Disclaimer: Tulisan ini dibuat sebagai bagian dari kampanye yang didukung oleh “Investing in Women” (IW), sebuah inisiatif dari Pemerintah Australia. Semua yang tertulis di dalam artikel ini sepenuhnya merupakan buah pikir dari penulis Yayasan Pulih, dan tidak mencerminkan pandangan IW serta Pemerintah Australia.
“Anak laki-laki kok mainnya masak-masakan? Besok Om belikan mobil-mobilan ya!”
“Anak perempuan kok pakai baju warna biru. Pakai warna pink dong. Biar cantik.”
Sahabat Pulih, kita mungkin tak asing dengan dialog di atas. Komentar tersebut bisa jadi pernah ditujukan kepadamu saat kecil. Atau bisa juga ditujukan kepada anak-anak lain di sekitar kita.
Jika berefleksi lebih jauh, pada kira-kira apa yang dulu kita rasakan ketika mendengar komentar serupa? Bagaimana kita bisa bersikap sebagai kakak, orangtua, paman/bibi, tetangga terhadap komentar semacam itu? Memangnya bagaimana seharusnya kita mendidik anak-anak di sekitar kita tentang apa yang boleh dilakukan dan tidak boleh dilakukan oleh anak laki-laki dan perempuan?
Periode Mengenal Gender
Sahabat Pulih, ketika seorang anak lahir, ia belum mengenal jenis kelaminnya ataupun peran gendernya. Meski demikian, setiap anak berhak dan perlu mengetahui identitasnya. Oleh karena itu, setiap orangtua atau wali memiliki tugas untuk membantu anak mengenali identitas kelamin sendiri dan gendernya, secara bertahap.
Psikolog Yayasan Pulih menyarankan bahwa anak dapat mulai dikenalkan pada jenis kelaminnya sejak usia 3 tahun atau sejak anak dapat mengenali dirinya sebagai subjek. Sebagai “aku”. Lebih muda lagi, seorang anak sebenarnya dapat mulai mengenal anatomi tubuhnya sendiri beserta fungsinya lewat tolilet training. Dengan mengetahui bagaimana ia buang air besar dan kecil, ia akan berlatih mengendalikan fungsi alat kelaminnya.
Kemudian, seiring bertambahnya usia, dengan sendirinya anak dapat mempertanyakan perbedaan fisik antara ayah, ibu, dan kawan-kawannya. Jika sudah demikian, anak juga perlu dipandu untuk mengetahui apa itu laki-laki dan perempuan. Secara bersamaan, anak juga akan berkenalan dengan norma gender.
Bagaimana Cara Mengenalkan Norma Gender pada Anak?
Mungkin di antara Sahabat Pulih, ada yang kebingungan. “Mengenalkan jenis kelamin ke anak itu susah lho. Apakah pantas bicarakan dengan anak di bawah umur? Apalagi tentang norma gender. Aduh itu kan konsep yang sulit dipahami.”
Sahabat Pulih, sesungguhnya pengenalan jenis kelamin dan norma gender dapat diberikan bertahap sesuai usia anak. Metodenya pun disesuaikan dengan kemampuan berkomunikasi dan daya pikir anak.
Misalnya pada anak usia di bawah 3 tahun, kita dapat memulai edukasi dengan mengenalkan organ vital (penis/vagina/anus) yang mereka miliki dan bagian tubuh mana saja yang tak boleh disentuh oleh orang lain. Pendidikan sejak dini ini juga akan membantu anak melindungi dirinya sendiri dari ancaman kekerasan seksual.
Untuk usia sampai dengan 5 tahun, anak biasanya mulai dikenalkan pada peran masing-masing gender. Bisa dengan contoh-contoh sederhana, seperti ketika mengajarkan mereka untuk mengenakan pakaian secara mandiri. Misalnya, “Kalau anak laki-laki biasanya pakai celana panjang atau pendek. Sedangkan kalau anak perempuan, bisa pakai celana maupun rok.” Anak pun dapat diajarkan dengan metode membaca buku cerita maupun melalui permainan role play. Tak jarang kita jumpai anak berusia 4 atau 5 tahun bermain peran sebagai guru, perawat, tentara, dan sebagainya. Pada masa-masa inilah mereka akan mengenal tentang berbagai macam peran yang dapat dilakukannya kelak, baik sebagai perempuan maupun sebagai laki-laki.
Lebih besar lagi, pada usia SD dan seterusnya, diskusi mengenai jenis kelamin dan gender bisa berkembang sangat pesat. Mereka sudah lebih peka menangkap perbedaan peran gender hanya berdasarkan pengalaman mereka sehari-hari. Misalnya, mereka mungkin akan lebih sering melihat ayah mengajak anak-anaknya mencuci mobil, sementara ibu lebih sering mengajak anak-anaknya berbelanja ke pasar. Bisa juga melalui pengalaman mereka di sekolah, dimana mereka mungkin akan lebih banyak melihat laki-laki menjadi ketua kelas, sementara temannya yang perempuan mungkin lebih banyak menjadi wakil ketua kelas atau bendahara kelas.
