Kekerasan tidak hanya dapat dilakukan secara langsung, tetapi juga bisa dilakukan melalui media sosial dengan motif balas dendam, yaitu dengan menyebarluaskan konten porno atau vuldar berupa foto dan video yang dikenal sebagai revenge porn. Balas dendam porno (revenge porn), dikenal lebih formal sebagai pornografi balas dendam (dan Bahasa sehari-hari sebagai ‘sextortion‘), melibatkan distribusi gambar atau video seksual eksplisit, tanpa persetujuan dari individu yang bersangkutan (Parangin-angin 2019).
Dari fenomena tersebut terdapat kasus revenge porn yang terjadi pada tanggal 25 Oktober 2017, telah terjadi sebuah kasus revenge porn terhadap salah satu alumni mahasiswi di Perguruan Tinggi Negeri. Kasus tersebut berupa penyebaran video berkonten porno hingga menjadi topik yang paling banyak dicari di internet dan menggemparkan di Indonesia di penghujung tahun 2017. Peristiwa ini bermula ketika beredarnya video berdurasi 2 menit 50 detik dimedia sosial yang mempertontonkan seorang perempuan dan laki-laki sedang melakukan hubungan intim di sebuah kamar. Beredarnya video meresahkan masyarakat dan melonjaknya nama HA oleh sebuah akun palsu di media sosial, membuat banyak yang mencari tahu sosok HA tersebut. Bahkan akun palsu di media sosial banyak menggunakan identitas HA. HA juga mengakui bahwa tidak mengetahui konten video tersebut. Namun, orang-orang langsung menyerang HA melalui pesan dan komentar di akun media sosial. Sehingga hal tersebut mengakibatkan korban diserang oleh warganet dengan ucapan yang berkonteks seksual yang menyudutkan korban dan melecehkannya.
Baca juga: Pakaian Bukan Tanda Persetujuan untuk Dilecehkan
Korban menyatakan bahwa akibat kejadian tersebut membuat lingkungan tempat korban bersosialisasi memandang rendah harkat dan martabat keluarga korban yang bersangkutan sehingga menyebabkan terpuruknya reputasi dan kehormatan korban beserta keluarga. Hal tersebut juga menyebabkan HA Terpaksa menarik diri dari lingkungan sosialnya dan berdampak terhadap gangguan psikis bagi dirinya, kasus tersebut tercantum dalam jurnal yang ditulis oleh Parangin-angin, Rahayu dan Dwiwarno pada tahun 2019. Revenge porn biasanya dilakukan oleh pasangan korban maupun mantan pasangan korban, yaitu dengan menyebarkan foto maupun video vulgar dari korban dengan motif balas dendam. Dalam data dari Komnas Perempuan pada tahun 2019 lalu, tercatat 125 kasus kekerasan cyber dan yang paling tinggi adalah kasus mengenai revenge porn yaitu sebesar 33%.
Revenge porn sendiri masuk ke dalam salah satu bentuk dari cyber dating violence. (Zweig et al., 2014) dalam jurnalnya mengatakan bahwa cyber dating violence dapat didefinisikan sebagai kontrol, pelecehan, stalking, dan menyalahgunakan pasangan melalui teknologi dan media sosial. Meskipun dapat dikonseptualisasikan sebagai bentuk psychological harassment, itu unik karena menyajikan kesempatan bagi para pelaku untuk secara terbuka menurunkan atau mempermalukan para korban dan mendapatkan akses kepada korban setiap saat bahkan tidak secara fisik. Selanjutnya, kemampuan berbagi informasi pribadi pasangan dan memalukan pasangan.
Baca juga: Kenali Kekerasan dalam Pacaran dan Cara Menghindarinya
Berdasarkan fenomena yang ada, cyber dating violence memiliki dampak sendiri. Dalam jurnalnya (Hancock, Keast, & Ellis, 2017) mengatakan bahwa dalam cyber dating violence, korban mengalami perilaku dari pasangan yang dapat menghilangkan kepercayaan mereka. Misalnya, meretas email atau perasaan dipantau dapat mengakibatkan korban mengalami tekanan emosional. Seiring berjalannya waktu ini dapat menyebabkan kesulitan emosional dan ketakutan. Kesulitan emosional dalam konteks hubungan melibatkan perasaan tidak layak atas cinta dan rasa hormat dari pasangan, hal tersebut berdampak juga terhadap menurunnya self-esteem pada korban. Cyber dating violence cenderung berdampingan dengan pelecehan psikologis, Temple et al., 2016; Zweig, Lachman, Yahner, & Dank dikutip dalam jurnal (Hancock, Keast, & Ellis, 2017).
Oleh karena itu berhati-hatilah ketika memiliki hubungan dengan seseorang dan berhati-hatilah jika ditekan untuk mengirimkan konten-konten vulgar. Dikarenakan hal tersebut besar kemungkinan untuk dijadikan ajang untuk balas dendam, terutama balas dendam porno atau yang disebut sebagai revenge porn dan hal tersebut akan berdampak buruk pada korban.
Baca juga: Mengenal Relationship Red Flag
by: Diana Novitasari & Jane L. Pietra
Referensi:
Komnas Perempuan. (2019). Catatan Tahunan Komnas Perempuan. Diakses melalui https://www.komnasperempuan.go.id/read-news-siaran-pers-catatan-tahunan-catahu-komnas-perempuan-2019%20
Zweig, J. M., Dank, M., Yahner, J., & Lachman, P. (2013). The rate of cyber dating abuse among teens and how it relates to other forms of teen dating violence. Journal of Youth and Adolescence, 42(7), 1063–1077. https://doi.org/10.1007/s10964-013-9922-8
Hancock, K., Keast, H., & Ellis, W. (2017). The impact of cyber dating abuse on self-esteem: The mediating role of emotional distress. Cyberpsychology, 11(2). https://doi.org/10.5817/CP2017-2-2
Perangin-angin, I., I., P., Et., Al. (2019). Kewajiban dan tanggung jawab negara memberikan perlindungan hukum terhadap perempuan korban revenge porn di Indonesia. Diponegoro Law Journal, 8(1), 457-483.
0 Comments
Leave A Comment