Disclaimer: Tulisan ini dibuat sebagai bagian dari kampanye yang didukung oleh “Investing in Women” (IW), sebuah inisiatif dari Pemerintah Australia. Semua yang tertulis di dalam artikel ini sepenuhnya merupakan buah pikir dari penulis Yayasan Pulih, dan tidak mencerminkan pandangan IW serta Pemerintah Australia.
Raras (bukan nama sebenarnya) kini tengah mempersiapkan anak laki-lakinya yang berusia 3 tahun untuk menjadi kakak. Raras memang tengah mengandung dan pemeriksaan kehamilan terakhir menyatakan bahwa ia tengah mengandung anak perempuan.
Dalam setiap obrolan kepada anak laki-lakinya, Raras berulang kali mengatakan harapannya kepada anaknya tersebut jika nanti ia –ibunya– melahirkan anak perempuan.
“Nanti Abang sayang nggak sama Adek? Kalau sayang, nanti adiknya dijagain ya.”
Raras mengulang kalimat tersebut sesering mungkin. Demi harapan Si Abang siap menerima kehadiran seorang bayi perempuan di rumah. Terlebih, Raras berharap Si Abang kelak dapat menjadi pelindung bagi adiknya.
“Bukan karena dia laki-laki ya. Tapi dia kan anak pertama. Makanya perlu dikasihtau kalau nanti lahir, adiknya perlu disayang. Perlu dijagain,” demikian ungkap Raras.
“Tapi kebetulan abangnya ini kan laki-laki. Sekalian deh. Jadi nanti kalau ada cowok ngapelin anak aku yang cewek, abangnya aja yang maju. Hahaha!”
Ragam Penanaman Norma Gender pada Anak
Masing-masing orangtua tentunya memiliki harapan tersendiri untuk anaknya. Ada yang ingin anaknya sehat, pintar, atau mengayomi adik seperti yang diharapan Raras terhadap anaknya.
Harapan ini, tak hanya disampaikan melalui doa kepada Yang Kuasa, tetapi juga disampaikan kepada Si Anak. Bahkan berkali-kali hingga bukannya tidak mungkin bahwa harapan tersebut mengiang bagi anak. Dihayati dan terinternalisasi hingga ia dewasa.
Akan tetapi, harapan orangtua bukanlah satu-satu ekspektasi yang menyertai tumbuh kembang anak. Dalam perjalanan hidupnya, Anak juga harus menyesuaikan diri dengan tuntutan sosial di sekitarnya. Ekspektasi-ekspektasi inipun jadi kian kompleks dan dapat berdampak pada perkembangan anak.
Harapan-harapan semacam ini dapat menjadi motivasi positif apabila anak dapat meregulasinya dengan baik dan bila ekspektasi tersebut sesuai dengan yang ia ingin/mau gapai. Tetapi bagaimana jika anak merasa sebaliknya? Bagaimana jika ia memiliki perspektif yang berbeda? Bagaimana jika ia merasa terbebani?
Untuk menghindari perasaan terbebani, orangtua dapat membantu anak mencerna norma dan tuntutan sosial seiring pertambahan usia anak. Serta mendampingi anak apabila ia merasa kesulitan memenuhi tuntutan tersebut. Salah satunya ialah dengan membantunya memahami identitas dan peran gender.
Mengenai edukasi gender, Anand (laki-laki, 31 tahun) mengaku masih dalam tahapan awal mengenalkan konsep gender kepada anak perempuamnya yang berusia 4 tahun. Pertama-tama adalah dengan melatih kesadaran jenis kelamin terlebih dahulu. Itupun masih dalam tataran mengajarkan ke anaknya bahwa ia sebagai perempuan memiliki kondisi fisiologis yang berbeda dengan kakak sepupunya laki-laki.
Untuk peran gender –misalnya pada roleplay (permainan peran)– ia masih membuka peluang bagi anaknya bereksplorasi menemukan jenis aktivitas yang digemari.
“Kalau di umur sekarang, belum ada rencana diarahkan. Biarin ngalir, anaknya seneng apa, diikutin. Kalau mau mainan apa, gue beliin. Becandanya sih dia pingin jadi pemain basket, jadi pemain bola, pebalap sepeda. Tapi kadang juga pura-pura jadi dokter. Ter-influence-nya karena sering liat bapaknya main basket atau sering naik sepeda.”
Baca Juga: Edukasi Peran Gender Pada Anak: Bebaskan Mereka Bereksplorasi Tanpa Harus Dibatasi
Anand dan Sari –istri Anand– memilih untuk tidak memaksakan anaknya melakukan permainan yang “cewek-cewek” saja. Anaknya bebas memilih referensi permainan dan jenis pakaian yang disukainya. Rok atau celana, pink atau biru. Bebas saja. Senyamannya.
