Choi Eun Suk merupakan seorang perempuan pasien kanker hati yang mengalami masalah saluran empedu parah. Ketika menjalani pemeriksaan, Lee Ik Jun, dokter yang menanganinya menemukan memar di dahi Choi Eun Suk dan menaruh curiga akan terjadinya kekerasan dalam rumah tangga oleh suami Choi Eun Suk.
Di kesempatan lain, Jang Gyeo Ul, seorang dokter residen bedah umum, menerima aduan dari wali pasien yang tinggal di ruangan yang sama dengan pasien Choi Eun Suk. Pada suatu malam, Jang Gyeo Ul tanpa sengaja memergoki suami pasien Choi Eun Suk melakukan kekerasan di ruang perawatan rumah sakit ketika sedang mabuk dan Jang Gyeo Ul mencoba untuk menghentikannya.
Selain sikap Jang Gyeo Ul yang menghentikan kekerasan yang dilakukan oleh pasien Choi Eun Suk, Lee Ik Jun juga telah bersiaga dengan tim keamanan rumah sakit dan menempatkan pasien Choi Eun Suk di ruang ICU untuk membantunya fokus memulihkan diri.
Kisah di atas merupakan salah satu adegan dari Drama Korea Hospital Playlist Musim 2 Episode 5 yang menceritakan bagaimana tenaga kesehatan (nakes) dapat berperan terhadap pengenalan, pencegahan dan penanganan kasus kekerasan berbasis gender (KBG) yang terjadi kepada pasien. Sebab, nakes bisa menjadi garda terdepan yang bisa diakses oleh pasien atau penyintas KBG ketika membutuhkan pertolongan secara medis atau fisik. Sikap dan tindakan Lee Ik Jun dan Jang Gyeo Ul dalam potongan adegan di atas menggambarkan peran nakes pada penanganan kasus kekerasan yang dialami oleh pasien. Kedua dokter tersebut menunjukkan pengamatan yang jeli pada kondisi medis pasien (misalnya, memar di bagian tubuh yang sebabnya tidak dapat dijelaskan oleh pasien), empati dan komitmen untuk memprioritaskan keselamatan pasien (misalnya, menindaklanjuti laporan tindak kekerasan), serta dukungan multipihak untuk memastikan pasien mendapatkan hak atas keadilan dan pemulihan (misalnya, mengupayakan dukungan dari lingkungan agar pasien dapat fokus pada pemulihan).
Di tengah situasi pandemi COVID-19 di mana angka kekerasan terhadap perempuan terus meningkat, kepekaan dan pengetahuan mengenai peran beragam aktor komunitas, termasuk di dalamnya tenaga kesehatan dalam upaya pencegahan dan penanganan KBG menjadi sangat penting. Pembatasan sosial yang ditetapkan pemerintah untuk mengurangi laju penularan COVID-19 menuntut kita untuk lebih banyak tinggal di rumah. Hal ini meningkatkan kemungkinan terjadinya kekerasan di dalam rumah yang dilakukan oleh keluarga dan pasangan, terutama dalam sulitnya kondisi sosio-ekonomi akibat pandemi. Kondisi ini diperparah dengan terputusnya akses layanan kesehatan fisik maupun mental yang memadai bagi perempuan.
Kondisi Seperti Apa yang Dialami Perempuan Selama Pandemi?
Pandemi COVID-19 membuat kerentanan perempuan semakin bertambah – tak hanya berisiko untuk terpapar Virus Corona, selama pandemi perempuan juga berisiko terdampak perubahan sosial seperti meningkatnya ketidaksetaraan, diskriminasi, eksploitasi, hingga memengaruhi kondisi mental perempuan. Data dampak pandemi terhadap gender yang dilaporkan oleh UN Women pada Oktober 2020 menyebutkan bahwa 36% perempuan di Indonesia mengalami penurunan waktu kerja berbayar sejak pandemi. Tak hanya itu, kebijakan pembatasan sosial juga mengakibatkan 61% perempuan di Indonesia mendapatkan beban tambahan untuk melakukan pekerjaan domestik atau perawatan tak berbayar. Akibatnya, 57% perempuan mengalami peningkatan stress dan kecemasan selama pandemi.
