Disclaimer: Tulisan ini dibuat sebagai bagian dari kampanye yang didukung oleh “Investing in Women” (IW), sebuah inisiatif dari Pemerintah Australia. Semua yang tertulis di dalam artikel ini sepenuhnya merupakan buah pikir dari penulis Yayasan Pulih, dan tidak mencerminkan pandangan IW serta Pemerintah Australia.

Tito –seorang laki-laki single berusia 28–  kini tengah menikmati kariernya yang cemerlang di sebuah perusahaan konstruksi.

Sebagai seorang milenial yang tinggal di kota besar, ia kerap terpapar isu kesehatan mental selama periode pandemi. Satu hal yang menarik perhatiannya adalah tentang perlunya perempuan dan laki-laki berbagi peran demi terciptanya keharmonisan dan peningkatan taraf kualitas hidup bagi kedua gender tersebut.

“Tapi gue belum relate nih. Kan gue belum nikah.” Begitu ujar Tito dalam hati, ketika membaca beberapa ulasan tentang isu tersebut.

Sahabat Pulih, meski pernikahan adalah institusi yang memungkinkan perempuan dan laki-laki bekerja sama mempraktikkan pembagian peran yang fleksibel, bukan berarti isu ini hanya bermanfaat bagi mereka yang sudah menikah lho!

Setiap orang lahir dan besar dalam lingkungan yang majemuk. Keluarga tempat kita dilahirkan pun biasanya terdiri dari laki-laki dan perempuan. Demikian pula di sekolah, kampus, lingkungan pertemanan, kehidupan bertetangga, dan tempat bekerja. Setiap hari kita berjumpa dan berinteraksi dengan orang dengan gender berbeda.

Justru, pengalaman berbagi peran dengan gender yang berbeda sebelum menikah dapat menjadi pelajaran yang berharga sebelum kita mulai berumah tangga. Dengan terbiasa mengelola bobot peran dengan teman sekolah/rekan kerja/tetangga, kita jadi punya kesempatan untuk mengobservasi respons orang lain, berlatih menghadapi konflik peran, menghayati manfaatnya, dan mengetahui takaran yang pas untuk berbagi peran dengan gender lain.

Baca Juga: Yuk Pahami Konflik Peran yang Dialami Pekerja Perempuan

Dan tahukah kamu bahwa kita juga bisa berbagi peran yang setara dengan perempuan/laki-laki asing yang kita temui di jalan? Hmmm.. Kok bisa ya? Yuk lanjutkan membaca ulasan dari Pulih!

Belajar dari Rekan-rekan Pulih
Sepanjang tahun 2021, Yayasan Pulih telah menyelenggarakan Kelas Daring untuk banyak sahabat dari berbagai institusi. Kelas Daring yang membahas tentang pendefinisian kembali work-life balance dan bagaimana hal tersebut mempengaruhi produktivitas kerja ini diikuti oleh ragam pekerja dari latar belakang yang berbeda.

Dari banyak materi yang disampaikan, Yayasan Pulih juga membicarakan tentang bagaimana relasi antar-gender dapat berkontribusi pada peningkatan produktivitas kerja dan kehidupan personal yang lebih sehat.

Psikolog Yayasan Pulih menemukan bahwa sesungguhnya sebagian besar peserta –baik laki-laki dan perempuan– sama-sama menyetujui bahwa seharusnya tidak ada pembagian peran yang kaku antara perempuan dan laki-laki.

Artinya, peserta Kelas Daring Yayasan Pulih menyepakati gagasan bahwa perempuan juga bisa melakukan peran yang dicitrakan “laki banget”. Para peserta ini terbuka pada kemungkinan bahwa perempuan juga bisa berperan sebagai pemberi nafkah keluarga, menjadi pemimpin di kantor, mencalonkan diri sebagai Ketua RT, mengemban jabatan politik tertentu, dan lain sebagainya.

Sebaliknya laki-laki juga sangat mungkin berbagi peran dengan perempuan dalam melakukan aktivitas yang “cewek banget”. Membersihkan rumah, menjadi anggota tim kerja yang diketuai oleh perempuan, memandu anak mengerjakan PR, memasak saat acara kendurian kampung, atau berprofesi sebagai make-up artist/asisten rumah tangga.

Akan tetapi, yang membuat baik peserta perempuan dan laki-laki merasa ragu menerapkan gagasan tersebut dalam kehidupan sehari-harinya adalah karena ada sanksi sosial yang menyertai setiap tindakan yang tidak sesuai dengan norma tradisional yang berlaku.

Seperti yang kita ketahui, norma yang disepakati secara turun-temurun dalam banyak kelompok masyarakat Indonesia banyak mengaplikasikan segregasi peran antara perempuan dan laki-laki. Anggota masyarakat yang berperilaku tidak sesuai dengan norma tersebut dapat menerima sanksi sosial berupa pengucilan, sindiran, dituduh tidak mampu memenuhi kewajiban, dan lain sebagainya.

