Baru-baru ini seorang korban kekerasan seksual speak up mengenai kejadian pemerkosaan yang pernah dialaminya 1 tahun yang lalu, melalui media sosial miliknya. Pengakuan tersebut kemudian menjadi viral dan berujung pada penangkapan pelaku. Butuh waktu sekitar satu tahun bagi AF, untuk berani bercerita mengenai pengalaman traumatis yang menghantui hidupnya. AF menjadi korban pemerkosaan di rumahnya yang dilakukan oleh seorang laki-laki berinisial RI, yang tidak AF kenal sebelumnya. Pelaku melakukan pemerkosaan pada 13 Agustus 2019 pukul 09.30 WIB dengan cara menyelinap ke rumah AF. Selain memukul kepala AF menggunakan benda logam hingga terluka, pelaku juga mengancam membunuh AF menggunakan pisau yang dibawanya.
Pada hari yang sama, AF langsung melapor ke kepolisian, namun sayang tidak mendapatkan keadilan karena kasusnya tidak diteruskan dengan alasan tidak memiliki bukti yang kuat. Setelah kejadian itu, pelaku selalu meneror AF dengan foto-foto mesum hingga perkataan yang melecehkan dirinya sebagai perempuan melalui media sosial. AF kemudian mengumpulkan bukti-bukti teror yang diberikan pelaku dan rekaman CCTV yang menangkap muka pelaku.
Baca juga: Darurat Kekerasan Seksual
Peristiwa traumatis tersebut selalu menghantuinya hingga saat ini. Hingga akhirnya, AF memberanikan diri untuk speak up di media sosial pribadinya dengan membagikan pengalaman buruknya. AF menjelaskan bahwa dirinya tidak akan melakukan speak up mengenai kekerasan seksual yang dialaminya melalui media sosial jika pada saat itu polisi melakukan tindakan atas pengalaman buruk yang menimpanya dan kebenaran atas kasusnya adalah bukan sebuah aib tetapi hal yang harus diperjuangkan. Maksud dan tujuan korban speak up mengenai pengalamannya agar setiap orang lebih waspada dimanapun ia berada.
Dari kasus AF, kita dapat menyimpulkan bahwa, kekerasan seksual dapat terjadi oleh siapa saja dan dimana saja. Bahkan, pelakunya bisa dari orang yang tidak dikenal hingga orang terdekat.
Kekerasan seksual merupakan salah satu jenis kekerasan yang dapat menimpa perempuan maupun laki-laki sebagaimana kasus fetish kain jarik, baik anak, maupun dewasa, dimana kekerasan seksual menyebabkan psikologi korbannya terganggu. Kasus kekerasan seksual di Indonesia sudah termasuk kategori darurat dan tidak bisa dianggap remeh lagi, karena jumlah korban kekerasan seksual selalu meningkat dari tahun-ketahun. Berdasarkan data yang didapat dalam Komnas Perempuan tahun 2020 terdapat 431.471 kasus kekerasan terhadap perempuan yang ditangani oleh pengadilan agama, 14.719 kasus kekerasan seksual pada perempuan ditangani oleh lembaga mitra penyedia layanan, dan 1.419 kasus kekerasan seksual ditangani Unit Pelayanan dan Rujukan (UPR). Kekerasan terhadap perempuan mengalami peningkatan sebanyak 792%. Bahkan, masih banyak korban perilaku kekerasan seksual lainnya yang tidak melapor kepada pihak yang berwajib.
Korban kekerasan seksual di Indonesia masih sulit untuk speak up dan melaporkannya kepada pihak yang berwajib. Di antara alasannya karena sebagian kasus kekerasan seksual yang dilaporkan dianggap tidak cukup bukti sehingga tidak mendapat respon cepat sebagaimana yang terjadi pada kasus AF, mendapat pertanyaan yang justru membangunkan kembali trauma korban, kebiasaan victim blaming terhadap korban, dan hal itu membuat korban kian tertekan.
Baca juga: Apa sih Fetishme,dan Bagaimana Dampaknya Pada Korban?
Selain mengalami trauma, ada situasi dimana masyarakat menganggap bahwa jika seseorang mengalami kekerasan seksual, itu adalah sebuah aib bagi diri, dan keluarganya. Dengan kata lain, selain korban berhadapan dengan dirinya yang sedang mengalami keterpurukan kondisi psikologis, ia juga dihadapi oleh situasi sosial yang memilih nama baik keluarga tetap terjaga.
Dibutuhkan kekuatan luar biasa dan waktu bagi korban mengatasi traumanya, sehingga penting bagi orang disekitarnya untuk memberikan dukungan penuh bagi korban, termasuk menawarkan bantuan konsultasi psikologi ke profesional untuk mengatasi traumanya. Bila tiba waktunya korban merasa siap untuk speak up dan melapor ke polisi, pihak keluarga dapat meminta pendampingan hukum ke lembaga yang berkompeten di bidangnya, seperti LBH APIK, misalnya.
Jika kamu mengalami kekerasan seksual, maka dapat melaporkannya ke: www.kekerasanseksual.komnasperempuan.or.id atau dapat menghubungi nomor: 021-3903963. Selain itu, jika kamu membutuhkan pendampingan hukum untuk menangani kekerasan seksual yang dialami dapat menghubungi layanan P2TP2A atau LBH APIK yang ada di daerahmu. Bila membutuhkan pemulihan psikologis dapat menghubungi P2TP2A yang ada di daerah kamu, atau lembaga layanan konseling psikologis lainnya. Untuk wilayah Jakarta dan sekitarnya, kamu bisa mengakses layanan psikologi Yayasan Pulih di nomor: 021-78842580, atau konsultasi via E-mail di bit.ly/KonsultasiOnlinePulih.
Baca juga: Bagaimana Kekerasan Seksual Terjadi di Dunia Kerja Selama WFH?
By: Erisca Melia Safitri
Ed: WS, JLP
Referensi
http://news.unair.ac.id/2019/10/14/anindya-nastiti-korban-pelecehan-seksual-harus-berani-speak-up/
http://yayasanpulih.org/2020/07/darurat-kekerasan-seksual/
http://yayasanpulih.org/2020/06/kenali-kekerasan-dalam-pacaran-dan-cara-menghindarinya/
0 Comments
Leave A Comment