Memang, Sari sendiri juga menyukai aktivitas olahraga. Karenanya, Sari tidak protes dengan pilihan aktivitas anak perempuannya yang didominasi dengan kegiatan olahraga. Ia memang sesekali menyampaikan kekhawatirannya lantaran tidak mau anaknya jadi “cowok banget”. Meski begitu pada dasarnya Sari tidak membatasi ruang eksplorasi anaknya.
Pola pengasuhan dan edukasi yang diterapkan Anand dan Sari hanyalah sebagian kecil dari profil keluarga muda yang memberikan kesempatan bagi anak mengenali dan menemukan kegemarannya. Akan tetapi bagaimana dengan profil orangtua yang lebih suka menerapkan peran gender yang tegas kepada anaknya?
Tegas di sini yakni memberi batasan yang jelas antara peran anak laki-laki dan perempuan. Misalnya dengan menganjurkan anak perempuan hanya memainkan peran domestik (masak-masakan/rumah-rumahan). Sedangkan laki-laki disarankan untuk bermain peran yang secara norma masyarakat dianggap lebih maskulin seperti atlet, pebalap atau tentara.
Selain metode permaian, penerapan peran gender yang tegas biasanya juga menanamkan pula ekpektasi karakter berdasarkan gender. Misalkan anak laki-laki diajarkan untuk kuat, tidak boleh menangis, harus pantang menyerah dan wajib lebih unggul dari perempuan. Sedangkan anak perempuan diminta untuk bertutur lembut, ringan tangan, dan menjadikan laki-laki sebagai pemimpin.
Biasanya, pengenalan norma gender yang tegas juga disertai dengan pesan-pesan verbal apabila anaknya tidak melakukan aktivitas sesuai yang dianjurkan. “Kamu kan laki-laki. Masak ikut mama ke salon. Kayak perempuan aja. Sana ikut papa cuci mobil.” Dan lain sebagainya.
Cara Anak Meregulasi Benturan Nilai
Setiap anak memiliki caranya sendiri mengolah nilai-nilai yang ditanamkan padanya sejak kecil. Seiring dengan pertambahan usia, ia akan menyadari ada kalanya terjadi benturan nilai identitas gender yang membingungkan baginya.
Dengan pola edukasi gender yang fleksibel seperti Anand dan Sari, bukannya tak mungkin bila anaknya kelak akan mengonfirmasi perbedaan perspektif antara orangtuanya dengan orang lain. “Kok aku dibeliin baju warna hitam sih? Kata nenek, cewek itu pakainya warna pink, Papi.”
Demikian pula anak yang menerima pola edukasi gender yang tegas, bisa jadi di kehidupan sehari-hari akan berjumpa dengan peristiwa yang menurut orangtuanya tergolong tabu. “Bunda, kemarin Anto jatoh trus nangis. Kata Bunda kan anak cowok nggak boleh nangis ya Bunda. Tapi kok dia nggak dimarahin sama papanya sih Bund? Kalau aku kok dulu dimarahin?”
Baca Juga: Kenapa Laki-laki Dilarang Menangis?
Jika sudah demikian, ini adalah saat yang tepat untuk orangtua mendampingi anak-anak dan membantunya mengolah persepsinya sehingga ia dapat perlahan-lahan tumbuh besar dengan pertimbangan dan daya pikir yang lebih matang.
Implikasi Penanaman Norma Gender pada Anak
Setiap orangtua tentu memiliki pertimbangan sendiri dalam membesarkan anak. Karenanya, orangtua berhak menempuh cara yang ia yakini terbaik untuk mengeduakasi anaknya. Akan tetapi, kita sebagai orangtua juga perlu mempertimbangkan bagaimana nilai-nilai yang kita tanamkan dapat berdampak bagi kehidupan anak kelak ketika ia dewasa.
Tahukah Sahabat Pulih bahwa perspektif seseorang mengenai peran gender juga dapat mempengaruhi kesehatan mentalnya? Maka, hendaknya kita sebagai orangtua menyadari bahwa penanaman nilai gender yang kita berikan ke anak juga dapat berkontribusi pada kesehatan mentalnya kelak.
Pembagian peran gender yang tegas dapat berdampak positif pada aspek tanggung jawab anak. Misalnya, anak laki-laki akan tumbuh menjadi laki-laki dewasa yang siap menjadi kepala keluarga dan menafkahi keluarganya. Sedangkan anak perempuan akan tumbuh menjadi ibu yang bertanggung jawab penuh atas nutrisi, pendidikan, dan pemeliharaan keluarga. Dan kondisi ini amatlah ideal dan baik.
