Disclaimer: Tulisan ini dibuat dengan dukungan dari UNFPA & DFAT. Pandangan yang diungkapkan di sini sama sekali tidak dapat dianggap mencerminkan pendapat resmi dari UNFPA dan DFAT.

Pernahkah kalian mendengar cerita-cerita yang muncul melalui gerakan #MeToo di berbagai negara? Atau tagar yang sempat viral seperti #KitaAgni? Cerita-cerita tersebut menyuarakan – salah satunya—kekerasan seksual, yang merupakan salah satu bentuk kekerasan berbasis gender (KBG, atau Gender Based Violence/GBV).

Kekerasan berbasis gender adalah istilah yang memayungi setiap perilaku membahayakan yang dilakukan terhadap seseorang berdasarkan aspek sosial termasuk gender yang dilekatkan oleh masyarakat yang membedakan antara laki-laki dan perempuan. Termasuk di dalamnya adalah segala perilaku yang mengakibatkan penderitaan fisik, seksual, atau mental, ancaman akan melakukan suatu perbuatan membahayakan, pemaksaan, dan atau perilaku lain yang membatasi kebebasan seseorang.

KBG disebabkan oleh ketidakadilan gender dan penyalahgunaan kewenangan (abuse of power) akibat adanya relasi kuasa yang tidak seimbang dari konstruksi gender yang tidak setara. Maka itu, gender pelaku dan penyintas mempengaruhi motivasi kekerasan dan bagaimana masyarakat merespons atau mengecam kekerasan tersebut. Siapapun bisa menjadi korban KBG, termasuk laki-laki atau kelompok minoritas seksual. Walaupun begitu, dalam konteks KBG, kekerasan terhadap perempuan lebih banyak terjadi. Secara global, satu dari tiga perempuan pernah mengalami kekerasan—baik fisik maupun seksual sepanjang hidupnya.

KBG bisa terjadi dalam berbagai bentuk:

  1. Kekerasan seksual

Kekerasan seksual adalah setiap tindakan baik berupa ucapan ataupun perbuatan yang dilakukan seseorang untuk menguasai atau memanipulasi orang lain serta membuatnya terlibat dalam aktivitas seksual yang tidak dikehendaki.

Aspek penting dalam kekerasan seksual: 1) aspek pemaksaan dan aspek tidak adanya persetujuan dari korban. 2) korban tidak/belum mampu memberikan persetujuan (misalnya kekerasan seksual pada anak atau individu dengan disabilitas intelegensi).

Baca juga: Mengenali Kekerasan Seksual dan Darurat Kekerasan Seksual

  1. Kekerasan fisik

Kekerasan fisik adalah tindakan yang (dapat) melukai tubuh, termasuk pembatasan gerak fisik, dan tidak bersifat seksual. Ini bisa dalam bentuk kekerasan seperti memukul, mencekik, atau menggunakan senjata/alat berbahaya, atau lewat tindakan pengabaian yang mengakibatkan sakit atau luka fisik.

  1. Kekerasan Psikis

Kekerasan ini dapat berupa tindakan verbal maupun nonverbal yang menyerang secara mental atau emosional, misalnya intimidasi, pengrusakan barang, dan pelecehan seksual secara verbal.

Baca juga:  Kekerasan Gender Berbasis Online pada Perempuan

  1. Kekerasan sosial dan ekonomi

Kekerasan ini dapat berakibat pada penelantaran ekonomi atau pemiskinan dari korban. Kekerasan sosial atau ekonomi terjadi ketika perempuan atau kelompok rentan lainnya terkondisi memiliki akses yang terbatas atau tidak mendapatkan akses pada pendapatan, layanan, keuangan, aset, dan kesempatan untuk memperbaiki tingkat sosial dan ekonomi mereka.  Beberapa contohnya adalah diskriminasi, terhalangnya akses terhadap pendidikan, kesehatan, pekerjaan yang digaji, atau peniadaan kepemilikan, termasuk penelantaran. Kekerasan jenis ini bisa dilakukan oleh anggota keluarga, komunitas, masyarakat, organisasi, atau bahkan institusi pemerintah.

 

Dampak Psikososial KBG

Kita perlu memahami  dampak psikososial akibat terjadinya KBG. Artinya, kita perlu melihat bahwa KBG yang terjadi pada individu tidak hanya memiliki dampak bagi diri individu yang mengalami (dampak psikis maupun fisiknya), tetapi juga berdampak pada pola relasi hingga pada tataran sistem bermasyarakat yang lebih luas, termasuk dampak secara ekonomi bagi individu. Pendekatan  psikososial perlu kita lihat sebagai sistem yang saling mempengaruhi satu sama lain dan tidak bisa kita lihat secara terpisah.

