Wabah Covid-19 yang saat ini sedang melanda membuat pemerintah di seluruh dunia membuat kebijakan bagi warganya agar tetap berada di rumah. Lockdown dan physical distancing merupakan cara paling efektif untuk “meratakan kurva” atau memperlambat laju infeksi penyebaran virus, tapi strategi ini memiliki efek samping. Keterpurukkan ekonomi yang disebabkan karena orang-orang yang harus berada di rumah membuat pemerintah di seluruh dunia khawatir. Selain itu, dampak yang kurang terlihat dan terperhatikan adalah dampak yang timbul pada satu demografis, yaitu perempuan serta kelompok rentan lainnya. Bagi penyintas kekerasan berbasis gender (termasuk kekerasan dalam rumah tangga), rumah bukan merupakan tempat yang aman bagi mereka.
Meningkatnya angka orang-orang yang sakit, tumbuhnya angka pengangguran, meningkatnya kecemasan dan stres finansial, dan kelangkaan sumber daya telah memperburuk krisis kekerasan dalam rumah tangga. Banyak korban kekerasan harus terus berada di rumah tanpa akses sumber daya atau jaringan untuk menghubungi teman dan keluarga. Pelaku kekerasan juga dapat mengalami tekanan keuangan dan stres yang meningkat sehingga dapat meningkatkan konsumsi alkohol dan obat-obatan. Ahli-ahli mengelompokkan hal ini sebuah “invisible pandemic” dari kekerasan dalam rumah tangga selama krisis Covid-19 sebagai “bom waktu” atau “perfect storm”. Sangat penting untuk mengingat kalau kekerasan rumah tangga adalah pandemi global jauh sebelum munculnya Covid-19. Secara global, hampir 250 juta perempuan antara usia 15-49 tahun menjadi subjek kekerasan fisik atau kekerasan seksual yang dilakukan oleh pasangan mereka, setidaknya dalam satu tahun terakhir.
Baca juga: Perubahan Peran Gender Selama Masa Pandemi
Selama masa pandemi, Lembaga Bantuan Hukum (LBH) APIK mencatat terhitung sejak tanggal 16 Maret 2020 sampai 19 April 2020 mereka telah menerima 97 pengaduan, baik melalui hotline maupun email, kasus kekerasan terhadap perempuan. Jumlah ini cukup besar mengingat hanya terjadi dalam rentan waktu satu bulan dan meningkat drastis dibandingkan pengaduan langsung. Sementara itu, Yayasan Pulih, yang membuka layanan konseling gratis bagi penyintas kekerasan berbasis gender, juga melaporkan bahwa terdapat peningkatan jumlah kasus baru (60 kasus) selama masa pandemi. Shelly M. Wagers dalam tulisannya di The Conversation juga menyebutkan bahwa kekerasan rumah tangga yang terjadi selama pandemi terjadi karena adanya ketidaksemimbangan relasi kuasa serta peningkatan stres akibat hilangnya pekerjaan, ketidakstabilan ekonomi, dan terlalu lama waktu yang dihabiskan di rumah. Begitupula dalam konteks Indonesia, dimana kita juga perlu menelaah lebih jauh dampak lain dari adanya pandemi ini, termasuk didalamnya adalah kekerasan dalam rumah tangga.
Untuk mengurangi dampak tersembunyi ini, pemerintah perlu membuat kebijakan-kebijakan yang adil gender serta mulai melihat masalah yang sering kali terselubung ini. Untuk mencapai hal tersebut, perempuan-perempuan Indonesia sangat membutuhkan dukungan pemerintah untuk melindungi hak-hak mereka. Pertama-tama, pemerintah perlu mengoptimalkan tempat yang aman dan meningkatkan layanan untuk melaporkan tindak kekerasan rumah tangga. Masyarakat luas juga perlu bahu membahu untuk memberikan informasi mengenai layanan ini kepada mereka yang membutuhkan agar dapat diakses jika memang diperlukan. Di bawah pembatasan sosial berskala besar, banyak istri-istri dan anak-anak terjebak di dalam rumah yang sama dengan pelaku kekerasan. Perempuan akan merasa kesulitan untuk melapor karena suami mereka selalu berada di deket diri mereka, sementara tempat pengaduan hanya melayani secara online, tidak tatap muka.
Baca juga: Kelompok Rentan di Tengah Pandemi: ODKM, Disabilitas, dan Minoritas Seksual
Survey yang dilakukan oleh International NGO Forum on Indonesian Development (Infid) menemukan selama periode pembatasan sosial terdapat total 86 kasus kekerasan dalam rumah tangga di 15 provinsi yang melibatkan perempuan dan anak-anak sebagai korban. Kasus-kasus yang terjadi termasuk kekerasan mental, kekerasan verbal, kekerasan fisik, dan kekerasan seksual. Sebagian besar kasus kekerasan seksual disebabkan oleh ketidakseimbangan relasi kekuatan, atau dengan kata lain, dilakukan oleh orang dengan kekuatan yang lebih melawan mereka yang kurang atau tidak memiliki kekuatan sama sekali.
Di dalam survey ini juga ditemukan kalau kekerasan yang dilakukan tidak hanya dilakukan oleh laki-laki ke perempuan dan anak-anak. Perempuan juga bisa melakukan kekerasan kepada anak yang disebabkan oleh tingginya tingkat stres yang mereka alami selama pandemi ini. Aturan belajar dari rumah bisa memicu meningkatnya kekerasan pada anak-anak karena aturan tersebut menambahkan beban domestik dan stres pada ibu, terutama pada ibu yang juga bekerja. Disamping harus bekerja dari rumah, ibu seringkali juga harus mengambil peran sebagai guru. Ketua Dewan Management Infid, Dian Kartikasari, merekomendasikan pembagian tugas-tugas rumah secara merata antara masing-masing anggota keluarga tanpa melihat gender. Setiap anggota keluarga harus memberikan kontribusi untuk menciptakan lingkungan yang aman dan nyaman di rumah.
Pemerintah juga perlu memprioritaskan pengesahan rancangan undang-undang kekerasan seksual untuk memberikan dasar hukum untuk melindungi hak-hak perempuan dan melawan diskrimasi yang dibuat oleh peraturan daerah terhadap perempuan. Melindungi hak-hak perempuan tidak hanya bermanfaat untuk perempuan, tapi juga untuk komunitas yang lebih luas. Pemerintah daerah dapat meningkatkan pendapat perkapita daerah. Dibandingkan terobsesi dengan mengatur hidup perempuan, akan lebih baik jika pemerintah dapat lebih memperhatikan hukuman untuk pelaku kekerasan seksual, mempromosikan kewirausahaan yang didirikan oleh perempuan, dan kebijakan yang meningkatkan partisipasi pekerja perempuan. Hal ini sangat relevan mengingat penurunan ekonomi yang diperkirakan terjadi setelah pandemi Covid-19.
Baca juga: Mencegah KDRT di Masa Pandemi
by: Fairuz Nadia
Referensi
https://www.atlanticcouncil.org/blogs/africasource/the-shadow-pandemic-of-gender-based-violence/
https://thediplomat.com/2020/05/indonesian-women-were-already-at-risk-then-covid-19-came/
https://jakartaglobe.id/news/how-social-restrictions-can-trigger-domestic-violence
https://www.cfr.org/in-brief/double-pandemic-domestic-violence-age-covid-19
https://theconversation.com/domestic-violence-growing-in-wake-of-coronavirus-outbreak-135598
0 Comments
Leave A Comment