Artikel berikut memuat konten terkait dengan Kekerasan Berbasis Gender (KBG) maupun Kekerasan Seksual (KS) yang dapat memicu emosi negatif pembaca. Jika Anda berada dalam kondisi emosional yang tidak baik untuk membaca artikel dengan tema tersebut, diharapkan Ada bisa mendapatkan dampingan dari orang lain ketika membacanya. Kebijakan pembaca sangat disarankan. Jika Anda pernah mengalami kejadian serupa dalam artikel ini dan merasa ter-trigger setelah membaca, dapat menghubungi Layanan Psikologi Yayasan Pulih. 

Namanya adalah May (Raihaanun Soeriaatmadja). Seorang anak perempuan yang tinggal bersama ayahnya (Lukman Sardi). Malam itu, ia sedang dalam perjalanan pulang dari pasar malam, masih menggunakan seragam sekolah. Tiba-tiba seorang laki-laki mendekapnya dari belakang, kemudian ia harus melewati hari-hari buruk selama delapan tahun. Tak hanya May, ayahnya juga mengalami hari-hari buruk menyaksikan anak perempuannya menyakiti diri sendiri setiap mengingat malam itu. Ia kemudian melampiaskan kekesalan, rasa bersalah dan amarahnya dengan bertarung. Baik May dan Ayahnya sama-sama melewati trauma akibat kekerasan dengan melukai diri mereka. Proses menyadari dan memulihkan trauma yang mereka alami sangat panjang: mencoba bangkit, kemudian kembali lagi pada ruang gelap ketika ada hal-hal yang memicu trauma mereka.
(27 Steps of May, 2018)

Anak perempuan berumur sembilan tahun itu masih enggan untuk berbicara dengan ayahnya. Ia berusaha menutupi mukanya dengan selimut, merasa malu dengan kondisinya setelah kejadian yang dia alami. Pagi itu, hujan turun dengan lebat ketika ia pergi ke sekolah dengan payung kuningnya. Namanya Lim Suwon. Ibunya menyusulnya karena setelah ia kesal dengan sang ayah karena tidak mengikat rambutnya dengan baik. Teman-temannya sudah berlarian terlebih dahulu ke sekolah. Ketika hampir sampai sekolah, Ia dihampiri oleh seorang lelaki paruh baya yang membawa layang-layang. Laki-laki itu memintanya untuk berbagi payung dengannya. Namun nahas, laki-laki itu justru membawanya ke tempat konstruksi dan memperkosanya hingga ia mengalami luka parah di seluruh tubuhnya, termasuk di anus hingga perut. Setelah itu, ia harus menggunakan kantong kolostomi seumur hidupnya. Tak hanya itu, Suwon tentu saja juga harus menanggung trauma akibat kejadian hari itu, seumur hidupnya.
Hope, 2013)

May dan Suwon, menjadi dua individu yang harus merasakan penderitaan akibat kekerasan seksual yang terjadi ketika mereka masih muda. Tidak ada yang lebih sial di antara May maupun Suwon, keduanya mengalami kejadian yang sama buruknya, dan harus menanggung trauma atau bahkan luka fisik seumur hidupnya. Kedua cerita di atas memberikan sedikit penggambaran kepada kita tentang kesulitan yang dialami oleh korban Kekerasan Seksual (KS) yang juga merupakan salah satu bentuk dari Kekerasan Berbasis Gender (KBG) untuk pulih dari traumanya.

May, digambarkan mengalami trauma hebat setelah kejadian pemerkosaan. Ia banyak mengalami ketakutan–takut untuk keluar dari rumahnya, takut untuk bertemu orang lain selain ayahnya, bahkan ia memilih untuk selalu menggunakan pakaian lengan panjang, stocking, dan mengikat rambutnya dengan rapi.

