“Sejak WFH, meeting non-stop gak berehenti” – kata M, seorang karyawan laki-laki di perusahaan swasta

“Waktu kerjaku pun jadi bertambah panjang sejak pandemi” – ujar S, seorang karyawan perempuan di perusahaan swasta

“Duh, kalau WFH/WFO gini kerjaan di rumah jadi makin numpuk, plus masih harus urus anak yang PJJ” – Sh, seorang karyawan perempuan di perusahaan swasta.

 

Sejak pandemi, tak sedikit dari kita mengalami perubahan sistem ataupun cara kerja. Adanya aturan-aturan pengetatan dan pembatasan kegiatan di ruang publik membuat tempat kerja pun mengalami dampaknya. Pada beberapa sektor industri, hampir dari separuh karyawan harus bekerja dari rumah untuk mengurangi percepatan penyebaran virus Corona. Hal ini bukanlah tanpa konsekuensi.

Pada awal diberlakukannya kebijakan work from home atau WFH, cukup banyak anggapan bahwa bekerja dari rumah merupakan sebuah keuntungan. Mengapa tidak? Pasalnya, waktu yang biasanya dihabiskan dalam perjalanan pulang pergi dari dan ke tempat kerja sudah tidak ada lagi. Selain itu, kebutuhan bensin dan juga kebutuhan makan di luar semakin sedikit. Waktu di rumah semakin banyak. Enak bukan? Iya, tapi semuanya hanya ada dalam imajinasi, sebab pada kenyataannya sejak diberlakukannya WFH, telah terjadi penyempitan batas antara ruang kerja dan juga ruang domestik. Ketika kita memiliki kesempatan untuk pergi bekerja ke kantor, artinya kita memiliki “batasan” ataupun “jarak” dengan kondisi rumah dan begitu juga sebaliknya. Ketika pulang ke rumah kita pun memiliki batasan dan jarak dengan pekerjaan-pekerjaan di kantor. Batasan dan jarak yang kita miliki, pada dasarnya dapat berkontribusi untuk mengatur kondisi mental kita agar tidak selalu memikirkan pekerjaan maupun tugas yang ada di rumah. Namun sejak pandemi batasan ini menjadi semakin sempit dan bahkan menghilang.

Hilangnya batasan ini pada akhirnya juga berdampak pada kesehatan mental kita sebagai pekerja maupun sebagai anggota keluarga. Ada yang merasa stres, kewalahan, hingga mengalami burn out. Dampak ini pun tentunya dirasakan oleh pekerja laki-laki ataupun perempuan, meskipun secara berbeda.

Lalu, apakah bekerja menjadi hal yang merugikan yah dan lebih baik menjadi seorang pekerja lepas saja?

Pertanyaan ini akhirnya juga banyak dilontarkan oleh para pekerja white collar sebab sudah terlalu merasa kelelahan dengan menipisnya atau bahkan hilangnya batasan antara rumah dan pekerjaan. Jika kamu merasakan emosi negatif tersebut saat ini, ketahuilah bahwa apa yang kamu rasakan adalah valid adanya. Lalu apa yah, yang bisa kita lakukan bersama untuk mengatasi perasaan-perasaan kelelahan yang saat ini tengah melanda?

Pahami Berbagai Faktor Kesehatan Mentalmu

Ini adalah hal pertama yang perlu kita ingat sebagai individu. Terdapat berbagai faktor, baik internal maupun eksternal, yang dapat mempengaruhi kondisi kesehatan mental kita. Faktor eksternal diantaranya adalah norma sosial, relasi dengan orang lain, hingga pekerjaan. Sementara faktor internal diantaranya adalah ciri kepribadian kita, riwayat kesehatan mental kita, kemampuan untuk mengelola stres dan kemampuan untuk mempersepsi berbagai faktor eksternal penyebab stres.

Sebab pada dasarnya kesehatan mental ini disusun dari berbagai aspek yang ada dalam kehidupan kita. Sehingga, kita bisa meminimalisir perasaan-perasaan bersalah atau merasa tidak perform ketika mengalami kondisi kesehatan mental yang tidak baik. Akuilah bahwa kondisi tersebut ada dan mencari tahu akar penyebabnya. Jika masih dalam batasan yang dapat kita selesaikan sendiri, secara perlahan kita juga bisa menyelesaikannya. Namun jika dirasa terlalu sulit, maka tidak perlu ragu untuk mengakses bantuan profesional kesehatan mental.

