Disclaimer: Tulisan ini dibuat sebagai bagian dari kampanye yang didukung oleh “Investing in Women” (IW), sebuah inisiatif dari Pemerintah Australia. Semua yang tertulis di dalam artikel ini sepenuhnya merupakan buah pikir dari penulis Yayasan Pulih, dan tidak mencerminkan pandangan IW serta Pemerintah Australia.
“Enak ya jadi cewek, punya cuti melahirkan sampai 3 bulan.”
“Kok enak sih jadi laki-laki. Tunjangannya lebih besar daripada perempuan.”
“Gak usah dinas luar kota jauh-jauh deh. Kamu kan perempuan.”
“Kamu aja deh yang approach ke klien itu. Kan dia sukanya sama cowok atletis.”
Sahabat, bagaimana kamu memandang level profesionalitas rekan kerjamu yang perempuan? Dan bagaimana pula kamu memandang rekan kerjamu yang laki-laki? Adakah kita memandang mereka secara berbeda?
Jika jawaban jujurmu adalah “iya”, maka jawaban tersebut ada benarnya. Memang pada dasarnya, laki-laki dan perempuan memiliki perbedaan, terutama secara fisik. Contoh mudahnya, individu berjenis kelamin laki-laki tidak bisa mengandung, sedangkan perempuan bisa mengalami menstruasi bulanan dan mengandung.
Kondisi ini tentu saja mempengaruhi bagaimana tiap gender menyesuaikan diri dengan tuntutan kerja.
Misalnya, perempuan yang mengalami perubahan suasana hati saat pre-menstrual syndrome akan berusaha mengendalikan emosinya saat berhadapan dengan masalah pekerjaan. Di sisi lain, laki-laki yang sering begadang demi mengurus anaknya yang baru lahir akan semaksimal mungkin menahan kantuknya di kantor supaya ia tetap produktif.
Demikian pula pihak perusahaan biasanya berusaha mengakomodasi kebutuhan masing-masing gender dengan memberlakukan sejumlah kebijakan. Misalnya, dengan memberikan cuti haid dan cuti melahirkan bagi pekerjanya yang perempuan, maupun cuti menemani istri melahirkan bagi pekerja laki-laki.
Meski begitu, perbedaan tantangan pada masing-masing gender hendaknya tidak menjadi penghalang seorang individu untuk berkarya di lingkup profesional. Ingat! Bagaimanapun, keduanya memiliki tanggung jawab dan hak yang sama, di hadapan perusahaan.
Setiap pekerja wajib memenuhi peran profesionalnya semaksimal mungkin demi terjalin relasi yang setara satu sama lain. Bahkan bisa saling membantu. Dengan demikian, tidak ada pekerja yang merasa memiliki bobot kerja lebih berat dibanding yang lain. Atau lebih parahnya, jangan sampai ada pekerja dengan gender tertentu yang merasa iri kepada yang lain karena lebih dianggap spesial.
Keseimbangan Peran Antara Laki-laki dan Perempuan pada Beragam Aspek
Tak hanya di dunia profesional, proporsional peran ini juga bisa diterapkan pada aspek kehidupan yang lain lho! Misalnya, di lingkungan sekolah/kampus, rumah tangga, hingga sosial kemasyarakatan.
Kami akan mencoba menjabarkannya untuk kamu:
Sekolah/Kampus
Usia sekolah adalah momentum yang tepat untuk mengenalkan perbedaan gender. Oleh karena itu amatlah penting bagi orangtua dan tenaga pengajar untuk terlebih dahulu menanamkan edukasi seksualitas dan gender kepada murid mereka.
Setelah mengenal seksualitas dan gender, anak-anak dan remaja dapat mempelajari pembagian peran gender yang proporsional dan setara. Tentu saja pembelajaran ini diberikan sesuai dengan usia anak.
