Pada Bulan Agustus 2020 lalu, linimasa medsos kita diramaikan oleh video yang memperlihatkan antrean panjang warga di halaman Pengadilan Agama Soreang, Bandung. Warga rela menunggu berjam-jam untuk mengurus gugatan cerai terharap pasangannya.
Menanggapi fenomena ini, Dirjen Badan Pengadilan Mahkamah Agung RI Aco Nur mengatakan angka perceraian di Pulau Jawa memang mengalami peningkatan. Ia menduga hal tersebut dilatarbelakangi oleh faktor ekonomi, karena faktanya banyak pencari kerja (suami) mengalami PHK selama pandemi.
“Akibat Covid-19 kan banyak di-PHK, sehingga ekonomi enggak berjalan lebih baik. Hal itu membuat ibu-ibu enggak mendapat jaminan dari suaminya,” jelas Aco Nur, dilansir dari Antara pada Jumat (28/8/2020)
Setelah setahun berhadapan dengan pandemi, kita semua mengalami tantangan serupa. Tak peduli single ataupun menikah, ancaman PHK, pemotongan gaji, dan permasalahan ekonomi lainnya selalu menghantui. Tantangan ini dapat mengganggu kesehatan mental dan kualitas hubungan kita dengan orang lain. Tetapi tantangan ini, bukannya tidak bisa dihadapi.
Kita Semua Berhak Mengakses Sumber Ekonomi
Tak dapat dipungkiri, budaya masyarakat kita memang cenderung mengarahkan perempuan untuk lebih bertanggungjawab pada ranah domestik. Anak perempuan dituntut untuk piawai mengelola rumah, mulai dari bebersih, menyiapkan makan, hingga mendidik, sebagai bekal wawasan untuk mengurus rumah tangganya kelak.
Sebaliknya, anak laki-laki cenderung disiapkan untuk mengemban peran sebagai pencari nafkah bagi keluarga. Mungkin karenanya, Dilan akan dengan senang hati mengatakan, “Cari uang itu berat, biar aku saja.”
Dengan diterapkannya pembagian peran yang kaku terhadap gender tertentu, laki-laki yang tidak bekerja akan mendapatkan stigma negatif dari masyarakat. Demikian pula perempuan akan dianggap tidak memenuhi perannya bila luput mengerjakan tugas rumah tangga. Pembagian tugas ini seakan menarik garis tegas yang membedakan peran perempuan dan laki-laki sehingga pertukaran peran antara keduanya kerap dianggap tabu.
Dengan standar inilah, maka perempuan tumbuh besar dengan ekspektasi bahwa suaminya kelak akan bertanggung jawab atas pemenuhan finansial dirinya dan keluarga. Sebaliknya, laki-laki akan mendamba istri yang sanggup mengelola rumah tangga. Tetapi bagaimana bila pada suatu titik, salah satunya mengalami kendala dalam melakukan peran gendernya?
Ya. Sayangnya cobaan kehidupan tidak pandang bulu melihat gender. Data BPS per Agustus 2020 justru menunjukkan Tingkat Pengangguran Terbuka pada kelompok tenaga kerja laki-laki lebih tinggi 1% daripada perempuan. Kondisi ini, pertama-tama dapat mengganggu kesehatan mental laki-laki, baik single maupun yang sudah menikah.
Berhentinya sumber pencaharian dapat menyebabkan seorang laki-laki mengalami konflik dengan dirinya sendiri. Ia rentan mengalami stres, frustasi, dan sakit lantaran tidak bisa melakukan perannya secara optimal. Konflik baru dapat muncul bila perempuan di keluarganya —yang terbiasa berperan memastikan kebutuhan rumah— terus menuntut laki-laki untuk menjalankan perannya sebagai pencari nafkah.
Kalau sudah begitu, konflik pun tak terelakkan. Selama pandemi, suami dan istri terus-menerus berada di bawah atap sehingga keduanya dapat merasakan emosi satu sama lain secara lebih intens, tanpa dijeda aktivitas lain. Belum lagi rasa lelah menemani anak sekolah daring dan jenuh yang berkepanjangan. Akumulasi konflik ini, jika tidak tertangani dengan baik, dapat rentan berujung ke perceraian.
Tapi tahukah kamu, bahwa kondisi ini dapat diminimalkan dengan membudayaan kemitraan antara perempuan dan laki-laki?
