Pada artikel sebelumnya, kita sudah banyak membahas tentang siapa saja yang disebut dengan kelompok rentan, situasi seperti apa yang mereka hadapi terkait kekerasan berbasis gender, serta dukungan apa saja yang bisa kita berikan kepada penyintas dalam situasi darurat kebencanaan. Artikel ini secara khusus akan membahas tentang inovasi pemberian layanan penyintas kekerasan berbasis gender (KBG) dengan melihat praktik baik yang dilakukan oleh beberapa lembaga penyedia layanan.

Salah satu lembaga penyedia layanan yang melakukan praktik baik dalam memberikan inovasi layanan KBG bagi kelompok rentan adalah Himpunan Wanita Difabel Indonesia (HWDI). Selama situasi bencana COVID-19, HWDI telah melakukan beberapa praktik baik, diantaranya, pada tiga bulan pertama, para penyandang disabilitas yang tergabung dalam HWDI tetap berkomunikasi melalui telepon dan saling menguatkan satu sama lain. Pada tiga bulan kedua, HWDI mulai melakukan aksi dengan membantu program pemerintah untuk menyalurkan bantuan bahan pokok dari pemerintah kepada anggota HWDI. Selain itu, HWDI juga mengadakan pelatihan tentang CRPD, CEDAW, kesetaraan gender, teknik advokasi lobbying dan wawancara, serta membuat beberapa video sebagai bentuk media Komunikasi, Informasi, dan Edukasi (KIE). Kajian terkait Standar Pelayanan Minimal (SPM) di 15 kabupaten juga dilakukan dengan melibatkan perempuan disabilitas sebagai enumerator atau individu yang bertugas untuk melakukan sensus secara langsung ke masyarakat. Melalui praktik-praktik baik ini HWDI ingin mencapai beberapa hal seperti meningkatkan sumber daya manusia, khususnya perempuan disabilitas dengan membuka lapangan pekerjaan, serta menjalin kerja sama yang baik antara HWDI dengan pemerintah lokal.

Selain HWDI, Lembaga Bantuan Hukum (LBH) APIK Jakarta juga melakukan beberapa praktik baik seperti memetakan penyebab terjadinya kekerasan dalam hubungan (KDH) selama bencana COVID-19 dan upaya apa yang dapat dilakukan dalam menangani KDH. Beberapa langkah yang diambil oleh LBH APIK Jakarta dalam melakukan penanganan kasus KDH antara lain melakukan penguatan penyintas untuk membuat penyintas percaya diri dan merasa nyaman menceritakan kasusnya, tidak menyalahkan penyintas, menghargai segala bentuk pilihan penyintas, menghubungi dan mendampingi penyintas ke rumah aman jika diperlukan, menghubungi Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) jika terjadi ancaman kepada penyintas serta mendampingi penyintas, bekerja sama dengan lembaga pendamping perempuan dan pemulihan psikologis dan mengedukasi penyintas terkait aspek hukum atas kasus yang dialami. Inovasi lain yang berhasil dilakukan oleh LBH APIK Jakarta adalah berhasil melakukan sidang pengadilan dan pemeriksaan berita acara informasi (BAI) oleh penyidik secara daring dari kantor LPSK. Selain itu, LBH APIK Jakarta juga berhasil mendorong penyelesaian melalui somasi bagi kasus-kasus KBGS.

Perkawinan usia anak dalam situasi bencana menjadi salah satu masalah yang sering luput dari perhatian banyak orang. Meskipun demikian, Koalisi Perempuan Indonesia (KPI) dan Lembaga Advokasi Perempuan Damar tetap menaruh perhatian pada permasalahan perkawinan anak di masa kebencanaan. KPI misalnya, selama pandemi melakukan inovasi berupa penjangkauan kasus perkawinan anak, pencatatan informasi, memberikan pendidikan kepada komunitas terkait dampak buruk perkawinan usia anak, serta penguatan kapasitas bagi kelompok muda dan remaja sebagai upaya pencegahan perkawinan anak. Sedangkan Lembaga Advokasi Perempuan Damar membagi upaya pencegahan perkawinan anak melalui beberapa tahap strategi, yakni Strategi I yang dilakukan dengan diskusi kritis terkait pencegahan perkawinan di bawah usia 21 tahun. Kemudian, Strategi II dilakukan dengan melibatkan masyarakat, khususnya kelompok muda secara langsung melalui gerakan pencegahan perkawinan anak. Strategi III dilakukan dengan mengajak perempuan muda membangun kewirausahaan ekonomi untuk memperkuat kemandirian ekonomi dan posisi tawar. Sedangkan strategi terakhir dilakukan dengan penguatan forum multi stakeholder untuk mengadvokasi kebijakan daerah terkait pencegahan perkawinan anak dan pemenuhan hak keserhatan seksual dan reproduksi (HKSR).

Melalui beberapa praktik baik di atas, dapat disimpulkan jika pemenuhan kebutuhan bagi penyintas KBG masih dapat dilakukan oleh lembaga penyedia layanan meski dalam situasi kebencanaan COVID-19. Diketahui juga bahwa lembaga penyedia layanan sudah cukup sadar akan perlunya pemetaan kembali permasalahan KBG pada kelompok rentan dalam situasi kebencanaan COVID-19. Pemetaan ini dilakukan sebagai dasar lembaga layanan melakukan pemenuhan kebutuhan korban KBG dengan berbagai inovasi dan penyesuaian terkait situasi dan kondisi kebencanaan yang terjadi. Namun, upaya ini tidak bisa dilakukan oleh lembaga penyedia layanan sendirian. Perlu adanya kerjasama multisektoral untuk memastikan terpenuhinya akses layanan yang memadai dan setara bagi semua orang.

Tulisan ini dibuat dengan dukungan dari UNFPA Indonesia dan Pemerintah Jepang melalui Program Leaving No One Behind. 

#LeavingNoOneBehind #Everyonecounts #InclusiveC19Response