Norma sosial tradisional dalam masyarakat kita melekatkan maskulinitas sebagai karakter atau sifat yang dimiliki oleh laki-laki yang digunakan untuk menggambarkan diri ideal laki-laki. Maskulinitas menggambarkan tentang bagaimana laki-laki sepertinya sebagai sosok yang kuat, tangguh, gagah, macho, berani, dan berpikir, berperilaku, merasakan, dan label khas lainya yang menggambarkan ciri maskulin, atau yang biasa disebut “cowok banget”.
Lalu bagaimana dengan laki-laki yang berekspresi feminin, atau melakukan aktivitas yang tidak dilakukan oleh kebanyakan laki-laki? Misal, turut terlibat dalam pekerjaan rumah tangga, tidak tertarik dengan pembahasan yang biasanya menjadi dunianya laki-laki pada umumnya, seperti bola, otomotif, senjata, politik, dan perang. Label yang sering didapat ialah “banci”.
Laki-laki dengan ekspresi maskulinitas yang gagah dianggap lebih baik dibandingkan laki-laki yang ekspresinya biasa-biasa saja. Itulah mengapa sebagian laki-laki berlomba-lomba untuk terlihat macho, baik secara fisik maupun emosi. Dari sanalah kemudian norma sosial yang tradisional membangun logikanya bahwa cowok macho pantang untuk mengeluh dan menangis ketika tengah didera kesulitan.
Baca juga: Toxic Masculinity
Lalu, apa yang menjadi masalah dengan maskulinitas? Apakah maskulinitas berarti negatif? Tidak. Ada maskulinitas positif, dan ada maskulinitas negatif. Contoh maskulinitas negatif adalah menganggap konsep maskulinitas berarti keras, kasar, kuat, pantang mengeluh apalagi menangis, dominan, dan hal-hal superior lainnya. Kriteria tersebut kemudian diiringi dengan praktik pembuktian-pembuktian diri agar mendapatkan pengakuan betapa dirinya seorang laki-laki sejati. Sayangnya praktik pembuktiannya justru merugikan pihak lain, misal menjadi pembully, pelaku kekerasan, hingga menyakiti perempuan dan perilaku yang merugikan orang lain dianggap sebagai sebuah capaian konsep maskulinitas.
Praktik maskulinitas negatif tidak saja berdampak pada pihak yang menjadi korban, tetapi laki-laki yang mempraktikkan konsep maskulinitas negatif pada dasarnya juga akan terimbas. Misal, ketika laki-laki ingin membuktikan betapa ia sosok yang tangguh, setiap ia didera masalah memilih untuk memendam sendiri masalahnya. Akibatnya ia hidup dengan toxic. Itulah mengapa kita sering menemukan ketika laki-laki tengah menghadapi masalah ekspresi emosi yang keluar kerap kali adalah kemarahan. Selain itu jika seseorang memendam masalah terus menerus, maka seiring waktu pada akhirnya masalah tersebut menjadi bom waktu, dan meledak. Itulah mengapa angka bunuh diri laki-laki lebih tinggi dibanding perempuan. Mengapa? Karena konsep maskulinitas negatif tidak membolehkan laki-laki bercerita, apalagi menangis bila ada masalah. Dengan demikian maka tidak ada kanal bagi laki-laki untuk menyalurkan tekanan emosinya, sementara di sisi lain jenis emosi yang ia kenal selama ini hanyalah marah.
Jadi, bagaimana langkah selanjutnya agar kita tidak terjebak dalam konsep maskulinitas negatif? Hal yang perlu dilakukan saat ini adalah dekonstruksi/mencari arti dan makna dari maskulinitas, termasuk mulailah mengenali apa itu maskulinitas positif.
Baca juga: Duel Ala Gladiator Anak Lahir dari Citra Ideal Maskulinitas
Maskulinitas Positif
Menurut Kiselica, Benton-Wright, dan Englar-Carlson, maskulinitas positif merupakan sikap prososial, kepercayaan, dan perilaku laki-laki yang menghasilkan konsekuensi yang positif bagi diri sendiri dan orang lain. Sedangkan menurut Harris dan Harper, maskulinitas positif adalah proses aktif yang dilakukan laki-laki berlawanan dengan norma sosial tradisional untuk laki-laki. Dengan kata lain maskulinitas positif merupakan tindakan laki-laki mendobrak norma gender maskulin pada umumnya, dan maskulinitas positif tidak mengkonstruksi laki-laki sebagaimana norma sosial tradisional, tetapi sebaliknya memberikan laki-laki pilihan berperilaku sesuai dengan kenyamanannya, dan yang dia inginkan.