Suwon digambarkan mengalami trauma yang tidak kalah buruknya. Ia tidak mau bertemu dengan laki-laki dewasa, termasuk ayahnya, sehingga ayahnya harus selalu menggunakan kostum Kokomong–karakter kesukaan Suwon, setiap kali menjaga Suwon ketika ia pergi ke sekolah. Tak hanya itu, Suwon mengalami ketakutan untuk tidak bisa kembali ke sekolah dan menghadapi rumor di sekolah karena ia harus menggunakan kantong kolostomi akibat operasi pengangkatan anus yang dijalaninya.

Trauma akibat kekerasan seksual tidak hanya dirasakan oleh May dan Suwon sebagai korban. Ayah May dan orang tua Suwon merasakan trauma yang tidak kalah beratnya. Ayah May, setiap hari harus menyaksikan kondisi May yang mengurung diri di rumah, bahkan di dalam kamarnya selama delapan tahun. Kondisi ini membuat Ayah May melampiaskan perasaan marah dan gagal sebagai seorang ayah dengan bertinju dan berkelahi setiap kali May menunjukkan kondisi yang buruk. Beberapa kali, Ayah May berusaha keluar dari kondisi trauma ini, namun karena tidak terdapat bantuan yang memadai, ia terus kembali ke tempat yang sama seperti sebelumnya.

Berbeda dengan orang tua Suwon. Trauma yang mungkin terjadi akibat peristiwa yang dialami oleh Suwon disadari sejak awal oleh konselor psikologis Sunflower Center yang menangani kasus Suwon. Ia menawarkan bantuan psikologi tak hanya untuk Suwon, melainkan juga untuk orang tuanya untuk menghadapi kondisi Suwon yang kemungkinan semakin berat. Meski awalnya ditolak oleh Ibu Suwon, sang konselor tetap mencoba memberikan bantuan melalui polisi perempuan yang menjaga Suwon dan Ibu Yeong-seok.

Pemberian Layanan Pasca Peristiwa Kekerasan Seksual Bagi Korban Maupun Keluarga Korban

Menyadari pentingnya bantuan yang diberikan kepada korban dan keluarga korban seharusnya menjadi fokus utama untuk pemulihan trauma. Ketika memberikan bantuan kepada korban kekerasan seksual, terdapat beberapa hal dasar yang penting untuk diinformasikan kepada keluarga korban. Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KPPPA) menyusun panduan terkait pemberian informasi dasar bagi korban dan keluarganya yang setidaknya mencakup informasi mengenai penyediaan layanan penanganan kekerasan berbasis gender, langkah-langkah yang bisa ditempuh untuk menyelesaikan kasus, hak-hak korban, tempat atau institusi yang menyediakan layanan untuk korban, saran rujukan bagi korban kekerasan seksual ke layanan kesehatan untuk mendapatkan penanganan pencegahan kehamilan atau penanganan kesehatan jika korban sudah dalam kondisi hamil, pemisahan korban dari pelaku jika pelaku adalah anggota keluarga, serta tindakan antisipasi pencegahan HIV/AIDS atau infeksi menular seksual lainnya.

Penyediaan informasi dan layanan seperti ini menjadi penting bagi korban dan keluarga korban untuk mengantisipasi hal-hal yang mungkin terjadi kepada korban dan keluarga korban pasca peristiwa kekerasan yang dialami. Informasi ini bisa diberikan oleh tenaga kesehatan yang pertama kali menangani pasien korban KBG, penyedia layanan psikologis, maupun mereka yang bekerja sebagai aparat yang menangani kasus KBG maupun KS.

Langkah ini terlihat pada pengalaman yang dialami oleh Suwon dan keluarganya. Tenaga kesehatan, konselor psikologis, hingga kepolisian yang menangani kasus Suwon memberikan dukungan bagi pemulihan trauma, baik bagi Suwon maupun keluarganya. Tenaga kesehatan melakukan penanganan secara cepat untuk memulihkan luka fisik yang dialami Suwon, memberikan pilihan-pilihan kepada orang tua Suwon untuk menyelamatkan hidupnya pasca kejadian dan bertindak dengan cepat.