Untuk anak usia TK dan SD, kita bisa memulainya dengan metode bermain dan bercerita. Selain itu kita bisa mengapresiasi setiap individu karena kualitas pribadi yang mereka miliki, alih-alih berfokus pada konstruksi gendernya. Misalnya, “Wah Rena pintar sekali membacanya!” atau “Terima kasih sudah mau meminta maaf, Heru! Kamu sangat berbesar hati.”.
Selain itu, bantu anak laki-laki dan perempuan ini mencoba ragam peran walau secara norma tradisional gender mereka dinilai kurang cocok melakukannya. Misalnya, keduanya bisa menjadi ketua kelas, piket membersihkan kelas, ikut ekskul menari, bela diri, dokter kecil, dan lain sebagainya. Biarkan mereka bereksplorasi dan memilih cita-citanya jika sudah besar nanti.
Baca Juga: Edukasi Peran Gender Pada Anak: Bebaskan Mereka Bereksplorasi Tanpa Harus Dibatasi
Pada usia remaja dan dewasa awal, anak-anak ini sudah bisa diajak diskusi. Mereka mungkin akan mulai memiliki persepsi tentang apa yang boleh dan tidak boleh dilakukan oleh anak perempuan dan laki-laki. Bisa jadi, karena mereka sudah terinternalisasi tentang konstruksi peran gender dari orang-orang di sekeliling mereka.
Dengarkan opini mereka dan bantu mereka mengolahnya. Orangtua, dan guru tentunya tetap bisa memberi contoh tentang kontekstualitas pembagian peran tersebut dengan banyak cara. Misalnya dengan berbagi pengalaman, memberi proyeksi tentang profesi tertentu yang juga diemban baik oleh laki-laki maupun perempuan, mengadakan diskusi terbuka antar-gender, dan lain sebagainya.
Pada institusi pendidikan, orangtua dan tenaga pendidik memiliki peran yang sangat besar. Karenanya, amat disarankan bila orangtua dan tenaga pendidik itu sendiri juga membekali diri dengan perspektif gender yang terbuka pada fleksibilitas pembagian peran di kehidupan sehari-hari.
Rumah Tangga
Pertama dan terutama, keluarga memegang peranan terpenting sebagai unit terkecil dan paling berpengaruh dalam pembentukan pola perilaku seorang individu.
Setiap anggota keluarga dapat mengambil perannya tersendiri dalam upaya menginternalisasi perlunya kerja sama antar-gender. Misalnya, ayah dan ibu dapat memberi contoh kepada anaknya dengan cara saling bahu-membahu mengerjakan pekerjaan rumah dan mencari nafkah.
Dengan demikian anak akan memahami dengan sendirinya mengenai fleksibilitas peran gender. “Oh yang memasak itu tidak harus ibu. Ayah juga bisa melakukan tugas memasak.” Dan sebaliknya, bukan hanya ayah yang mampu mencari nafkah, melainkan ibu juga bisa memiliki karier dan menafkahi keluarganya.
Selain itu, masing-masing anggota keluarga juga bisa berlatih saling memahami dan menghormati individu lain yang gendernya berbeda. “Kakak saya perempuan. Ia memang memiliki kendala setiap bulan mengalami menstruasi yang menyebabkan ia kesulitan belajar. Saya akan membantu membuatkan teh hangat setiap ia mengalami nyeri haid.”
Sebaliknya, kakak yang perempuan juga bisa memahami kesulitan adik laki-lakinya. “Adik saya laki-laki. Orang di luar sana sering menuntut anak laki-laki untuk selalu kuat. Padahal adik saya sedang kalut karena hasil ujiannya buruk. Saya akan menghiburnya dan mengatakan bahwa laki-laki juga boleh merasa sedih dan gagal. Itu adalah perasaan yang sangat wajar dan manusiawi.”
Lingkungan Bermasyarakat
Dibandingkan dengan lingkup keluarga dan sekolah, aspek kehidupan bermasyarakat adalah yang paling kompleks lantaran melibatkan banyak sekali pihak. Selain banyaknya jumlah individu yang terlibat, kita tidak bisa mengontrol opini orang lain mengenai konstruksi norma gender yang dianut oleh masyarakat.
