Pernah dengar aliran feminis yang disebut Ekofeminis? Ya, sebagaimana namanya, feminisme yang satu ini memiliki keterkaitan dengan kelestarian alam. Tapi begitu masih sedikit yang mengenal misi mulia aliran eko feminis. Ekofeminisme dilahirkan oleh tokoh feminis Francoise d’Eaubonne di tahun 1974, melalui tulisannya yang dibukukan dengan judul “Le Feminisme ou Lamort”, Francoise, mengedukasi akan pentingnya memperhatikan alam atau ‘ibu’ yang terus mengalami kerusakan, dan hal itu menurutnya sejalan dengan kasus-kasus ‘perusakan’ kaum perempuan oleh pola pikir patriarki.

Menurut Kristi Poerwandari, salah satu pendiri Yayasan Pulih, analogi dari Ekofeminisme adalah apabila perusakan terhadap alam berarti juga melakukan perusakan terhadap kalangan perempuan. Begitu juga sebaliknya, apabila adanya pembebasan alam berarti melakukan pembebasan pula terhadap kalangan perempuan. Kristi, juga mengutarakan dalam kata lain: jika air tetap jernih, tumbuh-tumbuhan yang menjadi sumber pangan atau kehidupan juga tetap rindang dan subur, maka pemberdayaan maupun kesejahteraan perempuan juga tetap terjamin. Beliau juga mengutarakan konsep ekofeminisme secara singkat dapat digambarkan dengan “alam sejahtera = perempuan sejahtera”.

Baca juga: Bagaimana Mengurangi Stres Ketika Bekerja dari Rumah?

Pada tahun 1970-an, para ahli ekofeminis menyatakan bahwa segala bentuk kerusakan alam hanya dapat disembuhkan oleh naluri feminin untuk memelihara. Karena peran sosial tradisional perempuan di saat itu yang dianggap sebagai pengasuh, penyayang, maupun pemelihara sehingga memiliki keterkaitan atau kolerasi yang sangat erat dengan alam secara khusus. Seorang ekofeminis, Karen J. Warren menyatakan bahwa pola berpikir hirarkhis, dualistik, atau menindas adalah cara berpikir maskulin yang telah mengancam keselamatan kalangan perempuan dan alam seperti ‘perusakan’ atau eksploitasi alam yang juga berbanding lurus dengan ‘perusakan’ perempuan dengan penindasan atas hak-hak perempuan maupun pola pikir patriarki.

Cara pandang para penganut ekofeminis turut menarik untuk dipelajari, sebab ekofeminisme itu sendiri pada hakekatnya lahir dengan gagasan utama, yaitu kondisi di mana bumi yang digambarkan sebagai tokoh atau figur ‘ibu’ yang telah dieksploitasi dan dirusak oleh sistem atau pihak-pihak serakah yang berkuasa. Ekofeminisme lahir sebagai bentuk jawaban dari kebutuhan dasar untuk menyelamatkan bumi dengan berdasarkan pada kekhasan kalangan perempuan yang selama ini dianggap kompeten atau mampu mengelola lingkungan hidup dan seisinya yang menjadi sumber kehidupan.

Baca juga: Apa Itu Body Positivity?

Sejauh ini, telah banyak gerakan-gerakan perbaikan alam oleh para ekofeminis, seperti gerakan Love Canal di New York pada tahun 1978 dalam bentuk protes bahwa lingkungan hidup mereka dibangun di atas tempat pembuangan racun bawah tanah yang mengakibatkan tidak hanya pencemaran tanah, namun juga keracunan pada anak-anak, kecacatan bayi yag lahir dari perempuan yang terpapar racun, dan masalah reproduksi di kalangan perempuan. Kemudian gerakan Green Belt pada tahun 1977 di Kenya, yang dipelopori dan dilakukan bersama-sama dengan melakukan penanaman pohon di pelosok-pelosok pedesaan oleh kalangan perempuan di masa itu.

Di Indonesia, juga telah ada gerakan ekofeminis yang dipelopori oleh seorang perempuan asal Nusa Tenggara Timur (NTT), bernama Aleta. Beliau membuat kelompok perempuan di Mollo, NTT untuk mengusir penambang selama lebih dari 13 tahun. Karena baginya, merusak alam sama saja seperti merusak tubuh sendiri, layaknya hutan memiliki fungsi utama untuk menjaga lahan atau tanah dan menjadi sumber utama air, seperti kulit melindungi daging dan darah atau sumber-sumber utama kehidupan dibaliknya.

Ekofeminisme yang memiliki keterkaitan erat dan khusus antar alam dengan perempuan,merupakan cara pandang yang memiliki intensi mulia guna ‘kesembuhan’ ibu atau bumi yang dihuni. Namun seiring perjalanan waktu dan perubahan zaman, pola pandang ekofeminisme sekarang dipandang lebih luas, dan disambut secara open-minded mengingat kewajiban untuk menjaga bumi atau ‘ibu’ dari pengeksploitasian adalah tugas, kewajiban, dan tanggung jawab seluruh insan yang tinggal dan hidup diatasnya, tanpa terkecuali dan tanpa memandang bentuk perbedaan apapun.[]

Baca juga: Membangun Relasi yang Baik antara Orangtua dan Anak

 

By: Zevica Rafisna

 

Ed: FN, WS, JLP

Referensi

https://nasional.kompas.com/read/2008/05/12/01083357/ekofeminis.di.indonesia.apakah.ada

https://www.kompasiana.com/lontara.com/552b1d336ea834e049552d45/ekofeminisme-dan-krisis-lingkungan

https://medium.com/lingkaran-solidaritas/review-singkat-pengantar-ekofeminisme-2f05c1a669a9

https://journal.unnes.ac.id/nju/index.php/ijc/article/view/2064/2178