“Penugasan” yang telah kita bahas di atas, serta-merta membangun kesadaran setiap individu untuk semaksimal mungkin menjalankan peran gendernya. Maka wajar bila seorang laki-laki atau perempuan merasa bersalah bila tidak bisa melakukan perannya secara optimal karena sakit, krisis ekonomi, dan faktor lainnya. Jika dibiarkan berlarut, perempuan dan laki-laki dapat mengalami ketertekanan, stres, frustasi, yang malah kontraproduktif bagi kehidupannya.
Padahal, tidakkah makhluk sosial sebenarnya dapat saling bekerja sama? Apalagi, bagi pasangan sudah menikah, tidakkah sebenarnya tugas tersebut dapat dilakukan berdua? Pasti lebih ringan dan asyik!
Dengan tidak mengkotak-kotakkan secara tegas peran laki-laki dan perempuan berdasarkan gendernya, maka rasa ketergantungan kepada salah satu pihak pun dapat dihindarkan. Misalnya, jika sumber penghasilan dari suami terhenti karena pandemi, maka masih ada satu sumber penghasilan lainnya dari istri. Sebaliknya, bila suami juga terlibat dalam tugas-tugas domestik, maka ia dapat pula menghayati peran-peran pengasuhan bersama dengan anaknya maupun berempati terhadap peran yang selama ini telah dijalani oleh pasangannya. Masing-masing anggota keluarga pun dapat saling berempati terhadap peran gendernya dan membuat kehidupan keluarga menjadi lebih sehat.
“Oh iya ya, pantas saja istri saya pusing. Supaya kami tidak gampang sakit selama pandemi, istri harus memasak ikan dan sayur untuk keluarga. Tetapi karena uangnya tidak ada, ia merasa sedih. Saya akan mendampingi anak sekolah daring, sementara istri saya mencoba bereksperimen dengan bahan makanan seadanya.”
“Oh mungkin suami saya sedang kalut karena dipensiunkan dini. Pasti ada perasaan bingung karena tiba-tiba ia tidak memiliki aktivitas. Mungkin juga dia sedang berpikir untuk melamar pekerjaan baru supaya bisa menghidupi keluarga. Biar gaji saya dulu yang dipakai untuk hidup berhemat.”
Setelah terbiasa saling memahami, kalau ada masalah di kemudian hari, maka kedua belah pihak dapat membicarakannya dengan lebih proporsional. Pasalnya, laki-laki dan perempuan telah memiliki pengetahuan yang cukup dan sudah turut ambil bagian dalam kesulitan yang dialami oleh pasangannya.
Jadi, bagaimana? Apakah kamu tertarik mencoba membiasakan kemitraan antara laki-laki dengan perempuan? Lalu, bagaimana jika kita belum terbiasa membangun kemitraan seperti ini? Harus mulai dari mana? Yuk kita coba dari cara-cara yang paling mudah!
- Komunikasi
Hubungan laki-laki dan perempuan yang harmonis dapat dimulai dengan membangun komunikasi yang baik. Dalam konteks konflik, mulailah pertimbangkan untuk membicarakan masalah yang kini tengah kita hadapi. Setelah menjelaskan duduk perkaranya, sampaikan juga perasaan yang tengah kita rasakan. Apakah saya takut menghadapi ancaman PHK, apakah saya resah karena harga kebutuhan pokok naik, apakah saya mampu membiayai kuliah adik, dan lain sebagainya.Setelah itu, tanyakanlah bagaimana pendapat pasangan kita di keluarga. Masalah apa yang kini juga sedang ia hadapi, bagaimana perasaannya, dan apa yang selanjutnya ingin dia lakukan? Gunakan pola komunikasi ini sebagai salah satu alat untuk mengenali dan membuat daftar tantangan dalam keluarga. Semakin transparan diskusi ini berlangsung, maka semakin jelas masalah terdeskripsikan sehingga bisa bersama-sama dicari solusinya.
- Berdiskusi mencari solusi
Setelah saling memahami masalah masing-masing, tentunya yang perlu kita lakukan ialah mencari solusinya. Pertama-tama, percayalah bahwa laki-laki dan perempuan sama-sama sanggup dan bisa berkontribusi menyelesaikan masalah. Tanyakan bagaimana strateginya menghadapi masalah ini, dan terbuka lah pada ragam solusi yang muncul.Bagaimana bila adik laki-laki sementara merawat ayah dan ibu yang sakit, sementara kakak perempuan bekerja paruh waktu? Bagaimana jika suami yang baru di-PHK bersama-sama istri membuka UMKM dengan memanfaatkan keterampilan istri? Atau jika suami dan istri sama-sama kelelahan WFH dan tidak mungkin melakukan pekerjaan rumah, mungkinkah untuk sementara mempekerjakan ART alih-alih mengambil risiko resign dan kehilangan sumber pencaharian?
