Disclaimer: Tulisan ini dibuat sebagai bagian dari kampanye yang didukung oleh “Investing in Women (IW), sebuah inisiatif dari Pemerintah Australia. Semua yang tertulis di dalam artikel ini sepenuhnya merupakan buah pikir dari penulis Yayasan Pulih, dan tidak mencerminkan pandangan IW serta Pemerintah Australia.
Sebagai perempuan pekerja, apakah kamu pernah berada dalam kondisi yang membuatmu merasa sangat ingin berhenti dari tempat kerjamu? Mungkin karena lelah secara fisik dan mental? Atau karena kelimpungan membagi waktu antara pekerjaan dan keluarga?
Bagi seorang perempuan, keputusan untuk berhenti bekerja dapat menjadi persoalan yang cukup rumit. Pasalnya, keputusan yang diambil akan berdampak tak hanya bagi individu perempuan itu sendiri, melainkan juga bagi kehidupan orang-orang di sekitarnya. Oleh sebab itu, opsi yang tersedia pun terbatas.
Pada dasarnya, dalam konteks Indonesia, kita hidup di tengah norma masyarakat yang tidak mewajibkan perempuan untuk berperan sebagai pencari nafkah. Daripada bekerja di luar rumah, perempuan cenderung diarahkan untuk mengambil peran sebagai pengelola rumah tangga. Oleh karena itu, keputusan perempuan untuk berhenti bekerja relatif lebih mudah diterima dibandingkan laki-laki. Pada titik ini, keputusan perempuan untuk resign menjadi relatif lebih mudah karena didukung oleh keluarga.
Akan tetapi, pada sisi lain, ada perempuan yang sejak kecilnya memiliki impian untuk meniti karier dan sangat mencintai aktivitasnya di luar rumah. Ada pula keluarga yang semua keluarganya –laki-laki maupun perempuan— mau tak mau harus bekerja demi memenuhi kebutuhan rumah tangga yang tinggi, misalnya, karena terjerat hutang atau karena adanya kebutuhan hidup yang saat ini cukup tinggi. Bagi keluarga yang memiliki kondisi tersebut, keputusan resign tentunya akan membawa risiko kesulitan finansial yang besar.
Dilema yang juga kerap dialami seorang perempuan yakni ketika dihadapkan pada peran gender-nya untuk mengelola rumah tangga, tapi secara bersamaan juga harus melakoni peran sebagai pencari nafkah. Kalau sudah begini —tak hanya perempuan— setiap individu akan merasa terimpit dan bingung karena tidak memiliki banyak opsi. Apalagi bila memutuskan resign pada saat angka pengangguran tinggi karena pandemi dan banyak perusahaan memutuskan untuk menghentikan proses perekrutan.
Padahal, bisa jadi, Si Pekerja ini tengah berada pada kondisi yang membuatnya tak betah lagi bekerja. Mungkin karena ketidakcocokan gaji, bobot kerja yang berlebih, masalah dengan rekan kerja, problem kesehatan, dan lain sebagainya.
Baca juga: Tanda-tanda Kamu Kelelahan secara Mental dan Cara Mengatasinya
Ambil waktu untuk berpikir dan putuskan dengan bijak
“Duh, lalu harus bagaimana ya? Kerja itu capek banget, bikin emosi. Tapi kebutuhan di rumah kan jalan terus. Serba salah!”
Sebaiknya hindari mengambil keputusan saat sedang emosional. Lebih baik luangkan waktu untuk berpikir jernih sehingga kita tidak menyesalinya di kemudian hari. Sebab resign belum tentu menyelesaikan masalah kita. Sebaliknya, tak sehat juga bila terus memaksakan diri bertahan di tempat kerja bila akibatnya kontraproduktif bagi diri kita.
Membantu kamu yang sedang dilema, cobalah jawab terlebih dahulu pertanyaan-pertanyaan berikut; Mengapa dulu saya melamar pekerjaan ini? Mengapa pekerjaan ini penting untuk saya? Apa manfaat dari pekerjaan ini bagi kehidupan personal saya? Faktor apa yang menyebabkan saya ingin resign? Langkah apa yang sudah saya tempuh untuk menyelesaikan masalah ini? Apakah masalah tersebut dapat terselesaikan bila saya keluar dari tempat kerja ini? Bagaimana dampak keputusan tersebut bagi kualitas hidup saya dan keluarga?
Sembari menjawab pertantaan di atas, Yayasan Pulih akan membantu kamu mengingat kembali apa manfaat bekerja profesional, beserta risikonya, sebagai bahan pertimbangan kamu. Semoga bisa membantu kamu yang sedang bimbang ya!
Berikut adalah manfaat yang biasanya akan kamu dapatkan dengan bekerja:
- Mengaplikasikan ilmu dan berkontribusi
Apapun jenjang pendidikan terakhir kita, setiap orang memiliki ilmu yang siap untuk dibagikan dan diaplikasikan di tempat kerja. Mengaplikasikan ilmu, tentunya akan membuat kita merasa berguna, serta mendorong diri ini untuk berkontribusi lebih banyak, bagi lingkungan dan komunitas di sekitar kita. Bukankah menyenangkan bila bisa berdampak bagi orang lain? - Mengembangkan potensi diri
Ada begitu banyak dinamika pekerjaan yang bisa mengasah kualitas diri kita. Saat berhadapan dengan konflik, misalnya, kita akan belajar tentang pentingnya komunikasi, kerja tim, regulasi emosi, dan teknik pengambilan keputusan. Kita pun akan semakin dewasa dan memiliki banyak pengalaman menghadapi ragam problem.Tak hanya soft skill, kita juga bisa mempelajar ragam keterampilan dunia kerja. Keterampilan ini juga bermanfaat di rumah tangga lho! Misalnya, pembukuan sederhana, manajemen event, atau pertukangan.