Pengenalan Peran Gender Tradisional VS Kontekstual
“Kenapa cuma perempuan yang boleh pakai rok, Mah?”
“Aku mau jadi pemadam kebakaran. Memangnya cuma laki-laki ya Pah, yang bisa jadi firefighter?”
“Aku mau bantu Mama masak dong! Aku bosan bantuin Papa cuci mobil terus.”
Sahabat Pulih, pada periode tertentu mungkin kita akan berjumpa dengan pertanyaan-pertanyaan tersebut dari anak. Kita sendiri sebagai pendidik pun kadang suka dibuat ragu karenanya. “Duh bagaimana ya? Boleh nggak sih anak laki-laki saya ajak belanja ke pasar? Apa nanti kata orang, kalau anak perempuan saya lebih memilih ekstrakulikular robotik, sementara kakak laki-lakinya lebih memilih tata boga?”
Untuk bisa menjawabnya, kita perlu terlebih dahulu memahami apa itu definisi norma gender.
Unicef mendefinisikan norma gender sebagai sebuah perangkat norma sosial yang mengatur, menetapkan standar ideal, dan harapan mengenai cara berperilaku gender tertentu. Norma gender biasanya terbentuk karena kesepakatan umum, berlaku luas pada sebuah lingkup lingkungan sosial selama periode tertentu, dan terinternalisasi sejak usia dini. Norma gender tidak statis atau universal dan berubah dari waktu ke waktu. Dengan mengetahui dan memahami norma gender, anak diharapkan dapat berperilaku sesuai dengan norma yang ditetapkan oleh lingkungan di sekitarnya dan dapat membantunya diterima dalam kehidupan bermasyarakat.
Meski demikian kita perlu menyadari bahwa setiap individu amatlah unik dan sifat gender yang cair serta dapat berubah dari waktu ke waktu. Demikian juga anak dan keponakan kita. Oleh karena itu, mengapa tak membekali mereka dengan ragam keterampilan di luar peran gender tradisionalnya?
Misalnya, keterampilan memasak sesungguhnya perlu dipelajari tak hanya oleh perempuan, tetapi juga anak laki-laki karena kebutuhan pangan amatlah mendasar (bahkan dibutuhkan setiap hari!) Dengan mengajak anak laki-laki ikut terlibat dalam urusan rumah tangga, anak tersebut dapat hidup mandiri ketika kelak ia hidup ngekos atau hidup merantau.
Baca Juga: Toxic Masculinity, Ketika Laki-laki Dituntut Harus Selalu Kuat
Demikian juga tak ada salahnya mengajarkan anak perempuan keterampilan montir atau bela diri. Bela diri dan kemampuan mengoperasikan mesin amatlah diperlukan oleh siapapun dalam situasi genting, kan? Maka dari itu, tak ada yang salah dengan membiarkan anak perempuan bermain mobil-mobilan dan anak laki-laki bermain masak-masakan. Malah, anak akan merasakan manfaat yang sangat besar lantaran imajinasinya berkembang, ia dapat mengeksplorasi banyak hal, dan bahkan mereka dapat belajar bertanggung jawab sedari dini.
Selain membiarkan anak bereksplorasi lewat permainan, ada banyak cara lain untuk mengenalkan anak pada ragam kemungkinan peran yang dapat ia jalani di kemudian hari. Yakni dengan memberi contoh nyata. Misalnya, ayah yang berprofesi sebagai desainer menunjukkan proses kerjanya kepada anak. Sementara ibu yang berprofesi sebagai driver menceritakan pengalamannya saat mengantar penumpang.
Pada anak yang sudah memiliki kemampuan komunikasi yang cukup, kita juga bisa mengajaknya berdiskusi. “Menurut kamu, anak perempuan bisa nggak jadi ketua kelas?”
Dari situ, kita akan mengetahui sejauh mana pemahaman anak terhadap peran gender. Dengarkan pendapatnya dan berdiskusilah. Dengan demikian ia akan belajar dan tumbuh besar dengan terbiasa dengan peran gender yang kontekstual, tidak kaku, dan dapat teraplikasikan lentur sesuai dengan kondisi tiap individu.
Manfaat Mengedukasi Peran Gender yang Fleksibel
Mungkin Sahabat Pulih ada yang bertanya-tanya. “Kenapa sih repot-repot mengenalkan peran gender yang fleksibel? Kenapa nggak mengajarkan yang seperti biasanya saja? Apa tidak takut melanggar kodrat?”
