1 Desember 2020
Disclaimer: Tulisan ini dibuat dengan dukungan dari UNFPA & DFAT. Pandangan yang diungkapkan di sini sama sekali tidak dapat dianggap mencerminkan pendapat resmi dari UNFPA dan DFAT.
Kekerasan berbasis gender (KBG) adalah istilah yang memayungi setiap perilaku membahayakan yang dilakukan terhadap seseorang berdasarkan aspek sosial termasuk gender yang dilekatkan oleh masyarakat yang membedakan antara laki-laki dan perempuan. KBG bisa terjadi pada siapa saja, termasuk laki-laki dan kelompok minoritas seksual. Walaupun begitu, dalam konteks KBG, kekerasan terhadap perempuan lebih banyak terjadi. Secara global, satu dari tiga perempuan pernah mengalami kekerasan—baik fisik maupun seksual sepanjang hidupnya.
Baca juga: Memahami Kekerasan Berbasis Gender
Mengapa laki-laki perlu terlibat dalam pencegahan KBG?
Norma gender mempengaruhi bagaimana kita hidup. Namun, beberapa norma gender itu berbahaya, mendasari ketidakadilan gender serta relasi kuasa yang tidak setara antara laki-laki dan perempuan. Untuk mengubah norma gender berbahaya di balik KBG, bukan hanya menjadi tugas perempuan semata, tetapi laki-laki perlu juga dilibatkan. Hal ini menjadi penting karena tidak saja laki-laki rentan menjadi pelaku kekerasan, laki-laki juga bisa menjadi korban dari nilai gender yang berbahaya, maupun menjadi korban KBG. Selain itu, laki-laki perlu dilibatkan karena bisa menjadi agen perubahan bagi lingkungan, baik itu menjadi contoh untuk keluarga maupun mengajak laki-laki lain melakukan perubahan dalam komunitas untuk menciptakan relasi yang lebih setara antara laki-laki dan perempuan
Terkait norma sosial yang berbahaya, menurut Michael Kaufman, laki-laki lebih rentan menjadi pelaku kekerasan karena 7 alasan utama: (1) budaya patriarki, (2) rasa berhak untuk mendapatkan keistimewaan dan kekuasaan , (3) laki-laki yang melakukan kekerasan dianggap “lumrah”, (4) kekerasan sebagai cara mengekspresikan emosi, (5) kasih sayang dan kepedulian yang dianggap bukan bagian dari laki-laki, (6) emosi dianggap sebagai kelemahan, serta (7) pengalaman masa lalu yang abusif …. Misalnya, norma seperti “laki-laki tak boleh menangis” membuat laki-laki tak bisa mengekspresikan perasaannya dan tak boleh terlihat lemah, sehingga mereka menghindari mencari bantuan ketika perlu. Padahal, sebagai manusia yang utuh laki-laki juga memiliki kebutuhan—termasuk mengekspresikan emosi, merasa rentan dan mencari bantuan, dan menghormati orang lain.
Baca juga: Toxic Masculinity
Jika melihat kompleksitas yang ada, maka tidak hanya peran perempuan ataupun laki-laki secara individu saja yang penting, namun keterlibatan seluruh komunitas sangat krusial untuk mengubah norma gender berbahaya. Kita perlu melakukan upaya-upaya penting untuk mencegah dan memberantas KBG, serta mendukung proses pemulihan penyintas. Hal ini bisa dimulai dari pendidikan yang adil gender dalam keluarga.
Terutama di tengah pandemi ini, kita menghabiskan banyak waktu dengan anggota keluarga kita, sehingga ada banyak kesempatan untuk saling mendukung serta memberikan edukasi. Dengan anak-anak, tentunya tidak semua usia cocok untuk diajak bicara soal fakta kekerasan. Namun, itu tidak berarti kita tak dapat membangun kebiasaan-kebiasaan penting untuk keadilan gender dalam keluarga: saling menghormati, berbagi peran dalam keluarga, melatih empati dan mengelola marah.
Berbagi peran dalam pekerjaan rumah
Mengubah norma gender yang berbahaya ini bisa dimulai dari pengasuhan yang adil gender di rumah. Misalnya, tidak membedakan tugas domestik hanya untuk (anak) perempuan. Salah satu ekspektasi gender dalam masyarakat adalah: perempuan mengurus rumah dan anak, dan laki-laki mencari nafkah. Sangat umum kita melihat, ibu atau anak perempuan bertugas memasak, membersihkan rumah, mengurus keperluan dan kebutuhan sehari-hari. Padahal, laki-laki juga bagian penting dari keluarga yang dapat berkontribusi pada menjaga kebersihan rumah dan membesarkan anak. Ada banyak manfaatnya terlibat dalam pekerjaan rumah: mengurangi tingkat stres, memperbaiki komunikasi dan kerja sama dalam keluarga, meningkatkan kualitas waktu, membantu perkembangan anak secara positif, belajar lebih bertanggung jawab atas diri sendiri, menjadi lebih mandiri, dan hemat waktu.
Baca juga: Lima Manfaat Peran Ayah dalam Tumbuh Kembang Si Kecil
Dengan berbagi peran dengan pasangan dan anak-anak dalam pekerjaan rumah tangga, kita dapat mengajarkan mereka untuk menghargai anggota keluarga, dan membebaskan mereka (baik laki-laki maupun perempuan) dari norma gender yang membatasi ruang kontribusi mereka. Selain itu, kebersamaan dan kepedulian akan membuat hubungan di suatu keluarga akan menjadi makin erat. Dalam situasi COVID-19 ini, dimana semua orang tinggal di rumah, pasangan, anak, adik perempuan, dan ibu kita mungkin memiliki lebih banyak pekerjaan domestik karena pekerjaan tersebut seringkali dilekatkan pada tugas perempuan. Yuk, kita saling berbagi peran dan tanggung jawab di rumah!
