“Kamu kan laki-laki, masa nangis?”
“Laki-laki itu harus kuat, sedalam apapun dukamu jangan tunjukan”
“Jadi laki-laki jangan takut sama perempuan”
Beberapa dari kita mungkin sering mendengar perkataan semacam itu, bukan? Bahkan sejak kecil kita diajarkan bagaimana laki-laki seharusnya berekspresi, yakni yang menunjukan dirinya sebagai sosok yang kuat dan pemberani yang diinterpretasikan dengan penampilan macho, dan dominan dalam berelasi.
Lalu, adakah konsekuensi dari konstruksi gender tradisional yang demikian bagi laki-laki? Apakah upaya pembuktian-pembuktian yang dilakukan oleh laki-laki agar ia terlihat selalu kuat sejalan dengan nuraninya sebagai laki-laki? Atau sebaliknya, pembuktian menjadi laki-laki haruslah super power justru membuat ia terjerumus kedalam toxic masculinity?
Toxic masculinity bukan hanya tentang bagaimana laki-laki berperilaku, namun sebaliknya, memaksakan perilaku laki-laki untuk bertindak berdasarkan cara tertentu yang mungkin sebenarnya dirasa tidak nyaman. Dengan kata lain, merupakan pandangan sempit tentang peran gender dan sifat laki-laki. Menurut Morin (2020), ideologi maskulinitas tradisional memiliki tiga komponen inti, yaitu:
- Ketangguhan: Merupakan pandangan bahwa laki-laki harus kuat secara fisik dan emosional, tidak berperasaan, dan berperilaku agresif.
- Anti-feminitas: Melibatkan pandangan bahwa laki-laki harus menolak apa pun yang dianggap femininity, seperti menunjukkan emosi atau menerima bantuan.
- Kekuasaan: Merupakan asumsi bahwa laki-laki harus bekerja untuk mendapatkan kekuasaan dan status (sosial dan finansial) sehingga mereka bisa mendapatkan rasa hormat dari orang lain.
Baca juga: Toxic Masculinity
Apa penyebab munculnya Toxic Masculinity
Toxic masculinity umumnya terjadi karena adanya pemisahan peran gender secara biner, dimana peran gender yang kaku, selain membatasi juga seksis pada orang-orang yang dianggap tidak memenuhi standar maskulinitas yang telah dibakukan oleh norma gender tradisional. Pemisahan peran gender antara laki-laki dan perempuan telah membatasi ekspresi manusia berdasarkan jenis kelamin, yakni berupa ketabuan dan larangan dalam berperilaku (dalam O’Neil, 1990). Penelitian menunjukkan bahwa laki-laki mengalami konflik yang terkait dengan empat domain peran gender laki-laki, antara lain:
- Kesuksesan, kekuasaan, dan kompetisi; laki-laki cenderung difokuskan secara tidak proporsional pada pencapaian atau berada di posisi kekuasaan.
- Emosionalitas; mengalami konflik dalam mengekspresikan kenyamanan dan mengalami emosi yang rentan.
- Membatasi diri dengan tidak berperilaku yang menunjukan kasih sayang; mengalami konflik dalam mengekspresikan perhatian dan sentuhan kasih sayang.
- Konflik antara pekerjaan dan hubungan keluarga; laki-laki mengalami distress karena ketidakseimbangan, di satu sisi mendapat peran sebagai pencari nafkah utama dan di sisi lain memiliki keterbatasan diri.
Pengaruh budaya kita yang menuntut laki-laki harus kuat hingga tidak boleh menangis, secara tidak sadar telah membuat sebagian besar laki-laki berperan sesuai standar yang ada, atau dapat dikatakan sebagai norma sosial. Nadia (2020) mengatakan, norma sosial adalah sebuah standar sosial atau ekspektasi tidak terlihat yang diikuti agar seseorang dapat merasa diterima dalam situasi yang diberikan, dan membuat kita merasa tidak nyaman ketika kita tidak melakukan norma-norma tersebut. Dengan adanya gagasan ini, membuat laki-laki memilih untuk menekan emosinya daripada harus memperlihatkan kepada orang lain karena takut jika mendapatkan penilaian yang buruk terhadap dirinya. Tuntutan menjadi orang yang selalu kuat juga membuat laki-laki kehilangan aspek kehidupan yang seharusnya tersedia untuk semua orang tanpa memandang jenis kelaminan. Hal yang paling buruk, toxic masculinity dapat mendorong kekerasan karena menganggap laki-laki lebih mendominasi (dalam Weiss, 2016).
