“Setiap saya mau menutup mata di malam hari, bayangan masa kecil saya selalu muncul. Ketika saya berinteraksi dengan orang lain, saya membayangkan bagaimana orang-orang memperlakukan saya di masa kecil…Saya malu dengan diri saya karena selalu terbayang kejadian itu.”
Ketika berbicara tentang trauma, apa yang langsung muncul dalam benakmu? Peristiwa bencana alam, penjambretan, kecelakaan dan kehilangan orang yang dikasihi karena meninggal. Itu semua benar. Trauma bisa dilihat sebagai hasil dari sebuah peristiwa besar yang terjadi tiba-tiba diluar kapasitas kita untuk memprosesnya saat itu. Kejadian traumatis yang lebih mudah kita identifikasi karena kejadian pemicunya sangatlah jelas. Akan tetapi, bila kita meninjau kembali, ada juga kejadian traumatis yang mungkin lebih tidak kentara yaitu complex trauma. Rangkaian peristiwa traumatis yang berlangsung dalam jangka waktu lebih lama, yang membuat korbannya merasa kewalahan dan tidak berdaya dalam situasi tersebut.
Penggalan kalimat di awal tulisan ini merupakan gambaran dari orang dewasa yang mengalami complex trauma. Complex trauma merupakan paparan kejadian traumatis yang dialami seseorang pada masa kanak-kanak. Peristiwa traumatis ini bisa berupa tindak kekerasan, pengabaian atau pelecehan sehingga dapat berpengaruh pada perkembangan seseorang. Hal yang bisa memengaruhi keparahan dari dampak peristiwa traumatis ini, terutama jika dilakukan oleh orangtua atau pengasuh sehingga korban terus berkontak dengan pelaku.
Tentu saja tidak semua penyintas complex trauma di masa kanak-kanak menunjukkan dampak negatif berkepanjangan dari peristiwa tersebut. Namun, distress yang tidak ditangani dengan baik dapat menyebabkan masalah yang berkepanjangan bahkan sampai di tahap dewasa. Kesulitan meregulasi emosi, merasa malu yang intens, sulit untuk menjalin relasi dan pemikiran untuk mengakhiri hidup merupakan gejala yang tampil pada orang dewasa yang mengalami complex trauma. Hal ini bisa menjadi gangguan ketika mengganggu kehidupan sehari-hari (complex PTSD menurut ICD 11).
Pengalaman yang tidak diproses membuat penyintas berada dalam mode waspada sepanjang waktu. Ia terlalu larut dalam memori traumatis di masa lalu atau berusaha menekan perasaan-perasaan negatif yang ada. Hal ini membuatnya menjadi kehabisan energi mental untuk berjejak dan memproses pengalaman yang terjadi saat ini. Kabur (flight) atau menyerang (fight) menjadi pola reaktif dalam menghadapi situasi menekan sekecil apapun. Apabila sebuah situasi dianggap terlalu berat, ia seakan tidak memiliki sumber daya apapun untuk menghadapinya sehingga merespon dengan diam (freeze). Pola yang berulang dari cara menghadapi tekanan membuat pengalaman traumatis di masa lalu seakan tidak pernah berhenti karena terus dijalani dalam benak sampai hari ini.
Complex trauma dapat mengguncang bagaimana seseorang memandang dan menginterpretasi diri, orang lain dan lingkungan sekitarnya. Perlakuan negatif yang terus dialami penyintas di masa kecil membentuknya memiliki pemahaman bahwa lingkungan sekitar selalu mengancam atau mengharapkan sesuatu dari dirinya. Di sisi lain, penyintas juga seringkali memandang bahwa dirinya merupakan “produk gagal” karena segala hal buruk yang diberikan kepadanya. Orangtua atau pengasuh yang penuh kritik juga membentuk perasaan benci dan malu atas diri sendiri. Meskipun benci dengan pengalaman yang dimiliki, ia juga berpikir bahwa perlakuan tersebut adalah hal yang pantas untuk diterimanya. Di masa dewasa, mempercayai diri dan lingkungan menjadi hal yang sulit untuk dilakukan.
Sikap mengkritik dan membenci diri sendiri akan berputar menjadi lingkaran setan. Membangun relasi positif dengan diri sendiri dan orang lain menjadi hal yang sangat sulit. Seseorang yang selalu melihat dirinya tidak pantas akhirnya mengisolasi diri dan menganggap bahwa dunia yang ia miliki hanya penuh dengan kemalangan. Menghadapi kecenderungan sudut pandang seperti ini, penyintas justru sebaiknya menumbuhkan sikap belas kasih pada diri sendiri atau self-compassion.
Self-compassion memiliki 3 komponen di dalamnya, yaitu bersikap baik dan penuh pengertian terhadap diri di tengah situasi sulit/sengsara (self-kindness), melihat bahwa kesengsaraan yang dialami seseorang merupakan bagian dari pengalaman semua orang (common humanity), menyikapi pikiran dan perasaan negatif dengan sikap terbuka dan jejak pada saat ini (mindfulness). Berkebalikan dari sikap membenci diri dan melihat bahwa diri terisolasi dalam kesengsaraan, self-compassion mengajak penyintas untuk melihat bahwa ia justru bersikap lembut terhadap diri atas kesulitan yang dihadapi. Penyintas juga berusaha melihat bahwa peristiwa traumatis yang terjadi di masa lalu, memang pernah menjadi bagian dari hidup, namun bukan satu-satunya narasi yang dimiliki. Menyadari bahwa siapa diri kita, kapasitas kita, lingkungan dan orang yang kita hadapi saat ini sudah berbeda dari yang ada di masa lalu.
Mari melatih sikap berbelas kasih pada diri sendiri. Coba kamu bayangkan ketika temanmu mengalami kesulitan, apa kira-kira yang akan kamu sampaikan kepadanya? Semakin menjatuhkannya atau mencoba untuk menghiburnya? Tentu kita akan berusaha untuk memahami dan memberikan penghiburan pada teman. Mungkin tanpa kata-kata yang bisa diberikan, kita memberikan pelukan yang hangat padanya. Coba lakukan itu kepada diri sendiri juga. Ketika kamu mengalami kesulitan dan ingin mengkritik atau menyakiti diri, kamu bisa bayangkan “Apa yang akan dikatakan/dilakukan seorang teman baik kepadaku di saat ini?”. Selain itu, sadari apa yang kita rasakan dari pengalaman sehari-hari. Belajar lah bersikap lembut ketika kita menemui kesulitan di hari itu dan mulai mengapresiasi setiap hal yang sudah kita coba lakukan. Ingat lah, tindakan belas kasih yang kita berikan justru hal yang paling kita butuhkan ketika menghadapi kesengsaraan.
By: Karina Devany, M.Psi Psikolog
Sources:
www.nhs.uk/mental-health/conditions/post-traumatic-stress-disorder-ptsd/complex/
Barnard, L. K., & Curry, J. F. (2011). Self-compassion: Conceptualizations, correlates, & interventions. Review of general psychology, 15(4), 289-303.
Lord, S. A. (2013). Meditative dialogue: Cultivating compassion and empathy with survivors of complex childhood trauma. Journal of Aggression, Maltreatment & Trauma, 22(9), 997-1014.
Strand, M., & Stige, S. H. (2021). Combining mindfulness and compassion in the treatment of complex trauma–a theoretical exploration. European Journal of Trauma & Dissociation, 5(3), 100217.
0 Comments
Leave A Comment