Tahukah kalian apa itu RUU PKS? Jika belum tahu, tulisan ini akan membahas mengenai apa itu RUU PKS dan seberapa penting RUU tersebut untuk disahkan. RUU PKS adalah singkatan dari Rancangan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual. Dalam rancangan undang-undang tersebut, korban akan menerima penanganan, perlindungan serta pemulihan untuk membantu korban agar menjadi lebih baik. Tetapi banyak juga yang kontra mengenai rancangan undang-undang tersebut dengan alasan bahwa rancangan undang-undang tersebut sangat liberal dan menentang agama. Tetapi apakah kalian sudah tahu bahwa rancangan undang-undang tersebut sangat penting untuk disahkan? Terdapat banyak alasan yang sangat mendukung pengesahan rancangan undang-undang tersebut.
Berdasarkan data dari CATAHU dalam Komnas Perempuan tahun 2020 tercatat 431.471 kasus kekerasan terhadap perempuan yang terdiri dari 421.752. Kasus kekerasan tersebut berasal dari data yang ditangani oleh Pengadilan Agama. Lalu terdapat 14.719 kasus yang ditangani oleh lembaga mitra pengadalayanan yang tersebar dalam sepertiga provinsi di Indonesia dan terdapat juga 1419 kasus yang berasal dari Unit Pelayanan dan Rujukan (UPR), unit yang sengaja dibentuk oleh Komnas Perempuan untuk menerima pengaduan dari korban yang datang langsung maupun melalui sambungan telepon. Dari 1419 pengaduan tersebut, terdapat 1.277 kasus yang merupakan kasus berbasis gender dan tidak berbasis gender sejumlah 142 kasus. Data kekerasan yang dilaporkan juga mengalami peningkatan yang signifikan sepanjang lima tahun terakhir (Komnas Perempuan, 2020). Dalam kurun waktu selama 12 tahun, kekerasan terhadap perempuan mengalami peningkatan sebanyak 792%, yaitu hampir 800% yang artinya kekerasan terhadap perempuan di Indonesia dalam kurun waktu selama 12 tahun ini meningkat hampir 8 kali lipat.
Baca juga: Kekerasan dalam Pacaran dan Cara Menghindarinya
Kekerasan Seksual tercatat sebagai angka kekerasan tertinggi di ranah komunitas dan paling banyak dilaporkan kepada lembaga seperti DP3AKB dan P2TP2A dan disusul juga oleh WCC/ OMS, PN, UPPA dan RS. Hal ini menunjukkan bahwa ketika peristiwa kekerasan terjadi lembaga pengada layanan berbasis pemerintah maupun masyarakat adalah yang pertama di akses oleh korban. Berbeda dengan data tahun 2019 yang dimana pelaku kekerasan tertinggi dilakukan oleh teman. Sementara pada tahun ini pelaku tertinggi adalah dilakukan oleh orang yang tidak dikenal. Walaupun pelaku banyak orang tidak dikenal yang mencapai 756 kasus, tetapi data menjukkan bahwa hal seperti ini dilakukan juga oleh guru, guru mengaji, teman dan tetangga dan lebih banyak dibandingkan orang yang tidak dikenal (Komnas Perempuan, 2020). Dari data-data yang bersumber dari CATAHU tersebut sangat mendukung alasan untuk mengesahkan RUU PKS, karena angka kekerasan semakin tinggi setiap tahunnya.
Selain hal-hal tersebut, victim blaming juga menjadi salah satu alasan yang kuat untuk pengesahan RUU PKS. Hal tersebut dikarenakan bahwa jika terdapat korban yang melaporkan kasus yang mereka alami, justru mereka disalahkan oleh aparat dengan alasan mau sama mau, suka sama suka atau bahkan menyalahkan pakaian korban. Banyaknya kasus victim blaming juga membuat banyak korban justru takut untuk melaporkan kasusnya, dikarenakan mereka khawatir jika akan disalahkan seperti korban-korban sebelumnya yang sudah melapor. Selain dari apparat, korban juga mendapatkan victim blaming dari orang terdekat seperti keluarga dan teman korban. Hal tersebut sangat tidak baik untuk kesehatan mental korban juga dan ini sangat mengkhawatirkan.
Baca juga: Fenomena Ravange Porn yang Berdampak Buruk Pada Korban
Lebih lanjut, dalam hubungan berpacaran juga terdapat kekerasan dalam berpacaran dan bentuk lainnya diantaranya pemaksaan hubungan seksual, pemaksaan melakukan Video Call Seks (VCS) dan mengirim foto-foto seksi, serta pemaksaan variasi hubungan seksual dengan sadism dan machosism atau menyakiti tubuh korban. Dalam kasus kekerasan berbasis cyber, pola di dalam kasus KDP dan kekerasan oleh mantan pacar (KMP) hampir sama yakni korban diancam oleh pelaku dengan menyebarkan foto atau video korban yang bernuansa seksual di media sosial ketika
korban menolak berhubungan seksual dengan pelaku atau korban tidak kembali berhubungan dengan pelaku atau memutuskan hubungan pacaran.