Baca juga: Gangguan Body Image pada Laki-laki
Dampak yang terjadi ketika Toxic Masculinity muncul
Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh American Psychological Association (APA) selama lebih dari 40 tahun, menunjukkan bahwa maskulinitas tradisional ini memiliki dampak berbahaya terhadap kondisi psikologis laki-laki. Mengingat akibat dari menekan emosi dapat berpotensi memicu stres dan depresi. Satu studi dari Social Psychology and Personality Science, menemukan bahwa menekan emosi juga dapat menyebabkan agresi yang dapat menghalangi mereka menjalin hubungan yang sehat bersama pasangan atau anak-anak mereka. Selain itu, menurut American Psychological Association (dalam Weiss, 2016), dibandingkan dengan perempuan, laki-laki lebih sedikit untuk mencari bantuan mengenai kesehatan mental mereka, yang mungkin disebabkan oleh standar maskulinitas dan memaksa mereka untuk menahan masalah.
Mengatasi Toxic Masculinity
Merasakan sedih, kecewa ataupun gagal merupakan suatu hal yang wajar dan tidak dapat dihindari oleh setiap orang, termasuk laki-laki. Maka dari itu, mencoba untuk mengubah stigma gender terhadap laki-laki merupakan tindakan yang bijaksana. Berikut cara yang dapat dilakukan:
1. Mencari pertolongan bukan berarti lemah
Sampaikan kepada laki-laki bahwa tidak ada salahnya untuk menunjukkan perasaan sedih hingga menangis, serta perlu untuk menceritakan apa yang sedang dirasakan kepada orang terdekat (keluarga, teman, pasangan).
2. Setiap orang bebas melakukan apapun
Sejak kecil, norma gender tradisional telah mengkotak-kotakan peran perempuan dan laki-laki, dan setelah kita menyadarinya bahwa konstruksi sosial adalah bentukan manusia yang dapat diubah, kita dapat membebaskan diri untuk memilih apa yang disukai tanpa merasa terpasung oleh norma gender tradisional yang membatasi, dan hal tersebut (menentukan pilihan sendiri) juga dapat membantu kita lebih percaya diri.
3. Menempatkan laki-laki dan perempuan secara setara
Menciptakan kesetaraan gender dapat dimulai dengan menyatakan bahwa laki-laki dan perempuan memiliki hak dan kesempatan yang sama, sehingga diharapkan dapat saling menghargai satu sama lain dan tidak muncul perasaan lebih mendominasi.
Tuntutan laki-laki harus selalu terlihat kuat, dan tidak boleh mengekspresikan perasaannya karena hal itu menunjukkan sisi kelemahan, merupakan hal yang manipulatif karena membohongi diri sendiri. Selain itu, dalam konteks norma gender tradisional, laki-laki juga mempraktikkan relasi yang dominan terhadap perempuan, dan menghakimi laki-laki yang dianggap tidak memenuhi standar maskulinitas tradisional, merupakan nilai-nilai yang yang merugikan. Dengan demikian dapat kita lihat bahwa nilai-nilai toxic masculinity selain merugikan diri sendiri juga merugikan orang lain.[]
Baca juga: Maskulinitas Positif
By: Mary Swarahapsari
Ed: WS
Daftar Referensi:
American Psychological Association, Boys and Men Guidelines Group. (2018). APA Guidelines for Psychological Practice with Boys and Men. Diakses melalui https://www.apa.org/about/policy/boys-men-practice-guidelines.pdf
Morin, A. (2020). What is Toxic Masculinity?. Verywellmind.com. Diakses melalui https://www.verywellmind.com/what-is-toxic-masculinity-5075107
Nadia, F. (2020). Toxic Masculinity. Yayasanpulih.org. Diakses melalui http://yayasanpulih.org/2020/02/toxic-masculinity/
Weiss, S. (2016). 6 Harmful Effect of Toxic Masculinity. Bustle.com. Diakses melalui https://www.bustle.com/articles/143644-6-harmful-effects-of-toxic-masculinity
0 Comments
Leave A Comment