Meski demikian, bukan berarti kita tidak bisa mengaplikasikan relasi peran yang setara di tengah-tengah masyarakat. Sebagai contoh, jangan ragu mendukung perempuan dalam pemilihan RT jika kita merasa bahwa individu yang bersangkutan memiliki kompetensi yang cukup dibandingkan calon yang lain.
Baca Juga: Kesetaraan Gender di Tempat Kerja: Perempuan Juga Bisa Jadi Pemimpin
Kita juga bisa secara perlahan-lahan mengubah persepsi mengenai segregasi peran berdasarkan gender pada organisasi kemasyarakatan. Misalnya, organisasi PKK tidak harus terdiri dari 100% ibu-ibu. Karena PKK memiliki kepanjangan “Pembinaan Kesejahteraan Keluarga”, bapak-bapak tentunya bisa bergabung ke situ.
Ketika sedang menyiapkan kendurian, ada begitu banyak aktivitas yang harus dilakukan. Jika biasanya ibu-ibu dan anak perempuan selalu mendapatkan tugas di dapur, mungkin kita bisa mulai menugaskan perempuan pada posisi-posisi lainnya juga. Seperti pembaca doa dan menyiapkan pidato.
Sementara itu bapak-bapak anak laki-laki bisa juga mencoba pekerjaan dapur. Selain itu, bukankah chef terkenal di masa sekarang juga banyak yang bergender laki-laki? Jangan-jangan, bermula dari memasak saat kendurian, kita akan menemukan bakat-bakat terpendam dari para laki-laki.
Selain itu, kita bisa mendorong kesetaraan peran antara perempuan dan laki-laki dengan menghindari komentar-komentar yang memojokkan gender tertentu. Misalnya, jika kita bisa mendukung Abdul anak tetangga bersekolah hingga S2, tentunya kita juga bisa memberi dukungan yang sama kepada anak tetangga kita yang bernama Lastri.
Sebelum mengomentari pilihan hidup tetangga kita, tanyakan terlebih dahulu mengenai prioritas hidupnya dan bagaimana perspektif mereka mengenai hal tersebut. Jangan sampai kita malah menjelek-jelekkan keputusan Lina yang menunda pernikahan karena ingin fokus dulu mencari nafkah untuk ayahnya yang sakit. Pula hindari menghina pilihan karier Mulyadi yang ingin buka usaha salon alih-alih membuka bengkel di rumahnya.
Manfaat Relasi Peran yang Setara
Dengan mengaplikasikan peran gender berdasarkan konteks dan kebutuhan masing-masing individu, kita bisa membantu menciptakan individu yang lebih produktif, mandiri dan berdaya tahan.
Anak laki-laki yang terbiasa mengenal aktivitas rumah tangga akan dapat memiliki kemampuan bertahan hidup karena terampil mengurus dirinya sendiri. Demikian pula anak perempuan yang memiliki kesempatan mengeksplorasi banyak hal akan berkesempatan merangkul profesi idamannya ketika sudah dewasa dan berkontribusi bagi finansial keluarga.
Manfaat lainnya adalah terciptanya saling kesepahaman peran antara perempuan dan laki-laki. Perempuan akan respek pada bagaimana laki-laki berupaya memenuhi tuntutan masyarakat atas dirinya. Sebaliknya, laki-laki juga akan lebih menghargai peran gender perempuan yang selama ini banyak dituntut untuk mengurus keluarga, menjadi ibu dengan mengandung 9 bulan, dan melahirkan anak.
Jika kesepahaman terjalin, maka kita bisa berharap supaya kedua gender ini dapat saling berdiskusi setiap menemukan kesulitan dalam upaya pemenuhan peran gendernya. Lalu mereka dapat menemukan solusinya bersama-sama, saling bantu, dan saling dukung. Dan bukannya saling menyalahkan satu sama lain.[]
Baca Juga: Peran Positif Laki-laki dalam Pencegahan Kekerasan Berbasis Gender
0 Comments
Leave A Comment