Kekerasan berbasis gender (KBG) di Indonesia terjadi selayaknya fenomena gunung es–satu kasus terungkap, namun masih ada lebih banyak kasus yang tidak diketahui atau dilaporkan. Komnas Perempuan menyebutkan bahwa dalam 12 tahun terakhir terjadi peningkatan delapan kali lipat. Kondisi ini kemudian diperparah dengan terjadinya pandemi COVID-19 sejak tahun 2020, yang menyebabkan peningkatan KBG sebanyak 63%. KBG sendiri dianggap sebagai fenomena the shadow pandemic atau bayangan pandemi yang terjadi sebagai dampak lain yang tidak terlihat dari terjadinya kondisi dan situasi epidemi, serta dampak lainnya yang menyertainya, seperti pembatasan sosial berskala besar dan kondisi ekonomi yang memburuk. Dalam situasi krisis, ketidakadilan gender menjadi salah satu hal yang mungkin terjadi, termasuk pada situasi pandemi COVID-19. Antisipasi atas timbulnya ketidakadilan gender dalam situasi kebencanaan seringkali luput dari perhatian dan sangat minim dilakukan. Akibatnya, faktor risiko yang meningkatkan diskriminasi dan kekerasan terjadi.
KemenPPPA bersama dengan UNFPA dan UN Women menyatakan terdapat sembilan jalur yang menghubungkan terjadinya pandemi COVID-19 dan kekerasan berbasis gender. Sembilan jalur tersebut antara lain:
- Ketidakamanan ekonomi dan stress terkait dengan kemiskinan;
- Karantina dan isolasi sosial;
- Bencana dan konflik atau kerusuhan akibat keresahan dan ketidakstabilan;
- Keterpaparan pada hubungan yang eksploitatif karena adanya perubahan demografi, misalnya perubahan tempat tinggal, jumlah anggota keluarga, terpisah dengan anggota keluarga, dan karantina;
- Berkurangnya ketersediaan layanan kesehatan dan akses terhadap layanan primer atau responden pertama;
- Ketidakmampuan perempuan dan anak-anak untuk sementara waktu untuk menghindarkan diri dari pasangan atau anggota keluarga yang melakukan kekerasan;
- Kekerasan yang berkaitan dengan terinfeksi virus atau penyakit yang diderita;
- Paparan pada kekerasan, paksaan, atau eksploitasi yang berasal dari upaya tanggap darurat, penanganan, atau petugas penanganan itu sendiri; dan
- Kekerasan yang dilakukan oleh tenaga kesehatan
Sebuah survei kepada 315 penyintas KBG di 25 provinsi yang dilakukan oleh Jakarta Feminist pada tahun 2020 menyatakan bahwa 52,2 persen responden mengalami kekerasan selama pandemi dan 55 persen di antaranya adalah perempuan. Dari angka tersebut, 22 persen di antaranya merupakan penyintas yang baru mengalami kekerasan setelah pandemi terjadi. Melalui survei ini juga diketahui bahwa jenis kekerasan yang terjadi juga beragam dengan kekerasan verbal sebagai kekerasan yang paling banyak terjadi, yakni sekitar 79 persen.
Selain kekerasan verbal, kekerasan jenis lain juga mengalami peningkatan selama pandemi, misalnya saja kekerasan psikis terjadi sebanyak 77 persen, kekerasan seksual sebanyak 65 persen, kekerasan online sebanyak 48 persen, kekerasan fisik sebanyak 39 persen, dan kekerasan ekonomi sebanyak 24 persen. Situasi pandemi COVID-19 juga membuat rumah yang dianggap menjadi sebuah tempat paling aman justru menjadi lokasi terjadinya kekerasan. Hal ini dibuktikan dengan 56 persen responden yang menyatakan bahwa mereka mengalami kekerasan di dalam rumah tinggal mereka yang artinya separuh dari penyintas mendapatkan kekerasan dari orang terdekat.
Kondisi ini didorong oleh diberlakukannya kebijakan physical distancing atau menjaga jarak yang memaksa kita untuk lebih banyak tinggal dan beraktivitas dari rumah. Data Komnas Perempuan menunjukkan bahwa dinamika yang terjadi akibat COVID-19 juga berakibat pada meningkatnya beban kerja pada perempuan. Jika sebelum pandemi perempuan memiliki beban untuk bekerja dan mengurus rumah tangga, setelah pandemi, perempuan memiliki beban tambahan berupa tugas pengasuhan dan pendidikan anak. Untuk melindungi perempuan dan kelompok rentan lainnya dari risiko diskriminasi dan kekerasan yang terjadi, diperlukan langkah-langkah spesifik dan dilakukan secara multisektoral, minimal pada sektor kesehatan, layanan sosial, hukum dan HAM, keamanan, dan komunitas.
Tulisan ini dibuat dengan dukungan dari UNFPA Indonesia dan Pemerintah Jepang melalui Program Leaving No One Behind.
#LeavingNoOneBehind #Everyonecounts #InclusiveC19Response
0 Comments
Leave A Comment