- Mencukupi kebutuhan keluarga
Tak dapat dipungkiri, kecukupan finansial adalah salah satu alasan utama mengapa seorang individu perlu bekerja. Dengan memperoleh upah, kebutuhan hidup keluarga pun terjamin. Dengan demikian, ada perasaan puas karena telah membantu memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari.Selain itu kita juga merasa tenang karena bisa membayar cicilan, tagihan listrik, makanan bergizi setiap hari, dan menabung sedikit demi sedikit untuk hari tua. Kecukupan finansial juga berarti berdaya dan memiliki independensi.
- Menjaga ritme produktif dan memunculkan rasa percaya diri.
Bekerja membantu kita untuk tetap aktif berkarya. Tak hanya fisik, daya ingat pun terlatih setiap hari. Dengan tetap produktif, kita akan merasa hidup ini terus berjalan dan berkembang. Ada kepuasan dalam diri karena telah menggunakan usia dengan aktivitas yang bermakna. Kepercayaan diri pun tumbuh.
Selain memberikan manfaat, memutuskan untuk bekerja juga perlu diimbangi dengan komitmen untuk melakukan sejumlah hal berikut:
- Manajemen waktu dan tenaga
Sebuah institusi tentu saja akan meminta pekerjanya bertanggung jawab menyelesaikan tugas dalam jangka waktu tertentu, sesuai dengan kesepakatan kedua belah pihak. Oleh karena itu, sudah menjadi kewajiban kita untuk pintar-pintar membagi waktu antara pekerjaan dengan aspek kehidupan yang lain. Misalnya: 9 jam untuk bekerja, 2 jam untuk personal quality time, 5 jam untuk keluarga, 8 jam untuk beristirahat, dan seterusnya.Oleh karena itu, risiko yang mungkin muncul adalah kesulitan membagi waktu, kelelahan, dan pikiran yang bercabang. Jangan lupa untuk mengkomunikasikan komitmen pekerjaan kepada keluarga, dan sebaliknya. Semoga dengan demikian, keluarga akan memaklumi kesibukan kerja dan kantor bisa memberikan jeda waktu yang cukup untuk kita memulihkan stamina bersama keluarga.
- Patuh pada budaya organisasi, sistem, dan tuntutan institusi
Setiap institusi memiliki budaya, cara kerja, dan sistem kerjanya sendiri. Ketika sudah masuk ke dalam lingkungan tersebut, maka sudah menjadi kewajiban kita untuk mengikuti aturan yang sudah disepakati pada saat penandatanganan kontrak kerja. Seperti kata pepatah, di mana bumi diinjak, di situ langit dijunjung.Karena setiap institusi memiliki kekhasan, maka pekerja biasanya memerlukan waktu untuk beradaptasi dengan nilai, norma, dan segala aturan yang berlaku di situ. Bila masih mengalami kesulitan dan merasa perlu mendiskusikan aturan yang berlaku, kita dapat menyampaikan opini dan saran kepada atasan di tempat kerja.
- Berkompromi dengan ragam problem dan situasi
Di lapangan, kita akan menjumpai banyak orang dengan ragam karakter yang mesti disikapi berbeda. Selain itu, kita akan kerap bertemu dengan sejumlah tugas dan masalah. Tantangan ini tentunya bukan untuk dihindari, melainkan dihadapi dan ditangani sesegera mungkin. Pada poin ini, risiko yang mungkin akan kita hadapi adalah lelah dan rasa tertekan. Perasaan itu sungguhlah wajar.Untuk dapat menyelesaikan semua masalah dan tugas tersebut, ada kalanya kita perlu mengesampingkan ego, pendapat, dan preferensi pribadi untuk menemukan solusinya. Dari waktu ke waktu, kemampuan kita untuk menyelesaikan problem secara lebih efektif pun kian terasah.
Keberterimaan atas tantangan, tuntutan, dan risiko yang akan kita hadapi di tempat kerja dapat membantu kita bersikap profesional. Manfaat bisa didapat, performa kita pun bisa meningkat, dan kita bisa mengantisipasi ragam tantangan di kemudian hari.
Jadi, apakah saya harus resign?
Keputusannya tentu saja akan kembali kepada pertimbangan serta evaluasi masing-masing individu setelah menjawab pertanyaan di atas. Perlu juga digali mengenai motif/tujuan kita bekerja, apa yang kita ingin capai, bagaimana perilaku profesional kita di tempat kerja? Jika sudah tidak sesuai dengan tujuan awal bekerja, mungkin sudah waktunya kita berpikir untuk keluar dari pekerjaan saat ini. Apalagi jika sampai berdampak pada turunnya motivasi, performa, dan memperburuk relasi dengan orang lain.
Memutuskan untuk keluar atau tidak dari tempat kerja adalah pilihan yang sangat personal. Jika kamu sudah memikirkannya matang-matang, mendiskusikan dampaknya dengan orang terdekat, ambillah keputusan yang terbaik untukmu!
Meski keputusanmu akan berdampak pada banyak orang, tetap kamu lah yang paling tahu kondisi diri dan apa yang terbaik untukmu. Memang selalu ada tantangan pada setiap pilihan hidup kita, mulai dari tidak didukung orang terdekat hingga bayang-bayang ketakutan akan risikonya. Tapi Yayasan Pulih yakin kamu memilih sebuah opsi bukannya tanpa pertimbangan. Kamu pasti bisa menempuhnya! Sayangi dirimu, jangan salahkan dirimu sendiri ya.[]
Baca juga: Self Loathing, Sampai Kapan Kita Membenci Diri Kita Sendiri?
0 Comments
Leave A Comment