Ada empat macam kekerasan dalam hubungan berpacaran menurut Rangkuti dan Hningtyas dalam jurnalnya pada tahun 2016. Hal itu dapat dilihat dilihat dari jenis kekerasan yang terjadi, yaitu: a) kekerasan seksual seperti memaksa kegiatan seksual seperti memeluk, mencium, meraba hingga memaksakan melakukan hubungan seksual, b) kekerasan emosional meliputi kekerasan kemarahan atau emosional, c) kekerasan fisik, d) kekerasan ekonomi, dimana pelaku mengambil alih atau mengontrol secara berlebihan pendapatan finansial korban.
Kasus dari data yang menyebutkan terjadinya video call sex tersebut juga dapat disebut juga dengan cyber dating violence. (Zweig et al., 2014) juga mengatakan bahwa cyber dating violence dapat didefinisikan sebagai kontrol, pelecehan, stalking, dan menyalahgunakan pasangan melalui teknologi dan media sosial. Meskipun dapat dikonseptualisasikan sebagai bentuk psychological harrassment, itu unik karena menyajikan kesempatan bagi para pelaku untuk secara terbuka menurunkan atau mempermalukan para korban dan mendapatkan akses kepada korban setiap saat bahkan tidak secara fisik. Selanjutnya, kemampuan berbagi informasi pribadi pasangan dan memalukan pasangan.
Baca juga: Catcalling. Salah Gak sih?
Untuk bentuk kasus seperti itu bahkan belum ada payung hukum untuk melindungi korban. Berdasarkan fenomena yang ada, cyber dating violence memiliki dampak sendiri. (Hancock et al., 2017) mengatakan bahwa dalam cyber dating violence, korban mengalami perilaku dari pasangan yang dapat menghilangkan kepercayaan mereka. Misalnya, meretas email atau perasaan dipantau dapat mengakibatkan korban mengalami tekanan emosional. Seiring berjalannya waktu ini dapat menyebabkan kesulitan emosional dan ketakutan. Kesulitan emosional dalam konteks hubungan melibatkan perasaan tidak layak atas cinta dan rasa hormat dari pasangan, hal tersebut berdampak juga terhadap menurunnya self-esteem pada korban.
Korban kekerasan biasanya mengalami penurunan self-esteem. Terlebih lagi jika self-esteem korban sudah turun dan ditambah dengan adanya victim blaming yang korban terima, hal tersebut pastinya akan menimbulkan dampak-dampak lainnya yang akan korban terima dan yang pastinya sangat merugikan korban.
Oleh karena itu RUU PKS ini perlu segera disahkan, karena mau menunggu berapa banyak korban lagi, karena yang dibutuhkan oleh korban adalah perlindungan hukum, bukan hanya wacana-wacana yang sering dikatakan oleh beberapa pihak yang justru tidak disahkan sampai saat ini dan membuat banyak korban selalu dipatahkan harapannya untuk mendapatnya perlindungan dan keadilan. Selain itu banyak fenomena yang ada semakin banyak angka kekerasan, dan banyak juga bentuk kekerasan yang sulit diproses karena ketiadaan payung hukum. Selain itu ditekankan juga agar masyarakat dan beberapa pihak tidak salah paham adalah bahwa RUU PKS tidak untuk melegalkan seks pra nikah dan LGBT. Lagi-lagi pertanyaannya adalah mau menunggu berapa banyak korban lagi dan berapa periode lagi untuk rancangan undang-undang ini disahkan?[]
Baca juga: Mengenal Relationship Red Flag
by: Diana Novitasari & Jane L. Pietra
DAFTAR REFERENSI
Komnas Perempuan. (2020). Catatan tahunan kekerasan terhadap perempuan 2020 (Artikel). Diakses dari https://www.komnasperempuan.go.id/reads-catatan-tahunan-kekerasan-terhadap-perempuan-2020
Hancock, K., Keast, H., & Ellis, W. (2017). The impact of cyber dating abuse on self-esteem: The mediating role of emotional distress. Cyberpsychology, 11(2). https://doi.org/10.5817/CP2017-2-2
Zweig, J. M., Dank, M., Yahner, J., & Lachman, P. (2013). The rate of cyber dating abuse among teens and how it relates to other forms of teen dating violence. Journal of Youth and Adolescence, 42(7), 1063–1077. https://doi.org/10.1007/s10964-013-9922-8
Rangkuti, A., A., Herningtyas, A., H. (2016). Keterlibatan ayah dan kecenderungan menjadi korban kekerasan dalam konflik berpacaran remaja perempuan. Jurnal Penelitian dan Pengukuran Psikologi, 5(1), 1-7.
0 Comments
Leave A Comment