Tidak terasa sudah lebih dari satu tahun Indonesia dilanda pandemi Covid-19, dimana situasi saat ini seperti tanpa kepastian kapan kita terbebas dari pandemi, mengingat situasi akibat pandemi berimbas pada kehidupan sehari-hari di hampir semua sektor kehidupan, sehingga masa pandemi kerap disebut sebagai situasi sulit.
Dampak lain dari pandemi ialah kegiatan belajar mengajar, sejak pertengahan Maret 2020 lalu, kegiatan sekolah di Indonesia menerapkan sistem pembelajaran jarak jauh (PJJ), dimana anak-anak melakukan kegiatan belajar mengajar yang biasanya di sekolah, sampai saat ini masih terpaksa dilakukan dalam jaringan (daring) di rumah.
Kita tahu, model sekolah daring yang sebelumnya tidak pernah terpikirkan oleh kita, kini mau tidak mau kita lakukan, dan untuk sebagian orang sekolah daring menjadi persoalan tersendiri, misal, ada beberapa daerah yang tidak memiliki sinyal internet yang baik, keluarga yang tidak memiliki gadget dan tidak mampu membeli kuota internet, hingga beban ganda yang dialami orang tua, terutama para ibu dengan peran gender tradisionalnya, selain ia dibebani tugas domestik, juga mendapat pekerjaan tambahan menjadi “guru pembimbing” selama anaknya bersekolah secara daring.
Problematika yang terjadi akibat pandemi yang menciptakan masa sulit pada sebagian orang, terutama orang tua. Situasi sulit ini bisa menjadi salah satu penyebab depresi, dan menjadi tekanan tersendiri, yang mana hal itu berpotensi seseorang melakukan tindakan yang merugikan, misalnya melakukan kekerasan, dan dalam konteks rumah tangga, anak menjadi pihak yang rentan mengalami kekerasan dari kedua orangtuanya.
Sebagaimana hasil survei yang dilakukan oleh Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) tahun 2021, pada 25.164 anak di 34 Provinsi di Indonesia, menunjukkan bahwa bentuk kekerasan fisik yang paling banyak terjadi pada anak adalah dicubit 23%, dipukul 10%, dan dijewer 9%, pelaku kekerasan didominasi oleh ibu 60.4% lalu diikuti ayah 27.4%. Selain itu, untuk kekerasan psikis yang paling banyak terjadi pada anak dimarahi 56%, dibanding-bandingkan dengan anak lain 34%, dibentak 23%, dan dipelototin 13% dengan pelaku kekerasan juga didominasi oleh ibu 79.5% lalu diikuti ayah 42%. Mengenai itu, ibu lebih banyak menjadi pelaku kekerasan pada anak, tentu harus disikapi bijak dan melihat faktor yang melatar belakanginya, dan mengapa KPAI menemukan data seperti itu, sehingga kita tidak terjebak pada stigma apalagi generalisasi ibu lebih kejam dari ayah.
Stres pada Ibu yang mengalami beban ganda
Perubahan rutinitas yang mengharuskan bekerja dan belajar di rumah saja tidak jarang dapat menyebabkan konflik antar anggota keluarga karena perasaan bosan, penat, dan jenuh. Lalu ditambah lagi dengan peran gender tradisional, ibu menjadi pihak yang paling banyak melakukan pekerjaan, terutama bila ia juga bekerja mencari nafkah, selain harus menyelesaikan pekerjaan kantornya, ia juga harus melakukan pekerjaan domestik (rumah tangga), dan sekaligus membantu anak dalam PJJ secara daring, dimana situasi demikian biasa disebut sebagai beban ganda. Belum lagi karena alasan situasi ekonomi sedang sulit, banyak orang tua yang mengalami pengurangan gaji bahkan kehilangan pekerjaan mereka. Hal di atas tentu berpotensi menjadi penyebab stres orang tua.
Lalu, apa akibatnya bila tidak dapat mengelola stres, rasa frustasi, amarah, dan mudah tersinggung? Sayangnya beberapa orang tua melampiaskan rasa frustasinya kepada anak mereka dengan melakukan kekerasan. Kenapa anak sering kali menjadi target? Karena anak memiliki posisi yang paling lemah di keluarga.
Bahaya kekerasan bagi psikologis anak
Memiliki perasaan tidak berharga dan rendahnya kepercayaan diri
Anak akan merasa kehadirannya tidak berharga bagi keluarga mereka dan kehilangan rasa hormat pada diri sendiri yang berujung tidak memiliki kepercayaan yang baik ketika berada di lingkungannya.
Sulit mengatur emosi
Anak cenderung kesulitan dalam mengekspresikan emosinya dengan baik, akibatnya anak bisa menahan emosi atau bahkan mengeluarkannya dengan tidak sewajarnya. Seiring perkembangannya, ketika mereka dewasa juga dapat mengalihkan emosinya dengan penyalahgunaan alkohol atau konsumsi narkoba.
Sulit menjalin hubungan dengan orang lain
Penelitian menunjukkan bahwa anak yang merupakan korban kekerasan di masa lalunya akan mengalami kegagalan dalam membangun hubungan asmara dan pernikahaan saat dewasa. Hal ini dapat dikarenakan pengalaman menjadi korban membuatnya sulit percaya dengan orang lain, takut tidak disukai dan diterima orang lain, takut dikritik orang lain dan merasa tidak nyaman.
Memicu trauma dan masalah kesehatan mental lainnya
Trauma tersebut juga akan memicu berbagai masalah kesehatan mental seperti depresi, keinginan bunuh diri, gangguan stress pasca trauma (PTSD), serangan panik ketika mereka beranjak dewasa.
Meningkatkan risiko sebagai pelaku kekerasan selanjutnya
Apabila tidak ditangani dengan baik, anak yang merupakan korban kekerasan dapat cenderung menjadi pelaku kekerasan selanjutnya, seperti bullying.
Seperti yang kita ketahui, fenomena kekerasan pada anak seperti gunung es, yang artinya adalah jumlah laporan berada dibawah kasus yang sebenarnya terjadi. Ada beberapa upaya yang dapat dilakukan untuk mencegah peningkatan kasus kekerasan pada anak di masa pandemi:
Berbagi peran secara adil dalam keluarga
Keluarga dapat mengatur pembagian peran agar tidak ada salah pihak yang mendapatkan beban pekerjaan paling banyak di dalam keluarga. Berbagi peran antara suami, istri dan anak, selain dapat menciptakan keluarga dengan suasana yang positif dan saling memberi dukungan, juga membuat pekerjaan terasa lebih ringan dan relasi dalam keluarga menjadi lebih hangat.
Meningkatkan pengetahuan orang tua terkait pengasuhan anak
Walau sedang pandemi, orang tua, terutama ayah, tetap dapat meningkatkan referensi pengetahuan terkait parenting melalui ragam media, salah satunya dapat mengikuti seminar online tentang bagaimana ayah dapat terlibat dalam pengasuhan, terutama di masa pandemi.
Memperkuat komunikasi dan kerja sama antara orang tua dengan guru di sekolah
Orang tua dapat bertanya mengenai berbagai kesulitan yang dialami saat mendampingi anak melakukan PJJ. Penting juga bagi pihak sekolah untuk mensosialisasikan terkait PJJ dan mendampingi anak selama PJJ tanpa unsur kekerasan.[]
By: Athira
Ed: WS
Referensi
https://www.verywellfamily.com/as-parents-lose-their-jobs-child-abuse-is-increasing-5092167
0 Comments
Leave A Comment