Kekerasan terhadap perempuan sudah menjadi masalah yang sama dengan proporsi pandemi. Masalah baru terkait kekerasan terhadap perempuan adalah meningkatnya angka kekerasan yang diterima perempuan di media online. Pada tahun 2015, peneliti dari Unesco menyatakan kalau 73% perempuan telah mengalami beberapa bentuk kekerasan secara online. Tidak sulit bagi perempuan untuk menemukan bukti perbuatan tidak menyenangkan yang mereka terima di platform online, mulai dari komentar tidak pantas sampai pelecehan seksual virtual dengan segala bentuk ‘bantuan’ dari kemajuan teknologi.
Ada beberapa bentuk kekerasan online terhadap perempuan, termasuk:
- Cyber stalking adalah menguntit yang menggunakan internet, email, atau pesan online. Menguntit melibatkan insiden berulang-ulang, bisa tidak berbahaya, tapi juga bisa melibatkan tindakan-tindakan yang membahayakan. Hal ini bisa menyebabkan korban merasa kesulitan dan ketakutan. Perilaku yang termasuk cyber stalking diantanya:
- Mengirim email atau pesan online yang menyinggung atau mengancam
- Mengunggah komentar menyinggung tentang orang lain di internet
- Membagikan foto atau video intim orang lain ke internet.
Baca juga: Kekerasan Emosional
Perlu diingat kalau sebuah perbuatan dikatakan cyber stalking apabila dilakukan secara berulang-ulang dan dilakukan oleh orang yang sama.
- Non-consensual pornografi atau juga dikenal sebagai eksploitasi cyber atau revenge porn. Perilaku ini meliputi distribusi online foto atau video seksual yang dibuat atau disebarkan tanpa persetujuan orang yang berada di dalam foto atau video tersebut. Pelaku biasanya adalah mantan kekasih yang mendapatkan foto atau video ketika mereka masih berada di dalam sebuah hubungan, dan biasanya bertujuan untuk mempermalukan korban di depan umum sebagai balasan karena hubungan telah berakhir. Pelaku juga bisa saja orang lain yang membajak handphone atau computer korban dengan tujuan mempermalukan korban di dunia nyata.
- Cyber harassment, termasuk
- Pesan atau email seksual yang tidak diinginkan
- Perilaku yang menyinggung dan tidak pantas di internet, media sosial, atau chat room
- Ancaman fisik atau kekerasan seksual melalui email atau pesan online
- Kebencian, kata-kata yang merendahkan, menghina, mengancam, atau menargetkan seseorang berdasarkan identitas mereka (gender) dan sifat-sifat lain seperti orientasi seksual, atau kekurangan fisik atau mental seseorang.
Perilaku kekerasan online berkisar dari pelecehan online dan mempermalukan didepan umum ke keinginan untuk memberikan kekerasan fisik, termasuk kekerasan seksual, membunuh, hingga membujuk untuk bunuh diri. Ada beberapa perilaku pelecehan seksual online atau biasanya disebut sebagai cyber sexual harassment, diantaranya: pesan atau komentar yang melecehkan secara mental, ancaman atau hal-hal yang tidak senonoh, ajakan untuk melakukan aksi porno, menampilkan konten porno, memperdaya korban menggunakan kata-kata seksis, dsb. Seluruh perilaku tersebut dilakukan di forum internet, media sosial, dan serta media elektronik lainnya.
Pada tahun 2017, Stop Street Harassment, sebuah organisasi keadilan gender di Amerika Serikat, mencatat sebesar 77% perempuan mengalami pelecehan verbal dan sekitar 41% diantaranya terjadi di dunia maya. Di Indonesia, kasus kekerasan terhadap perempuan yang terjadi di dunia maya meningkat sebesar 300% di akhir tahun 2019. Data dari Komnas Perempuan mencatat kenaikan yang cukup signifikan dari 97 kasus pada tahun 2018 menjadi 281 kasus pada tahun 2019. Komisioner Komnas Perempuan, Mariana Amiruddin, menyebutkan kasus yang banyak terjadi adalah penyebaran foto atau video porno. Banyak dari pelaku yang merupakan orang terdekat korban, seperti pasangan, ataupun orang-orang terdekat yang berada di lingkungan korban.