Polisi juga berusaha mengungkap dengan cepat pelaku kekerasan seksual terhadap Suwon. Tak hanya itu, mereka menyediakan satu orang polisi perempuan yang berjaga di rumah sakit untuk memastikan Suwon tetap aman dan merahasiakan identitas Suwon maupun keluarganya dari media – ini digambarkan dengan melarang Ayah Suwon untuk datang ke kantor polisi ketika pelaku kekerasan seksual berhasil ditangkap. Bahkan, polisi perempuan yang bertugas untuk menjaga Suwon di rumah sakit memberikan rekomendasi layanan Sunflower Center untuk mendampingi Suwon pasca kejadian kekerasan seksual yang dialaminya.

Konselor Sunflower Center juga memiliki peran penting dalam proses pemulihan trauma Suwon. Sejak awal, ia menyarankan orang tuanya untuk membawakan mainan dan buku catatan yang dimiliki Suwon di rumah. Ketika Ayah Suwon membawakan boneka Kokomong, sang konselor langsung mengetahui, pendekatan apa yang harus dilakukan untuk membuat Suwon bercerita tentang kejadian yang dialaminya. Menyadari bahwa proses ini menimbulkan trauma yang cukup mendalam karena harus memanggil kembali ingatan atas kejadian kekerasan yang dialaminya, konselor ini kemudian mencoba memulihkan trauma Suwon dengan berbagai metode: menyewa kostum badut Kokomong dan teman-temannya, kemudian membuat seolah Kokomong dan teman-temannya adalah tokoh yang akan menemani Suwon melewati masa-masa sulitnya di rumah sakit. Selain itu, dalam proses pemulihan trauma yang dialami Suwon, ia tidak memaksa Suwon untuk berbicara dan mencoba memberikan apresiasi pada setiap cerita dan keresahan yang Suwon tuliskan.

Sang konselor tidak hanya berfokus pada pemulihan Suwon, ia juga memberikan konsultasi psikologis bagi Ibu Suwon. Hal ini dikarenakan sang konselor menyadari bahwa ketika orang tua Suwon merawat Suwon, rasa lelah secara fisik maupun mental jelas akan muncul. Ditambah lagi, trauma dan rasa bersalah atas kejadian yang menimpa anaknya juga semakin besar setiap harinya. Maka, perawatan psikologis terhadap Ibu Suwon juga dilakukan.

Pemberian Layanan Penanganan Kekerasan Seksual pada Situasi Bencana

Jika Suwon dan keluarganya bisa menerima bantuan penanganan kekerasan berbasis gender dengan cepat, apakah jika dalam kondisi bencana bantuan yang sama juga dapat diterima? Layanan penanganan kekerasan seksual seharusnya dilakukan dalam situasi dan kondisi apapun, termasuk dalam kondisi bencana. Hal ini dikarenakan layanan ini merupakan layanan esensial – baik dalam kondisi normal maupun kondisi bencana, siapapun dan di manapun bisa mengalami kekerasan. Maka, berbagai metode harus dipersiapkan untuk memenuhi kebutuhan pelayanan bagi korban KBG maupun keluarganya.

Berdasarkan protokol yang disusun oleh KPPPA, terdapat beberapa metode pengaduan yang bisa dilakukan korban maupun keluarga korban untuk mendapatkan layanan penanganan KBG selama pandemi. Layanan tersebut bisa diakses dengan metode daring atau melalui surat, metode tatap muka, dan penjangkauan korban pada titik-titik tertentu. Tak hanya itu, protokol rujukan ke layanan kesehatan dan rumah aman juga disediakan sebagai jaring pengaman yang dilakukan untuk penanganan korban yang memerlukan layanan kesehatan atau tempat tinggal aman sedini mungkin. Layanan psikososial, bantuan, serta pendampingan hukum juga tak kalah penting disediakan sebagai sebuah upaya untuk membantu pemulihan dan pemenuhan hak-hak korban KBG.

Tulisan ini dibuat dengan dukungan dari UNFPA Indonesia dan Pemerintah Jepang melalui Program Leaving No One Behind. 

#LeavingNoOneBehind #Everyonecounts #InclusiveC19Response