Pahami Iklim Kerja di Perusahaanmu

Ini dilakukan untuk melihat sejauh mana faktor-faktor eksternal, terutama tempat kerja berpengaruh pada kesehatan mental kita. Lingkungan atau iklim perusahaan yang tidak sehat tentunya dapat berpengaruh pada kondisi kesehatan mental kita. Mungkin bisa mulai menanyakan beberapa poin ini untuk mengetahui seberapa sehat iklim kerja perusahaanmu.

  1. Apakah tempat kerjamu selalu mengutamakan performa dan hasil kerja maksimum?
  2. Apakah pekerjaan selalu jadi yang utama untuk menilai seseorang?
  3. Apakah kamu sendiri sulit mempercayai rekan kerjamu, karena khawatir ada manipulasi dalam pertemananmu?
  4. Apakah tempat kerjamu tidak memberikan ruang untuk menunjukkan rasa lelah karena dianggap menunjukkan kelemahan?

Jika kamu menjawab “Ya” untuk semua pertanyaan di atas, maka tempat kerjamu memiliki iklim kerja yang tidak sehat. Ketika kamu sudah mengetahui hal ini, maka kamu juga bisa mulai merancang beberapa rencana untuk membuat kembali batasan-batasan yang memungkinkan bagi dirimu. Tujuannya adalah untuk tetap menjaga kondisi kesehatan mentalmu. Setelah itu, ketahuilah batasan dirimu sendiri dan tidak perlu ragu untuk mengatakan “tidak” jika kamu merasa hal yang dibebankan sangat berat.

Tetapkan Target Kerja yang Realistis

Walau bagaimana pun sebagai manusia kita tetap memiliki batasan dalam bekerja. Terutama dalam situasi yang membuat kita harus beradaptasi dengan kondisi kerja yang serba masih belum pasti. Menetapkan target kerja yang realistis bisa menjadi salah satu hal yang dapat kita lakukan. Lalu berilah reward kepada dirimu jika memang kamu berhasil mencapai target tersebut. Misalnya, bahan presentasi dan laporan selesai sebelum makan siang. Setelah itu kamu bisa melakukan stretching sederhana atau menonton video klip lagu kesukaan untuk menyegarkan pikiran. Hindari menetapkan target yang dapat berdampak negatif pada diri. Misalnya, tidak mau makan jika pekerjaannya belum selesai atau tidak boleh tidur jika presentasinya belum beres. Sebab, hal ini tentunya akan semakin memperburuk performa kerja kita.

Bangun dan Jalin Komunikasi

Ini juga merupakan hal penting dan dapat kita lakukan. Komunikasi ini tidak hanya sebatas dengan rekan kerja saja, tetapi juga dengan kelurga di rumah. Berikan informasi yang jelas kapan kamu harus memiliki waktu sendiri untuk bekerja dan kapan waktu yang tepat untuk dapat melakukan hal lainnya. Selain itu, komunikasi ini juga dapat membantu kita untuk berbagi peran di rumah, terutama jika anggota keluarga kita yang lainnya juga harus melakukan WFH. Nah, jika tidak ada komunikasi dan masing-masing mengalami stres, maka kebayang kan apa yang akan terjadi? Betul, kondisi rumah pun menjadi sangat tidak sehat dan akan berujung pada penurunan kondisi kesehatan mental kita.

Sahabat Pulih, hal yang perlu kita ingat bersama adalah kondisi kesehatan mental kita merupakan tanggung jawab diri kita. Sehingga kita bisa membuat pilihan-pilihan yang bertanggung jawab untuk tetap menjaga kondisi kesehatan mental ini tetap terjaga. Jika tidak dimulai dari kita, siapa lagi yang akan mulainya. Kalau bukan kita, siapa lagi yang akan mulai?[]

By: Jane L. Pietra, M. Psi, Psikolog