Disclaimer: Tulisan ini dibuat sebagai bagian dari kampanye yang didukung oleh “Investing in Women” (IW), sebuah inisiatif dari Pemerintah Australia. Semua yang tertulis di dalam artikel ini sepenuhnya merupakan buah pikir dari penulis Yayasan Pulih, dan tidak mencerminkan pandangan IW serta Pemerintah Australia.
Seiring dengan meningkatnya kesadaran generasi milenial mengenai isu kesehatan mental, mungkin kini Sahabat Pulih sudah lebih peka menelisik ragam aspek yang dapat mempengaruhi kualitas kesehatan mental itu sendiri.
Salah satunya ialah tentang bagaimana penerapan peran gender dalam kehidupan sehari-hari mempengaruhi kesehatan mental masing-masing individu. Beberapa pembahasan mengenai hal tersebut telah Pulih sampaikan dalam beberapa artikel sebelumnya.
Baca Juga:
- Manfaat Kesetaraan Peran Laki-laki dan Perempuan pada Ragam Aspek Kehidupan
- Menjadi Individu Sesuai Norma Gender, Haruskah?
Demikian pula hasil riset Yayasan Pulih pada tahun 2020 menemukan bahwa pada dasarnya laki-laki dan perempuan sama-sama memahami bahwa kesehatan mental dapat menunjang kualitas hidup yang lebih baik pada beragam aspek. Supaya mereka dapat lebih produktif di tempat kerja, dapat menjaga relasi yang baik dengan orang di sekitarnya, sanggup menyelesaikan masalah di keseharian dengan lebih proporsional, hingga merasa bahagia dalam hidupnya.
Riset yang menyasar khususnya masyarakat urban di Indonesia yang berusia 25-40 tahun ini memetakan bahwa sebagian besar responden menyadari bahwa kerja sama antar-gender adalah salah satu komponen yang berkontribusi pada kesehatan mental. Namun, salah satu tantangan terbesar adalah ketika mereka masih mendapatkan stigma negatif dari lingkungannya ketika harus menerapkan pembagian peran yang lebih setara.
Sebagai contoh, total 83% dari responden laki-laki menyatakan tidak setuju dan sangat tidak setuju pada pernyataan bahwa perempuan seharusnya lebih bertanggung jawab pada pekerjaan domestik dan mengurus anak. Demikian pula total 92% dari responden perempuan menyatakan ketidaksetujuannya akan hal tersebut (terdiri dari jawaban tidak setuju dan sangat tidak setuju).
Untuk multiperan yang dilakukan perempuan, sebanyak 58% responden perempuan menyatakan ketidaksetujuannya atas pernyataan bahwa gendernya harus serba memprioritaskan tugas domestik dibanding peran lainnya. Lebih tinggi lagi, sebanyak 68% dari responden laki-laki menyatakan ketidaksetujuannya atas pernyataan tersebut. Bahkan 91% responden laki-laki tidak keberatan apabila partnernya memiliki karier yang lebih baik dan memperoleh penghasilan yang lebih tinggi.
Persentase tersebut menunjukkan bahwa peluang pengaplikasian fleksibilitas peran gender pada kalangan masyarakat urban kita kian terbuka. Akan tetapi, masih ada sejumlah persoalan yang bisa kita soroti, terutama bila pengaplikasian peran gender terbentur dengan norma sosial pada umumnya.
Sebagai contoh, meski 83% responden laki-laki menyatakan ketidaksetujuannya bahwa peran domestik lebih menjadi tanggung jawab perempuan, hanya 58% dari responden laki-laki yang tidak setuju terhadap pernyataan bahwa “mencari nafkah lebih menjadi tanggung jawab laki-laki”.
Ditambah lagi, sebanyak 74% dari semua responden setuju bahwa selama ini perempuan lebih banyak menerima sanksi sosial dari masyarakat apabila gagal mengurus keluarga. Demikian pula 74% dari semua responden setuju bahwa selama ini laki-laki lebih banyak disalahkan oleh orang di sekitarnya apabila gagal menafkahi keluarga.
Dari hasil tersebut, kita dapat melihat bahwa pemahaman masyarakat mengenai pentingnya keseimbangan peran gender tak lantas menjamin mulusnya pengaplikasian di lapangan. Ada banyak faktor yang turut mempengaruhi –misalnya– mengapa laki-laki tetap merasa bahwa mencari nafkah adalah tugas utamanya, meski ia sendiri tak menutup kemungkinan memiliki istri yang lebih banyak menghabiskan waktu di luar rumah dan memiliki pendapatan lebih besar.