Kebijakan pembatasan sosial selama pandemi memiliki dampak yang berbeda bagi perempuan maupun laki-laki. Bagi laki-laki yang dipersepsi sebagai pencari nafkah utama, perubahan kondisi sosial-ekonomi seperti pemutusan hubungan kerja (PHK), pengurangan pendapatan, maupun ketegangan lainnya di tempat kerja dapat memperburuk kondisi psikologis serta meningkatkan rasa frustasi karena merasa tidak dapat memenuhi tuntutan peran gendernya. Sementara bagi perempuan, kondisi pandemi menjadi sebuah hal yang berat karena munculnya beban berlapis – perempuan pekerja harus membagi dirinya menyelesaikan pekerjaan domestik sekaligus ekonomi, sedangkan para ibu rumah tangga tak hanya harus menyelesaikan pekerjaan rumah, namun juga harus membantu proses belajar anak-anak mereka yang dilakukan secara daring. Tak hanya itu, peran gender yang melekat pada perempuan sebagai seorang pengasuh utama keluarga juga memungkinkan perempuan mendapatkan beban tambahan seperti merawat kesehatan anggota keluarga lansia atau merawat keluarga yang sedang sakit. Dalam kondisi dan situasi ini, perempuan dan anak perempuan kemudian berisiko untuk mengalami kekerasan berbasis gender (KBG) yang lebih tinggi karena meningkatnya ketegangan di dalam rumah akibat terbatasnya mobilitas, perubahan pola pekerjaan, maupun terbatasnya akses layanan kesehatan mental selama pandemi.
Layanan pencegahan, mitigasi risiko dan penanganan KBG diperlukan oleh perempuan dan kelompok marginal lainnya seperti difabel dan lansia karena kerentanan yang dipengaruhi berbagai faktor – ketidaksetaraan gender, usia, kondisi fisik atau disabilitas, serta posisi geografis. Sayangnya, layanan yang diperlukan ini justru berkurang karena terbatasnya sumber daya yang dialihkan untuk penanganan pandemi secara umum. Hasil survei cepat yang dilakukan oleh Badan Perencanaan Pembangunan Nasional, Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Anak, bersama dengan UNFPA tentang Kekerasan Berbasis Gender menyebutkan bahwa perempuan yang mengalami KBG selama pandemi mengalami hambatan tambahan untuk melaporkan kekerasan yang mereka alami karena posisi mereka yang selalu berdekatan dengan pelaku selama pembatasan sosial (Hasil survei ini disebutkan dalam Panduan Hak Perempuan dari Diskriminasi dan Kekerasan Berbasis Gender dalam Situasi Pandemi oleh Kementerian PPPA, UN Women dan UNFPA). Akibatnya stigma, subordinasi, marginalisasi, beban ganda, serta KBG meningkat dan diterima oleh perempuan dan kelompok marginal lainnya dalam berbagai aspek kehidupan.
Peran Tenaga Kesehatan dalam Upaya Penanganan dan Pencegahan KBG
Dengan menyadari kerentanan perempuan dalam mengalami KBG selama pandemi, kesiapsiagaan dan mitigasi perlu dilakukan untuk melakukan pencegahan, pengenalan dan penanganan kasus KBG. Bagi tenaga kesehatan, empati adalah hal pertama yang dapat diberikan kepada korban KBG sebagai pintu untuk melakukan deteksi awal terjadinya KBG pada pasien. Tenaga kesehatan juga harus memperlakukan korban tanpa menghakimi apa yang sudah terjadi padanya. Misalnya, jika Anda adalah tenaga kesehatan dan mencurigai adanya kekerasan berbasis gender yang terjadi pada pasien yang ditangani, tinggalkan pemikiran bahwa kekerasan yang dialami oleh pasien merupakan akibat dari pakaian yang dikenakan, sikap korban atau asumsi-asumsi lain yang menyalahkan korban dan membenarkan perilaku pelaku kekerasan.
