Pernahkah kamu beranggapan bahwa berpikir positif tentang semua hal adalah cara untuk menjalankan hidup dengan mudah? Atau pernahkah berpikir untuk tidak boleh merasa sedih, tetap bersemangat, dan harus tetap tersenyum? Atau… saat bercerita ke teman mengenai suatu masalah yang kita hadapi , teman kita mencoba menyemangati dengan kata-kata “Jangan sedih!” “Masih banyak hal yang bisa disyukuri…” dan “Gak perlu sedih.. masih banyak yang lebih menderita dibanding kamu!”.
Banyak orang yang menganggap bahwa ketika selalu berpikir positif akan membuat seseorang merasa senang dan mampu mengatasi tantangan yang dihadapi. Hal itu mungkin saja benar, tetapi ternyata berpikir positif juga perlu ada “batasannya”. Pada masa-masa tertentu berpikir positif bisa menjadi “toxic” yang justru bisa membuat kalian menghindari masalah yang sedang dihadapi.
Toxic Positivity menjelaskan mengenai konsep yang mengatakan bahwa berpikir positif merupakan cara yang tepat untuk menjalani hidup. Kita melakukan generalisasi secara tidak efektif terhadap perasaan dan keadaan bahagia, untuk diaplikasikan ke dalam setiap situasi yang dihadapi. Kemudian hal tersebut tertanam menjadi pola pikir yang tidak realistis serta memaksa seseorang untuk menekan perasaan mereka yang sebenarnya untuk terus menjadi positif. Dengan kata lain, kita dipaksa untuk fokus pada hal positif dan membuang emosi yang sebenarnya dirasakan.
Baca juga: (Terlihat) Happy Belum Tentu Bahagia
Secara sekilas, pola pikir tersebut terkesan baik, namun konsep berpikir positif ini tidak sebaik dari apa yang digambarkan. Toxic Positivity terjadi ketika seseorang memberikan “pernyataan positif” yang berlebihan terhadap kesulitan atau musibah yang individu rasakan tanpa merefleksikan penyebab dari konflik yang individu itu alami.
Ketika kita menyangkal atau menghindari emosi negatif yang dirasakan, justru akan membuat permasalahan kita menjadi besar di kemudian hari, karena kita akan menjadi bias memandang situasi dan permasalahan yang dihadapi. Ketika kita terjebak pada bias dan siklus ini, emosi yang dirasakan akan semakin besar dan lebih signifikan karena kalian tidak pernah selesai memproses rasa itu.
Seperti apa saja sih contoh toxic positivity itu?
- All is good
Saat sedang meminimalisir konflik yang dialami, pernahkah teman kita meyakinkan kalian bahwa “kamu baik-baik saja” dan masalah yang dihadapi tidak sebesar itu secara tidak langsung, yang akhirnya kita jadi menyembunyikan perasaan yang sebenarnya. Kita pada akhirnya menanamkan pemikiran bahwa semuanya baik-baik saja dan akan memiliki hasil yang positif, terlepas dari apapun situasinya. Hal ini dapat mengikis kondisi emosi kita maupun mengikis rasa empati terhadap orang lain.
- Selalu membandingkan kondisi dengan orang lain
Baca juga: Maskulinitas Positif
Saat kita selalu berpikir bahwa seharusnya kita lebih bersyukur karena masih banyak orang yang tidak seberuntung kalian, tanpa menyesuaikan dengan konteks yang sedang dihadapi. → di layout tulisnya: secara terus menerus membandingkan kondisi yang kita hadapi dengan kondisi orang lain yang menurut kita lebih baik, tanpa memperhatikan konteks situasi.
- Menjadi anti dengan perasaan negatif
Kita menjadi lebih sering menolak perasaan negatif untuk muncul dan selalu menunjukkan perasaan positif dalam segala hal. Padahal merasakan emosi negatif itu perlu juga loh!
- Lebih sering menyembunyikan perasaan yang sebenarnya
Hal ini terjadi saat kita mengorbankan emosi dan perasaan, semata-mata hanya untuk membaur dengan orang lain. Padahal kita perlu jujur terhadap emosi yang kita rasakan agar sehat mental.
Untuk menghindari toxic positivity cobalah untuk memilih lingkungan sosial yang membuat kalian bisa lebih berkembang. Ijinkan juga diri kita untuk merasakan sedih, kecewa dan emosi negatif lainnya. Merasakan emosi negatif tidak salah dan justru dapat (di layout tambahin kata “karena dapat”) membuat kita lebih mampu memahami kondisi diri kita yang sebenarnya. Hal lain yang perlu kita perhatikan adalah konteks kejadian dan situasi yang sedang dihadapi. Tidak serta merta semua kondisi maupun kalimat yang membangun semangat pasti akan termasuk toxic positivity.
Baca juga: Bebaskan Dirimu dari Social Comaparison
By: Nanda Novira
Referensi
https://tirto.id/toxic-positivity-saat-ucapan-penyemangat-malah-terasa-menyengat-dhLM
Post Instagram @iamokay.id dengan judul Toxic Positivity? https://www.instagram.com/p/B8oJ3s2nCPu/
0 Comments
Leave A Comment