Beberapa faktor yang menjadi latar belakang kesenjangan penerapan tersebut adalah sanksi sosial, internalisasi nilai tradisional yang mengakar sejak kecil (salah satunya stereotip gender), dan pendidikan.
Laki-laki dan Tantangannya
Salah satu tantangan terbesar yang dialami oleh laki-laki dalam upaya penerapan peran gender yang cair adalah kontrol sosial dari orang-orang di sekitarnya.
Secara tradisional, anak laki-laki dibesarkan dengan sejumlah nilai maskulin dengan ekspektasi bahwa ia akan tumbuh tangguh menjadi sosok pelindung dan penanggung jawab keluarga. Karena itu, kita mungkin telah akrab mendengar kata-kata berikut dalam keseharian kita “Anak laki-laki kok nangis. Yang kuat dong!” atau “Kamu nggak malu, kalah ranking sama cewek?”
Nilai kompetitif, bertanggung jawab, kuat, berdaya tahan, dan pantang menyerah kerap didengungkan dan mengiringi tumbuh kembang anak laki-laki.
Sementara itu, narasi yang menyertai anak perempuan adalah lebih ke pemakluman, bahwa kapasitas anak perempuan tak sebanding dengan laki-laki. Maka seakan-akan menjadi wajar bila anak perempuan dianggap tak perlu sekolah tinggi-tinggi.
Perempuan biasanya menerima kontrol sosial melalui komentar tetangga, mertua dan kerabat soal bagaimana caranya mengurus keluarga. Demikian pula laki-laki yang akan dituding tidak becus apabila ia tak dapat memenuhi peran gendernya untuk mencari nafkah.
Yayasan Pulih menemukan sebanyak 70% responden laki-laki merasa depresi apabila tidak berhasil menjalankan peran gendernya. Sementara untuk pertanyaan yang sama, 63% dari responden perempuan merasa depresi apabila tidak berhasil menjalankan peran gendernya. Tingginya level depresi pada laki-laki dapat menjadi satu perhatian penting bagi kita.
Ketertekanan yang dirasakan oleh laki-laki serta ekspektasi masyarakat yang cenderung keras atas dirinya dapat mengakibatkan laki-laki sulit menerapkan peran gender yang fleksibel dalam kehidupannya sehari-hari. Pada dasarnya, mengikuti norma sosial adalah pilihan yang baik. Akan tetapi, ketika pilihan tersebut cenderung dipaksakan pada situasi yang tidak memungkinkan, di situlah konflik dimulai.
Alih-alih berkompromi, mendiskusikan masalah, menyampaikan keterbatasan, dan mencari jalan keluar dengan orang di sekitarnya, laki-laki cenderung memilih untuk mengesampingkan kendala dan emosi yang dirasakannya, dan tetap memenuhi tuntutan peran gender tradisional atas dirinya. Hal tersebut biasanya dilakukan untuk mengelakkan sanksi sosial, rasa malu, rasa bersalah, ketidakbedayaan, atau kadang demi gengsi dan harga diri.
Jika terlampau memaksakan diri dalam jangka panjang, terlebih dalam situasi yang tak memungkinkan, pilihan tersebut dapat mengakibatkan stres, frustasi, dan mengganggu kesehatan mental kita. Bukannya produktif, bukannya tak mungkin bila kita kemudian jatuh sakit, melampiaskan stres ke pihak yang tak semestinya yang membuat hidup kita tak lagi berkualitas.
Sahabat Pulih, jika kamu adalah salah satu yang merasakan hal tersebut, Pulih ingin mengucapkan apresiasi atas perjuanganmu menghadapi banyak rintangan selama ini. Pilihan yang kamu tempuh amatlah wajar dan telah menjadi jalan hidup banyak laki-laki lain. Jika berkenan, Pulih memiliki beberapa usulan untuk membuat situasimu lebih nyaman ke depannya.
- Sampaikan kondisimu kepada orang-orang terkait
Pertama-tama, sadari dulu sejumlah faktor yang membuat kita tidak bisa melakukan peran gender tradisional. Apakah kita sakit dan memiliki kondisi fisik yang tidak memungkinkan kita mencari nafkah secara optimal? Atau usahaku melamar kerja dan wirausaha tidak menunjukkan hasil? Apakah pandemi membuatku di-PHK dan tak kunjung dapat pekerjaan? Apakah gaji kita selama ini sesungguhnya tak setinggi ekspektasi keluarga?Komunikasikan semua masalah tersebut kepada pihak-pihak yang bersangkutan. Jika single, mungkin kita dapat menyampaikannya ke orangtua, kakak-adik, kerabat, dan siapapun yang kemungkinan bisa membantu atau berpotensi memberi kita sanksi sosial di kemudian hari. Jika sudah menikah, mungkin kita dapat menyampaikannya ke istri untuk kemudian bisa dirembugkan bagaimana solusi terbaiknya.
