Trauma psikologis merupakan respon dari pengalaman luar biasa yang diluar kapasitas seseorang untuk menghadapinya. Peristiwa ini bisa jadi disebabkan oleh alam (bencana, pandemi) maupun perilaku manusia (situasi perang, kekerasan, pelecehan atau kecelakaan). Selain itu, pengalaman traumatis bisa terjadi sekali dalam hidup (sebuah peristiwa perkosaan) atau terjadi berulang-ulang (kekerasan domestik). Bagiamana pun situasinya, pengalaman traumatis ini sangat memengaruhi perasaan, pikiran bahkan fisiologis seseorang. 

Respon trauma tentu sangat subjektif bagi setiap korban. Perasaan tidak berdaya menghadapi situasi secara fisiologis maupun psikologis menjadi respon yang khas bagi korban.  Terdapat beberapa hal yang memengaruhi keparahan dampak dari peristiwa traumatik, seperti bentuk peristiwa, usia korban ketika kejadian, relasi terhadap perilaku, berapa lama dan seringnya korban berada dalam situasi tersebut. Penghayatan subjektif ini membuat kita perlu menyadari bahwa pada situasi yang dianggap tidak traumatis bagi seseorang, bukan berarti juga demikian pada orang lain. 

Trauma psikologis yang tidak diproses dan berkepanjangan dapat mengarah pada gangguan psikologis Post-Traumatic Stress Disorder (PTSD). Berdasarkan DSM-V, PTSD ditandai dengan adanya intrusi dari pengalaman traumatis seperti flashback atau bayangan yang jelas dan waspada serta reaktif berlebihan terhadap situasi-situasi terkait dengan kejadian traumatis.  Pasca situasi traumatik, bisa jadi situasi sekecil apapun memicu korban memunculkan reaksi yang luar biasa seakan peristiwa tersebut terulang kembali.

Trauma psikologis dapat mengubah penghayatan seseorang terhadap hidup yang dijalani. Situasi yang terjadi diluar kontrol dan kapasitas seseorang, membuatnya berpikir bahwa ia tidak dapat menjalani kehidupan normal seperti apa yang ia pikirkan sebelumnya. Dunia menjadi tempat yang selalu dan sangat berbahaya.  Trauma juga bisa mengubah pandangan seseorang terhadap dirinya sendiri, yaitu melihat diri tidak berdaya, menyalahkan diri atau melihat diri sudah rusak atau hancur. Akibatnya, seseorang melihat bahwa  sudah tidak ada harapan untuk hidup kedepannya. Ia melihat bahwa semua yang terjadi sia-sia karena peristiwa traumatis yang pernah terjadi. Hal ini sangat sering muncul pada korban-korban kekerasan di masa kecil yang terus dihantui pengalaman traumatis hingga dewasa. Pergulatan untuk melanjutkan atau mengakhiri hidup bisa jadi hal yang sering terjadi dalam diri mereka.  

Bagi seseorang yang mengalami peristiwa traumatis, apalagi ketika peristiwa tersebut terjadi dalam waktu lama, hidup jadi terasa sulit dijalani. Perilaku menyakiti diri mungkin dilakukan bukan karena suka terhadap rasa sakit, namun dianggap sebagai cara untuk mengeluarkan beban psikologis yang membelenggu. Keinginan untuk menyerah mungkin bukan karena suka dengan ide menghilangkan diri, namun penghayatan bahwa tidak ada apapun yang dilakukan dapat membuatnya merasa lebih baik. Penelitian jangka panjang menemukan bahwa peristiwa traumatis berhubungan dengan banyak gangguan psikologis dan tindakan atau pikiran untuk mengakhiri hidup.