Meski begitu, pada sisi lain kita juga perlu menyadari bahwa tidak semua anak akan memiliki jalan hidup yang ideal dan sempurna menurut standar norma sosial.
Ada anak laki-laki yang terlahir disabilitas sehingga kesulitan mencari nafkah dan tidak mampu melindungi keluarga. Ada anak perempuan yang selama pandemi harus menggantikan suaminya mencari nafkah sehingga perlu menitipkan kebutuhan anak-anaknya di rumah kepada ART.
Jika hal-hal seperti ini terjadi, apakah kita lantas menyalahkan anak atas ketidakmampuannya menjalankan peran gendernya?
Di lain sisi, kita perlu menyadari bahwa setiap individu seyogyanya juga bisa bertanggung jawab terhadap banyak hal. Menjadi seorang laki-laki bukan berarti ia harus semata-mata bergantung pada istrinya dalam mengurus anak dan masak-memasak karena pada dasarnya memasak adalah kemampuan bertahan hidup. Sebaliknya, menjadi perempuan bukan berarti ia tidak memiliki kapabilitas selain berkecimpung di urusan domestik.
Pembagian peran gender yang tegas berisiko membuat anak-anak kita memiliki lebih sedikit opsi dalam hidupnya, sementara ia terus berupaya memenuhi ekspektasi orang-orang di sekitarnya.
Baca Juga: Memahami Beban Ganda dan Stres pada Perempuan Pekerja
Pada contoh ekstrem, anak laki-laki yang terkendala memenuhi peran gendernya dapat merasa makin tertekan karena sejak kecil ia diajarkan supaya laki-laki tidak boleh lemah. Sementara itu, ia tidak mengizinkan istrinya mencari alternatif pendapatan karena gengsi, karena ia meyakini hal tersebut bukan tugas perempuan. Ia malah lebih khawatir jika mendapatkan sanksi sosial jika mengizinkan istrinya mencari nafkah.
Situasi-situasi tersebut dapat menyebabkan seseorang menjadi putus asa, sensitif, mudah tersinggung karena merasa tidak bisa menjalankan perannya. Jika berlangsung lama, bahkan bisa menyebabkan stres dan frustrasi yang malah berakibat lebih buruk bagi kesehatannya.
Alih-alih menempatkan anak kita pada posisi yang dilematis, akan lebih baik jika kita mengenalkan anak bahwa nilai-nilai tersebut bukan bersifat kaku, melainkan dapat disesuaikan seiring dengan konteks dan situasi.
Kita perlu menjelaskan ke anak, bahwa situasi setiap orang berbeda-beda. Ada individu-individu yang beruntung dapat menjalankan peran gender sesuai dengan yang diharapkan oleh masyarakat. Akan tetapi, ada pula individu yang perlu berkompromi dengan peran gendernya dikarenakan kondisinya yang berbeda.
Ajarkan anak untuk menerapkan kerja sama antar-gender alih-alih menerapkan segregasi peran gender yang tertutup. Laki-laki juga dapat membantu perempuan yang kesulitan menjalankan peran gendernya. Sebaliknya, perempuan juga bisa membantu laki-laki. Kerja sama ini akan lebih menguntungkan kedua belah pihak sebagai win-win solution.
Baca Juga: Ini Pentingnya Mendukung Laki-laki Berbagi Peran dengan Perempuan
Oleh karena itulah penting bagi kita sebagai orangtua menyadari betul bahwa kita berkontribusi besar terhadap cara pandang generasi selanjutnya.
Bagaimana jika kita hanya meneruskan norma gender yang diberikan oleh orangtua kita?
Perlu diingat, bahwasanya sebelum menerapkan pola gender yang sama, kita sebagai orangtua memiliki kesempatan untuk memikirkan/memproses kembali informasi yang dulu kita terima. Apakah pola tersebut membawa banyak manfaat untuk saya atau tidak? Setelah mengolahnya, barulah kita dapat mempertimbangkan apakah pola pengasuhan tersebut tepat untuk kita wariskan kepada anak.
Ada individu yang memilih untuk mengikuti pola pengasuhan orangtuanya dan menerapkannya kepada anaknya yang sekarang. Akan tetapi, ada pula yang berupaya menarik hikmah, memilah mana yang bisa ia aplikasikan kembali dan mana yang sebaiknya tidak, demi kesehatan mental anak dan perspektif norma gender yang lebih setara.
0 Comments
Leave A Comment