Untuk bisa menyampaikan kesulitanmu, pertama-tama memang kita perlu memberanikan diri. Tetapi semoga dengan niat baik, semua kendala dapat tersampaikan dan berujung solusi. Tidak ada lagi orang yang menebak-nebak kapasitasmu dalam mencari nafkah. Sekaligus, mereka jadi lebih memahami bagaimana dilema kita dan keluarga selama ini.
- Menghadapi opini orang lain
Bagaimana jika orang yang kita ajak bicara tetap tak bisa memahami kondisi kita? Satu hal yang perlu kita ketahui, kita tak bisa mengubah cara pandang dan opini orang lain. Jika memang ia tidak bisa memahami penjelasan dari kita, maka cukuplah berfokus mencari jalan keluar dari masalah yang kita hadapi.Misalnya, sementara kita belum mendapat pekerjaan, kita bisa membantu ibu menjalankan bisnis kateringnya untuk mendukung perekonomian keluarga. Kita juga bisa mengambil peran mengurus dapur dan anak sementara istri menghadiri online meeting selama WFH.
Kepada orang-orang yang berkomentar miring tentang aktivitas kita yang menurut mereka tak sesuai dengan gender laki-laki, cukup sampaikan tanggapan proporsional. Bahwa memang setiap kondisi setiap orang berbeda-beda dan keputusan yang sedang kita tempuh telah dipertimbangkan dan disepakati sebagai jalan keluar yang terbaik sejauh ini. - Mengetahui manfaat berbagi peran antara perempuan dan laki-laki
Bagaimana jika dari sisi individu laki-laki sendiri yang masih merasa kurang sreg untuk berbagi peran dengan perempuan?Pertama, reaksi tersebut amatlah Emosi yang muncul dikarenakan keengganan/ketidaksanggupan kita menjalani peran gender tradisional sesungguhnya adalah tanda bahwa kita menyadari tanggung jawab kita sebagai bagian dari masyarakat. Karenanya, wajar bila kita merasa merasa sedih, kecewa, marah, atu malu.
Perasaan-perasaan yang kita alami ini dapat menjadi salah satu pengingat bahwa laki-laki dan perempuan adalah manusia biasa yang sama-sama memiliki aspek emosional. Dan oleh karenanya, baik laki-laki dan perempuan sesungguhnya dapat saling memahami beban satu sama lain. Keduanya dapat saling dukung serta bekerja sama. Keduanya dapat berbagi peran dan mencari jalan keluar.
Dengan saling memahami dan berbagi peran, laki-laki dapat terbantu mengelola emosinya. Ia dapat memanfaatkan waktunya untuk memiliki kesehatan mental yang baik sehingga dapat melakukan hal yang lebih produktif daripada larut dalam frustasi yang diakibatkan oleh keterbatasan dirinya atas peran gender yang dipaksakan.
Sebaliknya, berbagi peran gender juga dapat bermanfaat bagi perempuan. Laki-laki yang tidak ragu ambil bagian dalam peran domestik dapat membuat perempuan merasa terbantu saat menjalankan peran sebagai ibu sekaligus perempuan karier. Manfaatnya, perempuan dapat mengembangkan diri, bahkan terhindar dari kelelahan yang berkepanjangan sehingga mampu menjaga relasi yang lebih baik dengan suami dan anak. Kondisi rumah pun jadi lebih menyenangkan!
Demikianlah kita perlu menyadari bahwa laki-laki dapat memperoleh manfaat dari pengaplikasian peran gender yang proporsional sesuai dengan kondisi setiap individu/keluarga.
Laki-laki yang selalu dianggap lebih berdaya tahan menurut norma sosial justru dapat lebih rentan menjadi pihak yang kesulitan mengambil jalan keluar dikarenakan stigma dan ekspektasi yang ketat atas dirinya. Karena itu, yuk kita bantu para laki-laki memahami diri dan kondisinya. Kita buka peluang bagi mereka mengkomunikasikan hal tersebut dan kita dukung pilihan peran gender yang telah ia kompromikan dengan orang-orang terdekatnya.
0 Comments
Leave A Comment