Hindari juga mengajukan pertanyaan secara mendalam atas kekerasan yang dialami pasien karena dapat memicu trauma. Daripada menghujani pasien dengan pertanyaan-pertanyaan terkait kejadian, menanyakan kebutuhan pasien dan bantuan apa yang diperlukan dengan tetap menghormati pasien dan menjaga kerahasiaan informasi menjadi hal yang lebih penting untuk dilakukan. Yang harus diingat, terpenuhinya rasa aman dan nyaman bagi pasien saat mengakses layanan kesehatan, serta keamanan psikologis dalam pemulihan adalah hal yang paling penting dilakukan. Terpenuhinya keamanan pada pasien akan membantu pemulihan tahap pertama pasien dengan baik, dan membuka kemungkinan untuk memberi keyakinan kepada pasien dalam proses menuntut keadilan hukum pada dirinya.
Jika ditemukan tanda-tanda kekerasan fisik pada pasien, yang dapat dilakukan adalah melakukan intervensi sesuai dengan kompetensi yang dimiliki. Tenaga kesehatan dapat berperan secara kuratif dengan mengobati luka fisik dan menyediakan kebutuhan medis lainnya seperti visum et repertum untuk membantu proses hukum. Jika pasien adalah korban kekerasan seksual, bantuan yang bisa diberikan adalah pertolongan awal berupa pemberian kontrasepsi darurat, obat pencegahan infeksi menular seksual, dan tindakan darurat medis lainnya.
Yang sudah dilakukan oleh Lee Ik Jun dan Jang Gyeo Ul pada pasien Choi Eun Sulk pada drama Hospital Playlist di awal artikel sudah menjadi sebuah sikap yang tepat. Jika Anda adalah seorang tenaga medis seperti Ik Jun dan Gyeo Ul, Anda bisa memberikan ruang aman kepada pasien dengan memindahkan pasien ke tempat dengan akses terbatas sebagai langkah yang untuk menjauhkan korban dari pelaku kekerasan. Di saat yang bersamaan, pengobatan dan pemulihan fisik juga dilakukan kepada pasien. Selain hal-hal di atas, tenaga kesehatan juga dapat menjalankan langkah preventif dengan memberikan informasi terkait kekerasan berbasis gender secara berkala kepada pasien yang datang maupun kepada sejawat yang ada di lingkungan pelayanan kesehatan.
Upaya yang dilakukan tenaga kesehatan untuk menciptakan lingkungan yang aman bagi pasien korban KBG tidak bisa dilakukan satu pihak saja. Ketegangan, ketakutan, dan stress akibat wabah COVID-19 dapat memperburuk dan meningkatkan bahaya serta risiko kelompok rentan mengalami kekerasan. Oleh karenanya, dukungan dan kerjasama multipihak dengan perspektif gender di berbagai lapisan diperlukan untuk mencegah perburukan situasi dan risiko kelompok rentan mendapatkan kekerasan. Meningkatkan koordinasi dan kualitas pelayanan, pencegahan, dan penanganan kekerasan berbasis gender di berbagai wilayah untuk mencapai respons yang tepat dan relevan sesuai dengan kebutuhan komunitas adalah beberapa langkah yang perlu dilakukan oleh berbagai pihak untuk memberikan perlindungan dan layanan KBG bagi masyarakat yang membutuhkan.
Tulisan ini dibuat dengan dukungan dari UNFPA Indonesia dan Pemerintah Jepang melalui Program Leaving No One Behind.
#LeavingNoOneBehind #Everyonecounts #InclusiveC19Response
0 Comments
Leave A Comment