Penyintas KBG mengalami dampak psikososial yang signifikan. Secara fisik, KBG bisa mengakibatkan luka  atau bahkan hilangnya nyawa. Selain itu, pelaku KBG juga mungkin menyebabkan Penyakit Menular Seksual, kehamilan yang tidak diinginkan, aborsi yang tidak aman, atau keguguran. Dari segi psikis penyintas, peristiwa traumatis (yang bisa saja berulang dalam konteks KBG) dapat mengakibatkan depresi, ketakutan, gangguan stres pascatrauma (PTSD), menyakiti diri sendiri (self-harm), atau pikiran untuk bunuh diri. Ditambah lagi, penyintas seringkali harus menanggung konsekuensi sosial dan ekonomi, dengan ada stigma dan penolakan dari keluarga atau masyarakat. Di berbagai komunitas, penyintas KBG juga  dipaksa menikah dengan pelakunya.

Dampak kekerasan seringkali bertahan lama pada korban, baik secara fisik, psikologis maupun sosioekonomi. Karena itu, konsekuensi dan prevalensi KBG menunjukkan bahwa KBG bukan hanya merupakan pelanggaran HAM, tapi juga masalah kesehatan masyarakat. Ditambah lagi, karena ketidakadilan dan relasi kuasa tidak seimbang yang melatarbelakangi KBG, gender pelaku dan penyintas mempengaruhi bagaimana masyarakat merespon kekerasan tersebut. Maka itu, kita sebagai bagian dari masyarakat perlu memahami soal KBG. Selanjutnya, kita bisa mencegah dan mengurangi terjadinya KBG dalam masyarakat kita, serta mendukung penyintas untuk pemulihan—baik itu dalam mencari bantuan kesehatan fisik dan mental, mengurangi stigma sosial, maupun dalam menempuh jalur hukum. Pada akhirnya, hak untuk hidup bebas dari kekerasan dan penderitaan adalah hak asasi manusia.

 

KBG di tengah pandemi

Pandemi COVID-19 ini meningkatkan risiko terjadinya KBG di seluruh dunia, termasuk di Indonesia. Di satu sisi, potensi menjadi pelaku KBG semakin besar. Situasi pandemi yang serba tidak bisa diprediksi meningkatkan kemungkinan pemutusan hubungan pekerjaan (PHK), berkurangnya pendapatan, serta berbagai situasi stres lainnya di dalam rumah. Sebagai tambahan, kesulitan dan keengganan kita (terutama laki-laki) untuk mencari pertolongan kesehatan mental di tengah kesedihan dan frustasi selama pandemi, meningkatkan potensi menjadi pelaku KBG. Maka itu, tidak perlu ragu untuk mencari bantuan kesehatan mental jika kita memerlukannya.

Di sisi lain, risiko bagi perempuan menjadi korban KBG juga meningkat. Aturan-aturan kesehatan yang krusial untuk memperlambat penyebaran virus—seperti mengurangi keluar rumah dan interaksi dengan orang lain, serta berkurangnya  layanan yang esensial —juga membatasi akses penyintas untuk menghindari pelaku dan mengakses bantuan.

Jika kamu merasa rumah bukan tempat yang aman bagimu, kamu bisa mencoba mengontak keluarga, teman tetangga, hotline, atau layanan lokal. Kamu juga bisa menyiapkan rencana darurat untuk keselamatan seperti mengidentifikasi orang atau organisasi yang bisa kamu datangi jika harus meninggalkan rumah secepatnya, dan merencanakan cara untuk keluar rumah dan sampai di tempat tersebut. Kamu juga bisa mempersiapkan barang-barang penting dan daftar telepon penting di satu tempat. Jika memungkinkan, kamu bisa membuat kode atau sinyal dengan tetangga yang kamu percayai agar mereka bisa segera mendatangi rumahmu saat darurat.

Jika kamu sedang mengkhawatirkan keamanan seseorang, hubungi mereka dengan rutin sambil memperhatikan keamanan mereka. Asumsikan pelaku KBG dapat memonitor komunikasimu dengan mereka, jadi berhati-hatilah agar kamu tidak membahayakan mereka. Kamu juga dapat mencari dan membagikan di sosial mediamu berbagai layanan untuk penyintas kekerasan yang bisa dijangkau selama pandemi. Jika ada yang membutuhkan bantuanmu secara mendesak, persiapkan dirimu untuk menelpon polisi, rumah sakit darurat, atau hotline.

Baca juga: Fighting Shadow Pandemic: Stop Gender Based Violence

 

Sumber:

https://gbvguidelines.org/wp/wp-content/uploads/2018/03/GBV_UserGuide_021618.pdf

https://gbvguidelines.org/wp/wp-content/uploads/2020/04/Interagency-GBV-risk-mitigation-and-Covid-tipsheet.pdf

Oram, Sian, Khalifeh, Hind, & Howard, Louise M. (2017). Violence against women and mental health. The Lancet. Psychiatry, 4(2), 159-170. https://doi.org/10.1016/S2215-0366(16)30261-9

https://www.theguardian.com/society/2020/mar/28/lockdowns-world-rise-domestic-violence

https://www.unhcr.org/sexual-and-gender-based-violence.html

https://www.unfpa.org/gender-based-violence

https://www.who.int/emergencies/diseases/novel-coronavirus-2019/question-and-answers-hub/q-a-detail/violence-against-women-during-covid-19

http://yayasanpulih.org/2017/06/mengenali-kekerasan-seksual/