Baru-baru ini (7/20), di Lampung Timur, seorang anak perempuan (14) korban kekerasan seksual yang tengah mencari perlindungan dan pemulihan psikologi, di salah satu lembaga milik pemerintah, justru menjadi korban kekerasan seksual, dimana pelakunya oknum yang mengepalai lembaga tersebut. Perbuatan pelaku sebagai pimpinan lembaga yang semestinya bertugas melayani, memberdayakan perempuan dan anak, serta memberikan perlindungan dan pendampingan pada korban, justru sebaliknya memanfaatkan situasi ketidakberdayaan korban. Lebih dari itu, pelaku bukan saja melakukan kekerasan seksual, tetapi juga melakukan eksploitasi dan perdagangan seksual.

Kasus di atas bukanlah satu-satunya kasus kekerasan seksual yang terjadi di Indonesia, kasus kekerasan seksual juga terjadi di salah satu organisasi kampus swasta di Yogyakarta. Seorang perempuan yang berinisial S, mengalami kekerasan seksual dari temannya yang sudah lama dikenal oleh korban, yakni  RIA. Pelaku menyentuh bagian tubuh korban pada malam hari dengan memeluk dan mencium korban sehingga korban sangat ketakutan.

Baca juga: Humor Seksis? Please Jangan Dilakuin!

Begitu juga apa yang terjadi di salah satu kedai kopi di Jakarta, oknum karyawan memanfaatkan CCTV yang dipasang di tempat kerjanya untuk men-zoom pelanggan perempuan dan menshare video tersebut ke media sosial.

Beberapa ontoh di atas merupakan secuil kasus dari gunung es kekerasan seksual yang ada di Indonesia. Dengan melihat kejadian-kejadian tersebut, kekerasan seksual dapat terjadi kapan saja, dan dimana saja,  mulai di kediaman sendiri, jalan, transportasi publik, tempat kerja, institusi pendidikan, bahkan di tempat yang seharusnya menjadi area aman bagi korban sebagaimana yang terjadi di Lampung Timur. Begitu juga dengan profil pelaku, dia bisa saja orang terdekat korban, orang tidak dikenal, bahkan orang yang semestinya memiliki tugas melindungi korban.

Kekerasan seksual bisa terjadi oleh siapa saja baik laki-laki maupun perempuan, namun sebagian besar korban kekerasan seksual adalah perempuan dan pelakunya laki-laki. Meskipun mayoritas terjadi pada perempuan, tapi kekerasan seksual juga bisa terjadi pada laki-laki, namun jumlah dan proporsi laki-laki mengalami kekerasan seksual itu tergolong kecil, terutama bila mengacu pada data yang dilaporkan ke pihak berwenang.

Berdasarkan data yang didapat dalam Komnas Perempuan tahun 2020 terdapat 431.471 kasus kekerasan terhadap perempuan yang ditangani oleh pengadilan agama, 14.719 kasus kekerasan seksual pada perempuan ditangani oleh lembaga mitra penyedia layanan, dan 1.419 kasus kekerasan seksual ditangani Unit Pelayanan dan Rujukan (UPR). Dalam 12 tahun terakhir, kekerasan terhadap perempuan mengalami peningkatan sebanyak 792%, yang artinya terdapat peningkat hampir 8 kali lipat.

Baca juga: Bagaimana Pelecehan Seksual Terjadi di Dunia Kerja di Masa WFH?

Lalu, kenapa kekerasan seksual lebih sering terjadi pada perempuan?

Tentu saja tak lepas dari konstruksi sosial yang tidak adil bagi perempuan, yakni dominasi budaya patriarki, atau budaya yang mengedepankan kepentingan laki-laki dan menomorduakan perempuan. Dampak dari dominasi budaya patriarki terhadap perempuan, menurut Kurnianingsih, perempuan pada akhirnya mengalami subordinasi, marginalisasi, dominasi, hingga kekerasan yang muncul karena adanya ketimpangan relasi kuasa antara perempuan dan laki-laki.

