Disclaimer: Tulisan ini dibuat sebagai bagian dari kampanye yang didukung oleh “Investing in Women” (IW), sebuah inisiatif dari Pemerintah Australia. Semua yang tertulis di dalam artikel ini sepenuhnya merupakan buah pikir dari penulis Yayasan Pulih, dan tidak mencerminkan pandangan IW serta Pemerintah Australia.

Sekali waktu, Tari –bukan nama sebenarnya– pernah merasa gusar usai membaca sebuah opini yang mengkritik perempuan modern yang tak lagi bangun pagi, lebih suka jajan daripada memasak untuk keluarganya, dan memilih berkarier daripada mengurus suaminya.

“Seakan-akan menjadi perempuan itu ya harus tinggal di rumah dan ngurus rumah tangga. Kalau mau dinilai sebagai perempuan bener, ya pakemnya harus begitu. Kalau keluar dari pakem, udah deh, salah mulu di mata orang lain. Jadi perempuan jangan lupa keluarga lah, jangan terlalu mandiri lah, nggak patut. Bukannya bagus ya kalau mandiri? Jadi nggak ngerepotin orang lain. Kalau nggak punya duit, memang yang komentar itu mau bantu?”

Sekelebat, Tari teringat pada orangtuanya. Terlebih kepada ibunya. Sebagai seorang ibu pekerja yang berkontribusi membiayai keluarga, Ibu Tari tak sempat memasak untuk dua orang anaknya. Sejak kecil, Tari dan adiknya diasuh oleh Asisten Rumah Tangga (ART). Mereka menyantap hidangan katering dari warung makan sekitar rumah mereka. Meski begitu, Tari dan adiknya tumbuh baik. Sehat dan cerdas.

Opini tersebut menyakiti hati Tari. Karena bisa jadi ibunya adalah salah satu perempuan yang dimaksud oleh opini tersebut. Tari merasa, sungguh tak adil bila perjuangan ibunya selama puluhan tahun menghidupi keluarga, disederhanakan sebagai perilaku perempuan modern yang terlalu mandiri dan tak lagi mempedulikan keluarga. Bahkan bapaknya pun tak pernah menyalahkan Ibu Tari. Ia malah kerap melakukan pekerjaan rumah jika pulang kerja mendului istrinya.

Apa itu Norma Gender?
Opini yang sedang Tari hadapi merupakan sebagian dari apa yang disebut sebagai norma gender. Unicef mendefinisikan norma gender sebagai sebuah perangkat norma sosial yang mengatur, menetapkan standar ideal, dan harapan mengenai cara berperilaku gender tertentu. Norma gender biasanya terbentuk karena kesepakatan umum, berlaku luas pada sebuah lingkup lingkungan sosial selama periode tertentu, dan terinternalisasi sejak usia dini.

Norma gender inilah yang kemudian menentukan bagaimana idealnya seorang perempuan atau laki-laki bertindak. Apa yang diharapkan dilakukan oleh perempuan, yang sebaiknya tak dilakukan laki-laki, yang tabu bagi perempuan, pakaian apa yang harus dikenakan laki-laki, dan seterusnya. Mulai dari yang sifatnya tampak secara fisik seperti cara berpakaian, potongan rambut, dan gerak-gerik. Hingga aspek internal seperti karakter dan pilihan profesi.

Baca Juga: Kenapa Laki-laki Dilarang Menangis?

Norma pada dasarnya berperan dalam menjaga stabilitas sosial dengan cara mengarahkan anggota komunitas untuk berperilaku sesuai koridor tertentu. Norma lah yang menjaga setiap individu mematuhi aturan tak tertulis seperti mengucap salam, antre di minimarket, memberikan duduk kepada lansia, dan lain sebagainya.

Untuk norma gender sendiri, biasanya laki-laki mendapatkan peran sebagai pencari nafkah keluarga, sementara perempuan pemelihara keluarga. Laki-laki dianggap tidak umum menggunakan rok, sementara perempuan lebih disukai jika berperilaku lemah-lembut, mengenakan pakaian yang feminin, dan seterusnya.

Meski begitu, norma gender dapat berbeda antara satu komunitas dengan komunitas lainnya. Misalkan pada masyarakat Minang yang menganut sistem kekerabatan matrilineal, perempuan memiliki peran lebih besar dibanding laki-laki dalam hal mengambil keputusan. Berbeda pula dengan masyarakat Batak yang patrilineal, atau Bugis yang mengenal 5 identitas gender dalam adatnya.

Implikasi Norma Gender
Pada dasarnya, norma gender diperlukan guna memastikan masyarakat mengambil peran yang diperlukan dalam rangka menunjang keberlanjutan hidup sehari-hari. Meski begitu, norma gender juga berpotensi membuat anggota komunitas merasa tak nyaman dan dilema. Dan itulah yang dirasakan oleh keluarga Tari. Kenapa ya? Kok bisa?

Setiap rumah tangga dan individu memiliki kondisi dan dinamikanya masing-masing. Ada keluarga yang memiliki sosok ayah yang berpenghasilan besar, dan ada pula yang tidak. Ada perempuan yang memutuskan untuk fokus berkarier daripada berkeluarga. Ada laki-laki yang lebih suka menjadi make up artist daripada belajar teknik mesin. Dan lain sebagainya.

Pada konteks ini, pilihan orang-orang tersebut tidak sesuai dengan norma gender yang berlaku. Ketidaksesuaian opsi hidup dengan norma dapat memicu terjadinya konflik.