Menurut Philip Daniel Badaszewski, faktor-faktor yang membentuk maskulinitas positif adalah:
- Maskulinitas normatif
Maskulinitas normatif merupakan acuan (model) laki-laki dalam berperilaku.
- Diri
Seorang laki-laki mengetahui siapa mereka sebagai individu, identitas diri, nilai-nilai yang mereka anut, dan kepercayaannya.
- Keluarga
Keluarga merupakan tempat dimana laki-laki dididik bagaimana menjadi manusia baik, dan berperilaku positif.
- Kehidupan sebagai laki-laki
Pembentukan nilai menjadi laki-laki yang baik dapat membangun perkembangan maskulinitas positif mereka.
- Teman
Persepsi teman dapat membentuk bagaimana cara individu berperilaku, karena sering kali laki-laki berbaur, berbagi pengalaman, dan cerita kepada temannya.
Philip Daniel Badaszewski juga mengungkapkan laki-laki yang dianggap memiliki maskulinitas positif, ialah:
- Jujur
- Mengungkapkan kebutuhan mereka, seperti kebutuhan emosional
- Percaya diri, aman, dapat dipercaya, dan tidak ada takut dikucilkan
- Mengenal diri mereka sendiri
- Berhubungan baik dengan siapa saja
- Menggunakan kekuatan mereka dengan cara positif, seperti untuk melindungi orang lain
- Menghormati perempuan
- Bertanggung jawab
- Mencapai tujuan mereka
- Menjadi suami, pasangan, dan ayah yang baik terhadap perempuan
Dari ke sebelas hal di atas terdapat beberapa poin yang dapat dilakukan oleh laki-laki maupun perempuan. Oleh karena itu, kita harus mengurangi pelabelan jika laki-laki memiliki perilaku yang biasanya dilakukan oleh perempuan dan memaknai maskulinitas yang baik sehingga tidak menimbulkan perilaku yang merugikan orang lain. Menurut Sandra L. Bem (1974) individu memiliki sisi sisi maskulinitas maupun femininitas yang ada di dalam dirinya. Bahkan, individu dapat memiliki sisi maskulinitas dan femininitas yang sama-sama tinggi (androgin) atau sama-sama rendah (undifferentiated).[]
Baca juga: Terlibat dalam Peran Domestik: Apa Saja Manfaatnya Bagi Laki-laki?
By: Erisca Melia Safitri
Referensi
Badaszewski, P. D. (2014). Beyond the binary: how college men construct positive masculinity. Doctor Of Philosophy University of Georgia
Bem, S. L. (1974). The Measurement of Psychological Androginy. [Versi Elektronik]. Journal of Consulting and Clinical Psychology. 42(2), 155-162.
Ermawati, S., Moediarso, B., & Soedarsono. (2018). Hubungan jenis kelamin, usia, dan pekerjaan dengan kejadian asfiksia gantung diri di RSUD DR SOETOMO tahun 2013-2016. Indonesian Journal of Legal and Forensic Sciences 2018; 1 : 12 -30 Asosiasi Ilmu Forensik Indonesia http://ojs.unud.ac.id/index.php/ijlfs
Kiselica, M. S., Wright, S. B., & Carlson, M. E. (2016). Accentuating Positive Masculinity: A New Foundation for the Psychology of Boys, Men, and Masculinity. APA Handbook of Men and Masculinities chapter 6. Diakses melalui : http://dx.doi.org/10.1037/14594-006
McDermott, C. Browning, B., Pietrantoni, K., & McKelvey, D. (2018). In Search of Positive Masculine Role Norms: Testing the Positive Psychology Positive Masculinity Paradigm. Psychology of Men & Masculinity. Advance online publication. http://dx.doi.org/10.1037/men0000160
0 Comments
Leave A Comment