuk memastikan dukungan tetap ada bagi penyandang disabilitas yang membutuhkan
Dukungan psikososial menekankan pada hubungan yang dekat dan dinamis, dengan antara aspek psikologis dari pengalaman seseorang (pemikiran, perasaan, tingkah laku) dan pengalaman sosial yang ada disekelilingnya (hubungan dengan orang lain, tradisi, budaya), yang secara terus menerus saling mempengaruhi satu sama lain.
Apa yang bisa kita lakukan?
Dari gambar diatas kamu bisa melihat dimana posisimu berada, bahkan satu orang bisa jadi berada di setiap level. Sebagai contoh, kamu sebagai seorang individu tapi kamu juga bekerja di pemerintahan, berarti kamu bisa membantu mendorong sebuah kebijakan. Ketika kebijakan bisa disahkan, makan akan dapat mempengaruhi komunitas, organisasi, sampai level individu lagi. Jadi bisa dikatakan bahwa masing-masing level akan saling mempengaruhi.
Hal yang tidak kalah penting adalah kita perlu memahami bahwa kerentanan seseorang dapat terjadi karena berbagai situasi yang kompleks. Kerentanan individu dapat berdampak pada kesejahteraan psikologis mereka dan juga bisa berakibat pada komunitas-komunitas tempat individu tersebut tinggal. Dengan kompleksitas seperti ini, maka tidak menutup kemungkinan kita juga bisa menjadi kelompok rentan di kemudian hari. Empati sangat diperlukan dan sekecil apapun bantuanmu pasti sangat berharga bagi mereka yang membutuhkan.[]
Baca juga: Komitmen Pengasuhan Sehat di Tengah Masa Pandemi
by: Fairuz Nadia
Artikel diambil dari presentasi Nur Hidayati Handayani, Konselor, dalam Webinar Yayasan Pulih, 23 April 2020, dengan tema: Kelompok Rentan di Masa Pandemi: LGBT, ODG, dan Kelompok Minoritas lainnya.
0 Comments
Leave A Comment