Baca juga: Atas Nama Cinta Jangan Jadi Buta
Sayangnya masih banyak kasus kekerasan online yang tidak terselesaikan. World Wide Web (WWW) Foundation melakukan survey pada 86 negara dan menemukan kalau 74% Lembaga penegak hukum dan pengadilan gagal mengambil tindakan yang sesuai untuk kasus kekerasan online yang terjadi pada perempuan. Pada tahun 2017 sendiri terdapat 6.061 kasus cyber di Indonesia yang dilaporkan ke polisi dan banyak yang tidak terselesaikan. Beberapa contoh diantaranya kasus Baiq Nuril, seorang korban pelecehan seksual online yang di hukum oleh Mahkamah Agung; Riski Amelia (BPJS), seorang korban yang malah dilaporkan balik atas tuduhan pencemaran nama baik perusahaan dan supervisi senior pegawai BPJS; dan Agni, seorang korban yang dihakimi karena kasusnya dianggap ‘berakhir damai’. Kasus-kasus tersebut menunjukkan kalau Indonesia masih kurang sensitif terhadap kasus-kasus terkait pelecehan seksual. Mereka juga diabaikan oleh konstitusi hukum yang mengklaim adil dan tidak memihak.
Agar kekerasan online terhadap perempuan dapat berkurang, pemain industri digital menjadi penjaga yang paling penting, termasuk ISP (Internet Service Provider), perusahaan smartphone, situs media sosial, online dating, situs game online, operator website, dan pengembang software. Perusahaan teknologi perlu menyadari dan mengakui kalau kekerasan online terhadap perempuan sebagai perilaku yang melanggar hukum, dan perlu menunjukkan peningkatan kerja sama dalam memberikan bantuan kepada korban dan penyintas sesuai dengan kapasitas yang dimiliki perusahaan, khususnya:
- Sistem yang lebih baik untuk bekerja sama dengan penegak hukum
- Prosedur pencopotan atau penghapusan konten kekerasan yang lebih efektif
- Penghentian akun jika melanggar atau melakukan kekerasan online
- Transparansi laporan khusunya terkait kekerasan online pada perempuan dengan detail bagaimana dan kapan mereka merespon kasus tersebut
Penerapan terbaik harus berdasarkan pada 3S: Sensitization, Safeguards, dan Sanctions. Masing-masing pilar mendukung pilapilar lainnya, dan dibutuhkan tindakan kolaboratif yang konsisten di berbagai tingkatan.
- Sensitization. Pencegahan kekerasan online terhadap perempuan melalui perubahan perilaku sosial. Pencegahan dilakukan oleh masyarakat melalui pelatihan, pembelajaran, kampanye, dan pengembangan komunitas.
- Safeguards. Pengawasan dan pemantauan untuk mengurangi risiko terhadap perempuan. Industri digital harus menegakkan penggunaan internet yang bertanggung jawab; pengembangan solusi teknis; dan memajukan ketelitian yang bertugas untuk melaporkan penyalahgunaan.
- Sanctions. Kembangkan mekanisme hukum, aturan dan tata kelola penggunaan internet; pengadilan dan sistem hukum menegakkan kepatuhan dan hukuman yang efektif sebagai konsekuensi bagi pelaku; dan konsultasi hak-hak warga sipil di dunia maya.[]
Baca juga: Pakaian Bukan Tanda Persetujuan untuk Dilecehkan
by: Fairuz Nadia
European Institute for Gender Equality. (2017). Cyber Violence Against Women and Girls. EU: European Institute for Gender Equality.
https://youthigf.id/gender-equality-in-the-cyber-world
https://en.unesco.org/sites/default/files/highlightdocumentenglish.pdf
0 Comments
Leave A Comment