Kekerasan seksual adalah salah satu jenis kekerasan yang menimpa perempuan, baik anak maupun dewasa. Hal tersebut terjadi karena faktor ketidakadilan gender, penyalahgunaan relasi kuasa, dan budaya patriarki. Ketiga faktor itu lah yang membentuk kekerasan berbasis gender (KBG), dimana bentuk-bentuknya berupa kekerasan seksual, trafficking, KDRT, pelecehan, dan kekerasan dalam pacaran. Dari ketiga faktor tersebut, salah satunya yaitu budaya patriarki menempatkan perempuan sebagai subordinat dari laki-laki, sehingga laki-laki merasa “berhak” melakukan apa saja kepada perempuan. Selain itu, perempuan dibatasi ruang geraknya, perempuan diposisikan sebagai “the second sex” (warga kelas dua) yang keberadaannya kurang diperhatikan, dan dianggap lemah. Oleh karena itu budaya patriarki menganggap kekerasan seksual sebagai hal yang wajar dilakukan.

Baca juga: Kekerasan Gender Berbasis Online Pada Perempuan

Selain itu, faktor lain yang membuat kasus kekerasan seksual terus saja terjadi, karena pelaku tidak memiliki rasa hormat pada korbannya dan menjadikan korban sebagai objek seksual. Dengan demikian pakaian apapun yang dikenakan korban, pelaku tetap terdorong melakukan melakukan kekerasan seksual. Bahkan terkadang perempuan yang menjadi korban kekerasan seksual malah yang disalahkan, sehingga korban yang mengalami kekerasan seksual sulit untuk mengungkapkannya dan hanya bungkam.

Hal lain yang membuat perempuan yang menjadi korban kekerasan seksual bungkam yaitu, konsep moralitas masyarakat yang menganggap perempuan lambang kesucian dan kehormatan. Itulah mengapa ketika ada perempuan yang mengalami kekerasan seksual dianggap aib bagi keluarga. Apalagi bila korban memilih untuk melaporkan kasus kekerasan seksual, selain ia akan melewati proses panjang dan membangun trauma karena harus menceritakan lagi kejadian traumatis tersebut pada petugas, konsekuensinya adalah korban dan keluarganya berpotensi menjadi target publikasi media.

 

Berbagai Jenis Kekerasan Seksual Menurut Komnas Perempuan

Terdapat jenis kekerasan seksual yang didefinisikan Komnas Perempuan dari hasil pemantauannya selama 15 tahun (1998– 2013), yaitu:

  • Perkosaan

Pemerkosaan merupakan perilaku yang memaksa seorang individu untuk melakukan hubungan intim.

  • Intimidasi seksual (Ancaman melakukan pemerkosaan)

Ancaman yang mengarah kepada seksualitas yang menyebabkan korban merasa cemas dan ketakutan.

  • Pelecehan Seksual

Pelecehan seksual bisa terjadi dalam bentuk perilaku non fisik hingga fisik. Seperti siulan, main mata, ucapan bernuansa seksual, menunjukkan foto pornografi, keinginan seksual, dan colekan atau sentuhan di bagian tubuh.

  • Eksploitasi Seksual

Eksploitasi seksual yaitu tindakan yang menyalahgunakan kekuasaan untuk kepuasan seksual. Eksploitasi seksual kerap kali ditemukan di prostitusi.

  • Perdagangan perempuan untuk tujuan seksual

Tindakan yang mengirim atau mengangkut seseorang (korban) dengan ancaman kekerasan, penculikan, serta penipuan. Lalu, seseorang yang menjadi korban akan mendapatkan bayaran yang diterima oleh dirinya sendiri atau orang lain yang memanfaatkannya.

  • Perbudakan Seksual

Pelaku merasa menjadi “pemilik” atas tubuh korban sehingga berhak untuk melakukan apapun termasuk memperoleh kepuasan seksual melalui pemerkosaan atau bentuk lain kekerasan seksual.