Baca juga: Banyak Manfaatnya, Yuk Mulai Sekarang Kita Berbagi Peran
Melatih empati
Mengembangkan empati untuk anak-anak itu penting agar mereka dapat berelasi dan bertindak dengan kasih—baik di rumah maupun di luar rumah. Dengan berempati, kita berusaha untuk memahami apa yang orang lain rasakan atau pikirkan. Sehingga jika diperlukan, kita juga dapat bergerak untuk membantu orang lain. Belajar berempati itu seperti belajar olahraga atau bahasa baru—membutuhkan banyak latihan,bimbingan, serta contoh positif (role model) dari ayah dan ibu. Dengan melihat dari perspektif orang lain secara rutin, refleks untuk berempati dapat dilatih. Kita bisa mencoba beberapa hal ini:
- Pembagian peran yang setara di rumah
Berbagi tugas domestik dapat membuat anak-anak belajar peka terhadap kebutuhan orang lain. Tentu, tugas yang diberikan ke anak-anak perlu disesuaikan dengan konteks usia dan kemampuan motoriknya.
- Pertemuan keluarga
Tanyakan mereka tentang teman mereka. Misalnya, untuk membahas pertengkaran dan isu penting seperti maskulinitas atau kekerasan yang dihadapi di sekolah. Dalam pertemuan seperti ini, berikan anak-anak kesempatan untuk bersuara dan mempertimbangkan
Baca juga: Terlibat Pekerjaan Domestik, Apa Saja Manfaatnya Bagi Laki-laki?
- perspektif orang lain. Dengarkan pendapat mereka, dan ajak mereka untuk mendengarkan pendapat lain.
- Berefleksi mengenai empati dan kepedulian
Anak-anak bisa diajak berdiskusi mengenai apa yang orang lain rasakan, butuhkan, dan inginkan melalui buku, TV atau kehidupan sehari-hari. Misalnya, tanyakan kepada mereka: apa yang karakter dalam cerita ini pikirkan atau inginkan? Atau, ketika ada karakter yang (tidak) menunjukkan kepedulian, kita dapat berdiskusi mengapa empati itu penting, dan kurangnya empati bisa berbahaya. - Mendiskusikan dilema etika
Kita bisa berdiskusi dengan anak mengenai dilema etika (benar atau salah), misalnya, “Apakah aku boleh ikut meledek temanku jika semua orang melakukannya?” Termasuk meluruskan pemahaman norma gender yang bersifat mengeksploitasi atau merendahkan laki-laki atau perempuan.
Baca juga: Membangun Empati Pada Persoalan Perempuan
Mengelola marah
Selama pandemi ini, ada banyak faktor yang meningkatkan stres kita. Ditambah dengan kesulitan dan keengganan kita (terutama laki-laki) mencari pertolongan kesehatan mental di tengah kesedihan dan frustrasi selama pandemi, dapat meningkatkan potensi melakukan kekerasan. Selain mencari bantuan untuk kesehatan mental jika memerlukannya, hal lain yang juga krusial adalah mengelola kemarahan dan stres saat berkomunikasi. Jika kita merasa marah hingga bisa bertengkar dengan pasangan atau anak-anak, ambil beberapa langkah berikut:
- Akui kemarahanmu—marah adalah emosi yang wajar, jangan disangkal.
- Mencoba untuk tenang.
Tarik napas dalam-dalam, kemudian keluarkan pelan-pelan; lakukan ini beberapa kali. Atau berhitung sampai 10.
Jika kita bisa menjauh dari situasinya, kita bisa ke ruangan lain sampai tenang. Lakukan hal-hal yang membuat kita tenang seperti mendengarkan musik, melihat ke luar jendela, lari di luar sebentar, mandi air hangat, atau bercerita kepada orang lain.
- Mengubah self-talk kemarahan jadi self-talk untuk ketenangan
Kita mengambil tanggung jawab atas kemarahan kita; yang membuat kita marah adalah apa yang kita katakan pada diri kita (self-talk). Maka, kita bisa keluar dari kemarahan melalui self-talk yang berbeda, misalnya dengan berusaha berempati pada pihak yang lain.
- Setelah merasa lebih tenang, kita dapat secara perlahan mulai mengatasi sumber masalah yang membuat kita marah tadi secara lebih konstruktif, termasuk mengkomunikasikannya dengan pasangan atau anggota keluarga lainnya.
Ingat, kekerasan tidak pernah menjadi solusi ketika kita marah.
Oleh: Natasha Santoso
Sumber:
https://mcc.gse.harvard.edu/resources-for-families/5-tips-cultivating-empathy
https://gbvaor.net/sites/default/files/2020-04/GBV%20AoR_key%20messages_Covid%20%26%20GBV.pdf
https://www.psychologytoday.com/intl/basics/empathy
http://yayasanpulih.org/2020/04/tips-mencegah-kdrt-terjadi-pada-masa-covid-19/
http://yayasanpulih.org/2018/11/laki-laki-berbagi-peran-domestik-apa-saja-sih-manfaatnya/
0 Comments
Leave A Comment