Kompilasi karya Puisi ini merupakan kolaborasi Ros Aruna & Ika Vantiani untuk Yayasan Pulih. Karya yang bercerita tentang korban dan penyintas kekerasan ini dibuat dalam rangka peringatan #16HAKTP.
Terjelma Api
namanya tersebut banyak mulut
ditulis banyak tangan
dan ketika mereka mengetikkannya
namanya terjelma api
membakar nama baik mereka
yang terlalu sering pura-pura baik
yang sama sekali tidak pernah
baik-baik saja
di dalam baranya
mereka tidak bisa terus pura-pura
lapis demi lapisan kulit meleleh
membuka luka-luka lama
yang coba dilupa
yang hanya merapat di jangat
menutupi gelembung nanah
belum lagi beku
tidak membatu
satu satu api diketik
diteriakkan bersama acungan tangan
dipetik dalam lagu
ditangisi bersama pengakuan
dan kemenangan seperti mendekat
hampir tiba
tapi tidak jua kita jumpa
semangat dia, kita terjelma api
lupa mereka busa
disemprotkan dari mulut-mulut
tanpa iba
kuasa mereka gunung pasir
dituangkan ke atas hutan bara
tinggal desis tersisa
diam menunggu
angin yang datang
kemudian
—
Beri 1 Lagi Pilihan
laki-laki dan perempuan itu ujung spektrum dari banyak lagi identitas diri
pilih satu yang sesuai dengan hati
antara hitam dan putih ada abu-abu dengan ratusan tingkat gradasi
saya bisa terus meminta, beri satu pilihan lagi
suara juga tidak terbatas pada hitam anak katak dan mamalia bersayap pemakan serangga
yang mencari mangsa dalam gelap
ada golongan yang tidak suka gelap hitam dan memilih warna putih tanpa embel-embel
kesucian
berkuasa itu berani kotor
tapi saya bisa terus meminta
beri satu pilihan lagi.
pilihan berdengung di panggung
korupsi-koreksi, investasi-birokrasi, nepotisme-selebrasi, feminis-habisi, aktivis-persekusi,
peneliti-pecundangi, papua-disawiti, provinsi-kompetisi, belajar-bergawai, kantor-infeksi, dokterdilucuti, obat-promosi, vaksin-manipulasi, isolasi-bunuh diri, makam-berpeti, positif-angka mati,
negatif-main lagi, kesehatan-didoakan, ekonomi-diamini
hanya dua pilihan, pilih satu dapat dua, dua-duanya bukan pilihan saya
beri satu pilihan lagi, saya belum mau mati
—
Pemerkosa Kejantanan
“Y la culpa no era mía, ni dónde estaba ni cómo vestía, el violador eras
tú, el violador eres tú. son los pacos, los jueces, el estado, el presidente,
el estado opresor es un macho violador.”
bukan salah saya
kata-kata itu berlompatan
dari kebungkaman
menjelma pagar betis
deretan pejuang keadilan
membatasi kewarasan
dari pertanyaan penuh jebakan
pemicu kesakitan
pemutar tudingan
pertanyaan balik terlontar
“kenapa malam-malam keluar?”
“pakai baju apa?”
“kamu tidak menolak?”
mereka membalikkan telunjuk
darinya
ke arahmu
bukan salah saya
bungkam masih pilihan
pagar betis berlapis
berjuang demi kewarasan
tak ada lagi sakit
terima saja tuduhan
mereka
polisi
jaksa
hakim
pemerintah
presiden
negara
dia
pemerkosa
“bukan salah saya”
kejantanan
—
Siklus Derita
mereka memanen derita,
memolesnya dengan melempar ‘cantik’ dan kata sifat melemahkan yang memancing kasihan.
mereka memetiki malu,
memanaskannya dengan ‘seksi’ atau ‘rok pendek’ dan deskripsi kulit yang terbuka yang memicu
birahi.
mereka menanamkan benci,
menyelipkan pembelaan kaumnya dengan ‘bersetubuh’ atau ‘menggagahi’ dan sinonim lain
yang tidak mengisyaratkan kekerasan apalagi pelanggaran hukum.
lalu derita, malu, benci itu diperjualbelikan demi satu dua ketukan ketukan yang terus mengalir
bagai derap ribuan pasukan yang berbaris memasuki ruang-ruang pribadi.
derap jutaan ketukan menyalakan layar, membuka aliran iklan, uang berputar, mematenkan
kebendaan perempuan
—
Anggap Saja Rumah Sendiri
silakan masuk, anggap saja rumah
sendiri
silakan duduk
tapi jangan di samping sini
di belakang ada kursi
ambil sendiri
silakan minum
kopinya mana
jangan pelit gula
perlu ada manis di rumah ini
silakan makan
belanja di warung sayur pojokan
tiap hari jatah dua puluh ribu
kalau tidak bisa masak, belajar
silakan tidur
tunggu semua pulang
kunci pintu
ini kamis malam, buka baju
silakan masuk
jangan harap
dapat keluar
sendiri
0 Comments
Leave A Comment