Stres adalah keadaan yang bisa dirasakan oleh siapa saja. Ada yang mengalami stres dalam waktu pendek, dan sebaliknya ada yang mengalaminya cukup lama. Stres, menurut Kementerian Kesehatan Republik Indonesia, ialah reaksi individu secara fisik maupun emosional ketika ada perubahan dari lingkungan yang menyebabkan seseorang itu harus bisa menyesuaikan diri. Puji (2021), menjelaskan kalau stres adalah bagaimana cara seseorang menanggapi tuntutan, ancaman, atau tekanan. Stres sendiri menurut Veithzal dan Deddy Mulyadi (Erisca, 2020) adalah suatu kondisi yang dapat menyebabkan ketidakseimbangan terhadap fisik dan psikis yang dapat mempengaruhi proses berpikir dan emosi seseorang.
Beban Ganda Memicu Stres
Dalam konteks perempuan bekerja, dan hidup pada lingkungan yang menerapkan norma gender tradisional, yakni nilai budaya yang mengkonstruksi perempuan sebagai penanggung jawab pekerjaan rumah tangga (domestik), walau ia bekerja mencari nafkah sekalipun. Situasi demikian disebut sebagai beban ganda.
Beban ganda membuat perempuan menjadi pihak yang harus mengerahkan banyak energi dan waktu, dan pada titik tertentu, beban ganda tersebut dapat memicunya mengalami stres. Ya, itu karena ia harus memenuhi tanggung jawabnya di tempat kerja, dan memenuhi konstruksi sosialnya sebagai perempuan di rumah (Swathi & Reddy, 2016).
Baca juga: Manfaat Laki-laki dan Perempuan Saling Support Hadapi Pandemi
Hasil survei Cigna Corporation (Sukmana, 2019), menemukan perbedaan rasa stres antara perempuan dan laki-laki, di mana perempuan memiliki persentase 84% dan laki-laki 76%. Bahkan selama masa pandemi, stres pada perempuan yang bekerja melebihi persentase laki-laki yang bekerja, loh! LinkedIn (Key, 2020), dalam surveinya menemukan 73% perempuan merasakan stres ketika bekerja di tengah pandemi, sementara stres pada laki-laki sebanyak 57%.
Selain soal beban ganda, pemicu stres lainnya pada perempuan bekerja, terutama bila ia sudah berkeluarga dan memiliki anak, ia akan mendapat stigma dan gunjingan sebagai ibu yang tidak bertanggung jawab pada anak, dan istri yang tidak berbakti pada suaminya. Hal demikian karena norma gender tradisional yang bias mengkonstruksi perempuan yang baik ialah mereka yang di rumah saja mengurus keluarga. Itulah mengapa kita kerap mendengar dari beberapa orang menyatakan, “anak perempuan tidak perlu sekolah tinggi-tinggi, karena akhirnya hanya akan di rumah saja”.
Diskriminasi Gender di Tempat Kerja
Faktor lainnya yang juga dihadapi perempuan ialah diskriminasi gender dan stereotip di tempat kerja, mulai dari posisi-posisi strategis yang masih didominasi laki-laki, yakni 69,37% (Sakernas 2019), sehingga hanya ada 30,63% perempuan bisa menjadi top leader (Sakernas 2019) karena stereotip yang dibangun pada perempuan dimana mereka dilihat sebagai individu yang tidak bisa tegas dan emosional. Di beberapa tempat kerja juga masih menganggap perempuan sebagai pencari nafkah tambahan keluarga sehingga ia mendapat upah lebih rendah dari laki-laki walau beban dan jenis pekerjaannya sama. Survei Angkatan Kerja Nasional (Sakernas), BPS, 2020 menunjukkan bahwa perempuan menerima upah 23 persen lebih rendah dari laki-laki. Selain itu, kondisi biologisnya yang mentakdirkan perempuan mengalami datang bulan, hamil, melahirkan, dan menyusui bayinya, dianggap sebagai situasi yang kurang menguntungkan bagi perusahaan, karena bila masa itu datang maka perempuan akan mengajukan izin tidak bekerja. Pada akhirnya diskriminasi gender di tempat kerja juga berkontribusi memicu munculnya stres (Kristina & Stephen, 2015; dalam Swathi & Reddy, 2016).
Baca juga: Manfaat Berbagi Peran Dalam Rumah
Masa Pandemi Covid-19 dan Durasi Kerja yang Panjang
Selama masa pandemi ditemukan kalau perempuan dan laki-laki yang memiliki durasi pekerjaan yang berbeda, yakni perempuan menghabiskan waktu rata-rata lebih lama dibanding laki-laki. Misalnya untuk bekerja di luar rumah dan mengurus anak, perempuan menghabiskan waktu dalam seminggu sebanyak 39,8 jam, sementara laki-laki 32,4 jam, dan dalam mengurus lansia atau anggota keluarga yang sedang sakit perempuan menghabiskan waktu 10,4 jam, laki-laki 5,1 (LeanIn.Org & SurveyMonkey, 2020).