Sahabat Pulih, pertama-tama, membiasakan anak mengaplikasikan peran lintas-gender dapat membuat anak-anak belajar berempati dan tidak memandang gender tertentu dengan streoritip.
Misalkan, dalam sebuah keluarga ada 1 anak laki-laki dan 1 anak perempuan. Jika kita mengaplikasikan peran gender kaku yang membatasi pekerjaan rumah hanya dilakukan oleh anak perempuan, maka akan ada peluang kecemburuan dan rasa ketidakadilan di antara mereka. Sebab, setiap tugas menyapu, mengepel, dan cuci piring hanya ditimpakan kepada anak perempuan. Si Anak Perempuan juga bisa menganggap bahwa laki-laki cenderung pemalas.
Baca Juga: Yuk Pahami Konflik Peran yang Dialami Pekerja Perempuan
Padahal, siapa tahu anak laki-lakinya sebenarnya mau terlibat. Tetapi setiap mau mengerjakan tugas rumah, orangtuanya selalu menghalangi karena menganggap pekerjaan tersebut bukan tugas laki-laki.
Dengan membagi pekerjaan rumah kepada keduanya, anak perempuan maupun akan laki-laki akan merasa tugasnya membersihkan dan merapihkan rumah adalah bagian dari tanggung jawab mereka. Selain itu, anak perempuan dan anak laki-laki pun memperoleh manfaat berupa keterampilan dasar merawat rumah.
Sehingga ketika besar, rasa tanggung jawab ini terus terbawa dan mereka juga memahami sulitnya membersihkan rumah sehingga ketika kelak berkeluarga, akan dapat berempati terhadap pasangan pada saat merawat dan membersihkan rumah.
Bagi anak perempuan pun pada akhirnya dapat mengembangkan potensinya dan memiliki kesempatan yang lebih setara ketika pembagian peran diajarkan secara lebih fleksibel. Mereka dapat tumbuh besar dengan kepercayaan diri bahwa anak perempuan juga bisa menekuni karier pada berbagai bidang yang tidak terpaku hanya pada peran gendernya saja.
Manfaat Bagi Kelompok Rentan
Pengenalan peran gender yang tak kaku juga dapat membantu anak yang terlahir dengan kondisi cacat tubuh. Seperti yang kita ketahui, tuntutan masyarakat dapat membuat individu difabel mengalami ketertekanan lantaran mereka berkesulitan memenuhi peran gendernya.
Misalnya saja: Rusdi adalah seorang laki-laki difabel yang merasa frustasi lantaran tak kunjung diterima bekerja karena kondisi fisiknya. Dalam benaknya, ia tetap merasa bahwa harga diri seorang laki-laki adalah mencari nafkah utama untuk keluarganya.
Contoh lainnya. Mimi adalah perempuan difabel yang kesulitan menggerakkan tubuhnya. Jangankan melakukan pekerjaan rumah, sedari kecil ia perlu dibantu bahkan untuk keperluan mandi dan berganti baju. Kondisi tersebut membuatnya sedih lantaran ia tak bisa membantu ibunya. Lebih menyedihkan lagi, ia sering dihina dan dilecehkan oleh orang di sekitarnya.
Dengan mengedukasi anak-anak bahwa setiap individu unik, maka kita bisa mengurangi beban Rusdi dan Mimi. Kita perlu memaklumi bahwa setiap orang memiliki tantangan hidupnya masing-masing sehingga tak semua orang bisa memenuhi standar masyarakat. Beberapa di antaranya ialah Rusdi dan Mimi.
Menyadari realitas Rusdi yang sulit, seharusnya ada banyak opsi bagi Rusdi dan keluarganya. Jika sudah berkeluarga, maka istri Rusdi dapat membantu mencari nafkah. Sementara Rusdi dapat membantu pekerjaan di rumah.
Akan lebih baik lagi jika Rusdi dan istrinya dibesarkan dengan pola pengajaran bahwa peran gender tak seharusnya selalu dipandang kaku. Dengan demikian, ketika besar keduanya memiliki perspektif bahwa tak ada yang salah dan tak perlu merasa bersalah, jika harus saling bahu-membahu berbagi peran.
Demikian juga dengan Mimi. Ia berhak memiliki hidup yang terlepas dari stigma sebagai perempuan yang tidak bisa memenuhi tanggung jawab gendernya. Ia bisa saja memiliki pendidikan tinggi dan bekerja dari rumah untuk membantu keluarganya dan membuktikan bahwa ia tidak pantas dilecehkan oleh siapapun.
Sahabat Pulih, mengedukasi anak tentang peran gender yang dapat diaplikasikan secara unik pada setiap orang, adalah salah satu upaya yang paling mendasar. Dengan harapan, supaya semua individu mandiri, setiap gender saling memahami, berdaya, dan saling dukung satu sama lain.[]
By: Widha Karina
0 Comments
Leave A Comment