Sebagai contoh, pada kisah Tari, kondisi ekonomi keluarga yang serba kekurangan membuat ibunya tidak memiliki opsi selain mengambil peran ganda sebagai seorang ibu dan pekerja. Padahal, bisa jadi Ibu Tari adalah sosok perempuan yang secara natural dapat memenuhi norma ideal seorang perempuan andaikata suaminya memiliki penghasilan yang cukup.

Di mata masyarakat, Ibu Tari bisa jadi adalah seseorang perempuan yang menyimpang dari norma lantaran menempuh opsi menitipkan anaknya pada ART. Tetapi sesungguhnya ia berada pada sebuah dilema: jika tidak bekerja, maka saya akan kesulitan membayar SPP anak, cicilan, mesti ekstra berhemat sehingga anak-anak saya tidak bisa makan makanan bergizi. Dan lain sebagainya

Mari kita lihat contoh lain yang biasanya terjadi pada laki-laki. Ada begitu banyak norma gender masyarakat kita yang mengharapkan laki-laki berperan sebagai breadwinner. Pencari nafkah, penopang, dan penanggung jawab keluarga. Akan tetapi, ada laki-laki yang terlahir disabilitas sehingga sulit mendapat pekerjaan. Ada laki-laki yang yatim sejak kecil dan masih membutuhkan bantuan untuk menghidupi adik-adiknya. Apakah lantas kita ingin melabeli mereka sebagai laki-laki yang tak bertanggung jawab?

Pada dasarnya, setiap orang ingin diterima oleh komunitas/masyarakat di sekitarnya. Karenanya ia akan berusaha semaksimal mungkin memenuhi ekspektasi ideal berdasarkan gender-nya. Ada harga diri yang perlu dijaga, ada rasa malu yang bakal dihadapi bila ia tidak berhasil memenuhi tugasnya sebagai seorang perempuan dan laki-laki.

Oleh karena itu, Ibu Tari akan berupaya semaksimal mungkin mencari nafkah sembari tetap menjalankan perannya sebagai sosok perempuan yang bertanggung jawab sesuai norma yang berlaku. Ia harus menyesuaikan dirinya norma gender tak hanya di lingkungan rumah, tetapi juga di lingkungan kerja.

Sementara itu, laki-laki disabilitas mungkin akan bekerja sebagai resepsionis, fotografer, sekaligus pedagang, untuk menghidupi keluarganya. Ada peran ganda yang mungkin akan dilakukan oleh setiap individu yang tentunya dapat membuat kelelahan baik fisik maupun mental.

Baca Juga: Memahami Beban Ganda dan Stres pada Perempuan Pekerja

Meski sudah melakukan upaya sekuat tenaga, baik Ibu Tari maupun Laki-laki Disabilitas pada contoh di atas masih berisiko memperoleh kritik dan gunjingan. Pada kondisi ekstrem, bahkan orang lain dapat merasa memiliki hak dan legitimasi untuk melakukan pemaksaan kepada individu gender tertentu untuk menjalankan peran sesuai norma gendernya.

Oleh karena itu, segregasi peran yang kaku sesuai norma gender dapat mengakibatkan individu merasa serba bersalah, tak berguna, gagal, malu, frustasi, dan putus asa.

Jangan Khawatir, Ada Jalan Keluarnya!
Lalu, bagaimana sebaiknya kita memandang norma gender? Tentu saja dengan penerapan yang kontekstual. Kita perlu menyadari bahwa setiap orang memiliki kondisi yang unik yang memerlukan cara penerapan norma gender yang berbeda.

Jika seorang Ibu sedang mengalami baby blues, ada Ayah yang bersedia begadang mengganti popok dan menidurkan anak. Bila ada seorang anak laki-laki yang belum mendapatkan pekerjaan yang layak, maka kakaknya perempuan juga bisa membantu mencari nafkah untuk memenuhi kebutuhan keluarga.

Seorang suami dapat berbincang kepada istrinya mengenai kondisi kesehatan yang tidak memungkinkan untuk memiliki anak, lalu keduanya bersepakat untuk mengadopsi. Seorang perempuan dapat sekolah setinggi-tingginya dan menunda pernikahan supaya ilmunya dapat digunakan untuk kesejahteraan masyarakat. Kuncinya adalah di komunikasi dan kerja sama.

Jika disimpulkan berikut adalah yang bisa lakukan sebagai individu:

  • Komunikasikan kondisi/keinginan/kesulitan yang dihadapi kepada orang terdekat. Berfokuslah menemukan solusinya bersama-sama.
  • Menyepakati bahwa perlu ada kerja sama dengan partner/orang terdekat supaya beban yang dipikul dapat dibagi, meski beban tersebut identik dengan peran salah satu gender saja.
  • Menyediakan diri untuk saling membantu.

Selain itu, ini yang bisa kita lakukan sebagai bagian dari masyarakat:

  • Hindari memberi penilaian kepada orang lain mengenai pilihan hidup yang mereka tempuh.
  • Menghormati, mendukung, dan mengapresiasi peran orang lain. Serta membantu sesuai kapasitas kita.

Seperti yang telah dijelaskan di atas, norma gender relatif berlaku pada kurun waktu atau periode tertentu. Maka, norma gender sebenarnya dapat berubah perlahan-lahan seiring dengan perubahan zaman. Kita bisa menjadi salah satu penggubahnya dengan pertama-tama memulainya dari kita. Berani mengkomunikasikan kendala yang dihadapi dan jadilah panutan bagi orang-orang di sekitar kita.

Semoga dengan demikian, di kemudian hari, norma gender dapat kian ramah bagi individu-individu yang memerlukan solusi bagi dinamika kehidupannya. []