Harapan, salah satu faktor yang dapat dikembangkan untuk menumbuhkan resiliensi pasca peristiwa traumatis. Harapan merupakan proses berpikir yang didasarkan pada penghayatan keberhasilan mencapai sebuah tujuan. Ada dua dasar berpikir dalam harapan, yaitu:

  1. Keyakinan diri bahwa seseorang mampu untuk memulai dan mempertahankan perilaku sesuai dengan tujuan.
  2. Keyakinan seseorang bahwa ia mampu untuk membuat strategi mencapai tujuan yang telah ditetapkan.

Hal penting yang perlu diingat bahwa harapan merupakan cara berpikir, yang artinya dapat dipelajari. Semua orang, termasuk penyintas peristiwa traumatis, dapat mengembangkan harapan.

Berikut hal-hal yang dapat kamu lakukan untuk menumbuhkan harapan:

  1. Harapan selalu terkait dengan tujuan karena hidup manusia bergerak menuju sesuatu. Mengembangkan harapan bisa dimulai dengan membuat tujuan yang ingin dicapai. 
    • Buatlah tujuan yang ingin dicapai sesuai dengan kondisimu saat ini. Tujuan bisa jadi hal sederhana seperti kegiatan menyenangkan yang ingin dilakukan di akhir pekan atau menyelesaikan satu tugas pada esok hari. 
    • Hati-hati dengan tujuan yang tidak jelas seperti “aku tidak ingin merasa sakit”. Coba buat tujuan dengan jelas, dapat diukur dan menggunakan kalimat positif. Apa yang akan kamu lakukan ketika kamu tidak merasa sakit? Dari situ kamu mungkin bisa membuat tujuan yang lebih jelas, misalnya “aku ingin menghabiskan waktu dengan teman-teman” atau “aku ingin kembali melakukan hobi”.
  2. Eksplor strategi yang dapat kamu lakukan untuk mencapai tujuan tersebut.
    • Kenali sumber daya yang kamu miliki saat ini yang bisa membantumu mencapai tujuanmu. Misalnya sumber dukungan, keterampilan, kekuatan atau kualitas positif dari dirimu.
    • Identifikasi hal-hal yang bisa menghambatmu dalam melakukan kegiatan untuk mencapai tujuan. Kenali situasi-situasi yang rentan membuatmu terpuruk dan beri penguatan kepada dirimu untuk melaluinya.
  3. Apresiasi setiap usahamu, meskipun ketika tujuan belum tercapai. Seringkali, tujuan yang kita buat mungkin tidak bisa dicapai dengan mudah atau dalam waktu singkat. Bagi penyintas trauma, hambatan dan perasaan terjebak bisa dirasakan secara intens. Upaya mengenali satu hal yang sudah kamu lakukan dengan baik bisa meningkatkan rasa keberdayaan diri dalam mengatasi kesulitan.

Masa lalu, masa kini dan masa depan merupakan cerita utuh dari hidup seseorang. Peristiwa traumatis memang menjadi bagian dalam cerita penyintas. Terus bertaut pada masa lalu pada akhirnya membuat kita terjebak pada situasi yang sebenarnya sudah tidak terjadi lagi. Mengembangkan harapan membantu kita untuk kembali berjejak pada saat ini dan menumbuhkan keberdayaan untuk bergerak ke masa depan.[]

By: Karina Devany, M.Psi Psikolog

Sumber:

Belik, S. L., Cox, B. J., Stein, M. B., Asmundson, G. J., & Sareen, J. (2007). Traumatic events and suicidal behavior: Results from a national mental health survey. The Journal of nervous and mental disease, 195(4), 342-349.

Giller, E. (1999). What is psychological trauma. Sidran Institute, 15, 2021.

Van der Kolk, B. (2014). The body keeps the score: Mind, brain and body in the transformation of trauma. Penguin UK.

Center for Substance Abuse Treatment. (2014). Understanding the impact of trauma. In Trauma-informed care in behavioral health services. Substance Abuse and Mental Health Services Administration (US).

Satici, S. A. (2016). Psychological vulnerability, resilience, and subjective well-being: The mediating role of hope. Personality and Individual Differences, 102, 68-73.