  • Pemaksaan perkawinan

Pemaksaan perkawinan dimasukkan sebagai jenis kekerasan seksual karena pemaksaan hubungan seksual menjadi bagian tidak terpisahkan dari perkawinan yang tidak diinginkan oleh perempuan tersebut.

  • Pemaksaan kehamilan

Pemaksaan untuk mempertahankan kehamilan yang tidak diinginkan perempuan.

  • Pemaksaan Aborsi

Perempuan dipaksa untuk melakukan aborsi karena adanya ancaman.

  • Penyiksaan Seksual

Tindakan khusus menyerang organ dan seksualitas perempuan, yang dilakukan dengan sengaja, sehingga menimbulkan rasa sakit atau penderitaan hebat, baik jasmani, rohani maupun seksual.

  • Praktik tradisi bernuansa seksual yang membahayakan atau mendiskriminasi perempuan

Kebiasaan ini dapat pula dilakukan untuk mengontrol seksualitas perempuan dalam perspektif yang merendahkan perempuan. Sunat perempuan adalah salah satu contohnya.

Baca juga: Tahukah Kamu Seberapa Penting RUU P-KS untuk Disahkan?

Apa yang sudah dilakukan pemerintah untuk meminimalisir kekerasan terhadap perempuan?  Saat ini ada sejumlah Undang-undang (UU) yang digunakan untuk menjerat pelaku, seperti :

  1. Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) Pasal 285, 286 287, 290, 291
  2. UU No.23 tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (PKDRT) Pasal 8(b), 47, 48
  3. UU No 21 tahun 2007 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang pasal 1 (3,7)
  4. UU No.23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak pasal 1(15), 17(2), 59 dan 66 (1,2), 69, 78 dan 88

Dari sejumlah regulasi di atas, belum ada undang-undang yang menangani dampak dari kekerasaan seksual secara spesifik. Sebagaimana diketahui, saat ini telah ada RUU PKS yang dapat dijadikan payung hukum melindungi korban. Tetapi, sayangnya pada akhir Juni 2020 DPR RI mengeluarkan RUU PKS tersebut dari Prolegnas 2020 karena alasannya sulit untuk dibahas. Miris bukan? padahal penting sekali RUU PKS disahkan karena kasus peningkatan jumlah korban kekerasan seksual yang selalu meningkat, kekerasan seksual bisa terjadi oleh siapa saja dan dimana saja, dan bahkan tempat pemulihan bagi para korban dapat dijadikan pelaku kekerasan seksual beraksi. Oleh karena itu, kasus kekerasan seksual saat ini seharusnya menjadi kasus yang darurat untuk diatasi secara baik.

Baca juga: Kekerasan Seksual Pada Anak

by: Erisca Melia Safitri

Daftar Referensi

https://www.komnasperempuan.go.id/file/pdf_file/Modul%20dan%20Pedoman/Kekerasan%20Seksual/15%20BTK%20KEKERASAN%20SEKSUAL.pdf

https://www.halodoc.com/bentuk-pelecehan-seksual-yang-perlu-diketahui

https://www.bengkulutoday.com/darurat-kekerasan-seksual-terhadap-perempuan-indonesia

http://yayasanpulih.org/2020/06/tahukah-kamu-seberapa-penting-ruu-pks-untuk-disahkan/

https://nasional.kompas.com/read/2020/06/30/15161681/komisi-viii-usulkan-ruu-pks-dikeluarkan-dari-prolegnas-prioritas-2020?page=all.

http://yayasanpulih.org/2020/02/pakaian-bukan-tanda-persetujuan-untuk-dilecehkan/
https://regional.kompas.com/read/2020/07/05/15300011/pemulihan-di-rumah-aman-milik-pemerintah-bocah-14-tahun-korban-perkosaan.i

https://www.bbc.com/indonesia/indonesia-53043739

http://yayasanpulih.org/2020/06/catcalling-salah-gak-sih/

https://radarjogja.jawapos.com/2019/10/09/perempuan-dalam-cengkraman-budaya-patriarki/