Baca Juga: Manfaat Kesetaraan Peran Laki-laki dan Perempuan pada Ragam Aspek Kehidupan

Konsekuensi inilah yang lantas membuat perempuan dan laki-laki merasa perlu bertanggung jawab penuh atas peran gender yang ditimpakan atas dirinya alih-alih menempuh pilihan peran gender yang lentur. Ia merasa perlu memenuhi ekspektasi orang-orang di sekitarnya supaya dapat diterima sebagai bagian dari komunitas.

Perlunya Berlatih Mengaplikasikan Peran Gender yang Dialogis
Pengalaman rekan-rekan Pulih di atas seyogyanya dapat menjadi pembelajaran buat kita semua, termasuk bagi Sahabat Pulih yang belum menikah.

Sejak usia dini, kita dapat bertanya ke diri kita sendiri tentang bagaimana peran gender yang dikomunikasikan antara perempuan dan laki-laki dapat membuat kita merasa saling melengkapi. Sebagai contoh, kita bisa bercermin pada bagaimana orangtua kita mengambil peran gender.

Jika kita dibesarkan oleh orangtua yang sangat taat pada norma sosial yang menerapkan segregasi tajam antara peran laki-laki dan perempuan, kita bisa mengobservasi apa dampaknya bagi ayah dan ibu kita. Apa kelemahan dan keunggulannya? Kita bisa memprosesnya lalu bertanya-tanya dalam hati: apakah pola tersebut akan saya terapkan pula bila kelak nanti berumah tangga? Ataukah ada pola yang kelak bisa saya modifikasi supaya saya dan pasangan saya bisa merasa lebih bahagia?

Sebaliknya, jika dibesarkan oleh orangtua yang luwes berbagi peran gender, kita juga dapat merefleksikan semangat yang sama ketika berhadapan dengan teman di kampus atau rekan kerja di kantor. Kita jadi menyadari bahwa setiap individu – apapun gendernya– sama-sama berhak memilih peran yang sesuai dengan karakter, kemampuan, dan situasi yang tengah ia hadapi.

Karenanya, kita pun tak lagi heran dengan teman laki-laki yang memilih studi fashion alih-alih teknik mesin. Kita juga bisa mendukung teman perempuan yang mencari penghasilan sampingan sebagai driver ojek online untuk membiayai kuliahnya.

Kita bisa menjadi lebih memahami dan tidak memberikan sanksi sosial kepada rekan kerja yang memutuskan resign dan menjadi bapak rumah tangga dikarenakan istrinya perlu bekerja di luar negeri untuk sementara waktu.

Baca Juga: Ini Pentingnya Mendukung Laki-laki Berbagi Peran dengan Perempuan

Kita juga bisa melakukan observasi terhadap rekan kerja perempuan yang memiliki peran ganda sebagai ibu sekaligus pekerja yang ditopang oleh pasangan yang suportif dalam melakukan pekerjaan domestik dan mana yang tidak (lalu melihat korelasinya terhadap performa kerjanya di kantor).

Dengan memiliki wawasan mengenai peran gender yang fleksibel sejak sedini mungkin, kita jadi punya waktu lebih banyak untuk belajar, memproses, dan memahami betapa hal tersebut dapat berkontribusi bagi kualitas hidup yang lebih baik.

Kita sendiri pun dapat menjadi pribadi yang lebih mindful dalam memilih peran gender karena secara sadar merasakan manfaat positifnya bagi diri sendiri dan orang di sekitar kita. Seperti yang telah dialami oleh salah satu peserta laki-laki Kelas Daring Yayasan Pulih yang memutuskan untuk membantu pekerjaan domestik setelah mengikuti kelas, lalu merasa istrinya lebih berbahagia setelahnya!

Oh dan tentu saja wawasan tentang isu ini dapat pula membantu kita dalam berinteraksi dengan orang asing di tempat publik.

Sesederhana memberi dukungan moral kepada ayah yang mengasuh anak di stasiun kereta dengan membukakan pintu kaca. Atau dengan cara tidak melontarkan pertanyaan-pertanyaan sensitif yang mempertanyakan peran gender mereka.

“Kok ayahnya nih yang repot ngasuh anak? Ibunya mana?”
“Kok pulangnya malam sih Mbak? Anaknya telantar dong? Diasuh pembantu ya?”
“Jadi perempuan tuh jangan terlalu pintar. Nanti cowok-cowok pada takut sama kamu.”
“Mas, jangan sampai gaji kita kalah besar dari istri. Nanti istrinya ngelunjak lho.”
“Kok perempuan nyetir truk sih? Nggak pingin kerja biasa aja, kayak perempuan yang lain?”

Jadi bagaimana Sahabat Pulih? Tidak ada ruginya kan mengetahui pentingnya pengaplikasian peran yang sesuai situasi tiap individu terlepas dari apapun gendernya? Semoga bermanfaat dan kita semua bisa melatihnya dalam kehidupan sehari-hari ya![]