Temukan ragam solusi dan jangan lupa pertimbangkan juga dampak jangka panjangnya ya!
- Berbagi pengetahuan dan keterampilan
Momen di rumah aja sebenarnya bisa menjadi waktu yang tepat untuk saling meningkatkan kapasitas diri, terutama bagi keluarga yang sebelumnya memberlakukan pembagian peran berbasis gender secara tegas. Coba mengingat ilmu apa yang kira-kira bisa kita bagikan ke anggota keluargamu yang berbeda gender. Misalnya; kemampuan mengoperasikan Excel, pembukuan sederhana, cara menghitung nutrisi harian, parenting, memasak, sales/marketing, public speaking, berkebun, perbengkelan, pemasaran digital, dan lain-lain.Hilangkan prasangka yang menyimpulkan bahwa laki-laki atau perempuan tidak akan bisa melakukan keterampilan tertentu. Dengan membagi pengetahuan, kita dapat mulai mengikis prasangka kita terhadap gender tertentu dan bisa saja kita menemukan kelebihan-kelebihan lainnya yang mungkin selama ini tidak kita lihat.
Ilmu-ilmu tersebut dapat menjadi modal yang berharga untuk sedikit demi sedikit melepaskan ketergantungan terhadap gender tertentu. Istri yang sudah mempelajari public speaking dari suaminya pun bisa mengakses sumber ekonomi dengan bekerja sebagai Humas dan mengakses haknya di bidang politik dengan mengajukan diri sebagai Ketua RT. Suami yang telah mempelajari parenting dan ilmu gizi pun dapat menyajikan makan siang yang tepat nutrisi bagi anaknya. Kelamaan, pasutri pun akan terbiasa saling bantu karena terampil dalam banyak hal.
- Meneruskan nilai kemitraan antara perempuan dan laki-laki, kepada anak
Salah satu cara untuk membudayaan kerja sama antara perempuan dan laki-laki tanpa membatasinya pada ruang kerja berbasis gender, adalah dengan sejak dini mengenalkannya ke anak. Mulailah dengan cara-cara sederhana, dimulai dari apa yang dia pelajari sejak kecil.Hindari mengkotak-kotakkan kecenderungan berperilaku anak perempuan dan laki-laki. Misalnya, hindari menghentikan tangis anak laki-laki dengan kalimat, “Masak anak cowok nangis. Malu ah sama adik kamu yang cewek.” Atau, “Kok kamu sukanya main mobil-mobilan sih? Kayak anak cowok aja.”
Jika anak melakukan aktivitas yang menurut kita tidak sesuai dengan gender-nya, ingatlah bahwa anak pada dasarnya tidak memiliki persepsi tersebut. Alih-alih melarang dan membatasinya, temani ia bermain dan biarkan dulu ia mengeksplorasi dunianya. Ia masih akan berproses sangat lama.
Sebagai orang tua, kita perlu memberikan contoh bahwa setiap anggota keluarga sama-sama memiliki kewajiban untuk terlibat dalam pekerjaan domestik di rumah, mendidik anak, dan meningkatan taraf kehidupan keluarga yang lebih baik. Dengan demikian, anak juga akan terbiasa hidup mandiri, dan kelak dapat memperlakukan pasangannya dengan persepsi serupa.
Jaga Terus Keharmonisan Keluargamu!
Untuk keluarga yang sedang berjuang menghadapi ragam tantangan selama pandemi, jangan menyerah ya! Tak hanya di Indonesia, tantangan ini juga dihadapi oleh tetangga-tetangga kita di belahan bumi lain. Jadi, kamu tidak sendirian! Mungkin ini adalah saatnya bagi kita untuk sama-sama berdaya menghadapi tantangan berat yang menghadang.
Kalau kamu masih merasa kesulitan mengatasi problem peran gender ini, jangan ragu untuk bercerita kepada rekan yang kamu percaya atau kamu juga bisa meminta bantuan kepada profesional.
Ohiya, di tahun ini Yayasan Pulih bakal sering banget menyelenggarakan kelas online dan membagikan cara membangun relasi sehat yang mendukung produktivitas kerja melalui beragam postingan di kanal media sosial. Jadi, jangan lupa pantau terus medsos Yayasan Pulih ya! Tak hanya ilmu, siapa tahu kamu berkesempatan mendapatkan tiket buat ikutan kelas online secara gratis. Sampai ketemu!
0 Comments
Leave A Comment