Sejak diumumkannya kasus pertama COVID-19 di Indonesia pada 2 Maret 2020 dan ditetapkannya COVID-19 sebagai bencana nasional, pemerintah menghimbau penyedia layanan kesehatan untuk memprioritaskan penanganan COVID-19 dan masalah lain yang termasuk ke dalam layanan darurat medis. Perubahan prioritas ini memengaruhi pola layanan kesehatan dan operasional, membatasi jenis layanan, hingga mengakibatkan penutupan fasilitas dan layanan kesehatan karena kelangkaan tenaga kesehatan dan/atau alat pelindung diri (APD) bagi tenaga kesehatan. Hal ini membuat pasien yang tidak termasuk dalam kategori memerlukan layanan darurat medis kurang mendapatkan pelayanan kesehatan dengan baik, termasuk mereka yang memiliki masalah kesehatan seksual dan reproduksi (kespro).

Kondisi ini sangat disayangkan mengingat pandemi COVID-19 mengakibatkan banyak masalah kesehatan seksual dan reproduksi, terutama bagi perempuan dan kelompok rentan. BKKBN,  menyatakan bahwa pada Maret 2020 diperkirakan lebih dari 47 juta perempuan kehilangan akses layanan kontrasepsi yang ditandai dengan menurunnya penggunaan metode kontrasepsi modern (mCPR). Kondisi ini meningkatkan angka kehamilan tidak direncanakan (KTD) menjadi 7 juta kasus. Angka ini tidak hanya mencakup angka KTD pada pasangan menikah saja, melainkan juga kehamilan pada remaja yang melakukan kegiatan seksual pra-nikah secara aktif. Situasi ini membawa dampak lain bagi kondisi kesehatan seksual dan reproduksi bagi perempuan seperti risiko kematian ibu dan anak, anemia pada ibu hamil, malnutrisi pada ibu hamil dan janin, kelahiran prematur pada bayi, berat badan rendah pada bayi baru lahir, hingga masalah pada pengasuhan anak.

Semestinya, layanan kesehatan seksual dan reproduksi dalam situasi pandemi tetap menjadi prioritas. Apalagi, hak atas kesehatan reproduksi, utamanya bagi perempuan dan kelompok rentan sangat lekat dengan hak asasi manusia seperti hak untuk hidup, hak atas kesehatan, hak atas privasi, bahkan hak atas pendidikan. Artinya, layanan kesehatan ini harus tersedia dan dapat diakses masyarakat dalam segala situasi, termasuk dalam situasi bencana atau wabah, maupun setelahnya.

Memaklumi adanya kemungkinan realokasi dan kelangkaan sumberdaya serta kemungkinan jatuhnya kemampuan infrastruktur kesehatan dalam situasi bencana, WHO selaku organisasi kesehatan internasional merekomendasikan layanan kesehatan seksual dan reproduksi sebagai pelayanan minimum yang disediakan dalam situasi bencana maupun situasi stabil. Hal ini termasuk terselenggaranya layanan kesehatan reproduksi sebagai pelayanan kesehatan esensial atau prioritas tinggi. Pemenuhan hak atas layanan kesehatan reproduksi minimum juga telah dikembangkan dan diimplementasikan oleh Kementrian Kesehatan Republik Indonesia sejak 2008 dalam sebuah panduan yang memuat Pedoman Pelaksanaan Paket Pelayanan Awal Minimum (PPAM) Kesehatan Reproduksi pada Krisis Kesehatan.

Upaya memastikan pemenuhan layanan kesehatan seksual dan reproduksi juga meliputi upaya pencegahan dan penanganan kekerasan berbasis gender (KBG), termasuk kekerasan seksual, yang rentan terjadi kepada perempuan dan kelompok rentan lainnya. Dalam situasi bencana, peningkatan risiko kekerasan kerap ditemukan. Berdasarkan Catatan Tahunan (Catahu) Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) tahun 2020, sepanjang tahun pertama pandemi COVID-19 terdapat 2.389 aduan kasus Kekerasan Berbasis Gender (KBG) dibandingkan tahun sebelumnya yaitu 1.419 kasus, atau dengan kata lain terdapat peningkatan sebanyak 970 kasus (40%). Selain itu, tercatat ada 1.404 kasus Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT) atau kekerasan dalam ranah pribadi yang dilaporkan, serta terjadi peningkatan pada kasus Kekerasan Berbasis Gender Siber (KBGS) dari 216 kasus menjadi 510 kasus di tahun 2020. Angka kasus tersebut menanjak tajam semasa pandemi, sehingga berbagai upaya perlu dilakukan untuk menguatkan penanganan kasus KBG yang dapat membantu korban/ penyintas mendapatkan haknya atas keadilan dan pemulihan.

Penanganan kasus KBG, terutama kekerasan seksual, berkaitan erat dengan layanan kesehatan seperti pemberian kontrasepsi darurat, pencegahan infeksi menular seksual (IMS), pencegahan penularan HIV, serta perawatan kesehatan fisik lainnya. Selain itu, penyintas juga perlu didukung secara psikologis untuk mendukung proses pemulihannya. Dalam hal ini, akses menuju layanan kesehatan reproduksi dan penanganan KBG yang terintegrasi dan berkualitas menjadi esensial dan perlu mendapat prioritas. Karenanya, respons pemerintah terhadap situasi pandemi perlu memperhatikan perencanaan pencegahan dan penanganan KBG yang baik.

Kampanye pencegahan dan deteksi dini KBG perlu terus dilakukan untuk meminimalkan diskriminasi dan ketidaksetaraan gender sehingga perlindungan dan pemenuhan hak atas kesehatan seksual dan reproduksi serta pencegahan dan penanganan KBG dapat terlaksana bagi semua orang tanpa terkecuali. Dukungan dan kerjasama multipihak kemudian menjadi penting untuk memastikan penyelenggaraan respons COVID-19 yang inklusif dan tidak meninggalkan siapapun.

Tulisan ini dibuat dengan dukungan dari UNFPA Indonesia dan Pemerintah Jepang melalui Program Leaving No One Behind.[]

#LeavingNoOneBehind #Everyonecounts #InclusiveC19Response