Pentingnya Menjaga Kesehatan Mental
Walau sulit mengikis budaya tidak adil gender sehingga membuat perempuan mengalami beban ganda, tetapi penting bagi kita dapat mengontrol keseimbangan hidup dengan mengurangi stres, antara lain:
- Melakukan penyesuaian sikap
- Hal ini dapat dilakukan dengan lebih mencoba memahami perasaan yang dimiliki, baik itu perasaan positif, negatif, ataupun netral. Perasaan yang dimiliki valid dan perlu untuk diekspresikan.
- Selain itu, bisa pula dengan mengingat kalau sesuatu yang ‘sempurna’ itu tidak ada, dan tidak apa-apa bagi kita untuk mengurangi ekspektasi terhadap diri sendiri.
- Belajar untuk mampu melakukan self-compassion, seperti mengatakan “Aku telah membuat kesalahan, tapi aku manusia, dan kita dapat belajar dari kesalahan yang telah kita perbuat”.
- Melakukan self-care
- Menetapkan batasan agar kita tidak memiliki beban tambahan dalam pekerjaan
- Prioritaskan melakukan aktivitas perawatan diri, merawat diri sendiri akan membantu kita untuk berfungsi dengan baik dalam melakukan peran yang harus dilakukan
- Berpartisipasi dalam terapi daring bila ingin dan mampu, dengan menghubungi individu profesional, perempuan dapat menerima saran yang valid.
- Menjadi lebih terorganisir
- Bila menjalani bekerja dari rumah, buatlah jadwal yang terstruktur namun tetap fleksibel
- Buatlah ruang khusus untuk melakukan kegiatan tertentu
- Sederhanakan daftar tugas yang dimiliki, buat list berdasarkan prioritas utama agar memungkinkan fleksibilitas
- Berikan beberapa tugas kepada rekan dengan ekspektasi yang jelas dan dapat diterapkan.
- Tetap terhubung dengan kerabat
- Hubungi teman atau keluarga terdekat paling tidak seminggu sekali yang mengalami tantangan serupa untuk bisa saling bertukar cerita dan saling memberi perasaan positif.
- Dalam hal ini pula, perempuan juga bisa bercerita mengenai tantangan di dunia kerja kepada suami atau kepada orangtua bagi perempuan yang belum menikah, dengan begitu perempuan yang bekerja dapat membagi peran domestik dengan suami atau dengan orangtua dan mengurangi beban rumah tangga yang ada.
- Jika sudah memiliki anak, bisa melibatkan mereka dalam perencanaan
- Buat jadwal terstruktur namun fleksibel dan izinkan anak-anak untuk membuat pilihan mengenai struktur dalam jadwal tersebut.
- Perbolehkan anak-anak untuk menelpon anggota keluarga dan bermain game bersama untuk menghabiskan waktu.
- Ajak anak-anak untuk bermain puzzle dan jika mereka tidak mengganggu hingga waktu yang ditentukan, anak dapat diberikan reward.
- Berikan mereka dua hingga tiga opsi untuk melakukan pekerjaan rumah dan biarkan anak-anak memiliki apa yang ingin dilakukan. (APA Committee on Women in Psychology-2020)
Baca juga: Tanda-tanda Kamu Mengalami Kelelahan Secara Mental
Sebagai catatan kecil, saran yang dibuat oleh APA Committee on Women in Psychology ini bisa dipilih dan diikuti sesuai dengan situasi, preferensi, dan konteks bagi seseorang.
Di luar dari saran yang sudah diberikan oleh APA Committee on Women in Psychology, cara lain untuk bisa mengurangi stres pada perempuan yang bekerja adalah melalui kesadaran perusahaan terhadap ketidaksetaraan gender dalam lingkungan pekerjaan. Perusahaan-perusahaan harus bisa menilai kembali inisiatif yang dilakukan untuk keadilan gender (Connley, 2021). Perusahaan perlu menetapkan target di sekitar keragaman gender agar bisa memastikan bahwa selama periode COVID-19, dan setelah periode itu, mereka bisa mempekerjakan dan mempromosikan perempuan dengan adil, sehingga dapat mengurangi rasa stres yang dimiliki oleh perempuan.[]
By: Fathia Rachma Aurelia Zahra Natadisastra
Ed: WS
Referensi
http://p2ptm.kemkes.go.id/infographic-p2ptm/stress/apakah-yang-dimaksud-stres-itu
http://ijcem.org/papers072016/ijcem_072016_02.pdf
https://leanin.org/article/womens-workload-and-burnout
https://www.apa.org/topics/covid-19/working-women-balance
0 Comments
Leave A Comment