Pernikahan usia anak atau di bawah umur merupakan fenomena yang hingga saat ini masih sering terjadi, khususnya pada daerah-daerah terpencil di dunia. Pernikahan anak terjadi secara global dengan tingkat yang berbeda, terutama di negara berkembang. Di Indonesia sendiri, fenomena ini biasanya didukung oleh kondisi ekonomi keluarga yang di bawah rata-rata, adat, interpretasi agama hingga budaya. Padahal ada banyak aspek yang perlu diperhatikan dalam sebuah pernikahan, mulai dari usia yang cukup, kesiapan mental, dan faktor-faktor pendukung lainnya. Dapat dibayangkan, bila hal-hal prinsip tidak dipenuhi, seperti pernikahan anak misalnya, maka hal tersebut dapat menghancurkan masa depan anak.
United Nation beserta organisasi internasional lainnya mendefinisikan pernikahan anak sebagai pelanggaran terhadap anak dan hak asasi manusia. Berdasarkan United Nations Children’s Fund atau UNICEF, pernikahan anak mengacu pada pernikahan yang dilakukan secara formal atau persatuan secara informal antara seorang anak di bawah usia 18 tahun dan seorang dewasa atau anak lainnya. Pernikahan anak dapat mengambil masa kecil anak-anak, baik anak perempuan maupunlaki-laki serta mengancam kehidupan dan kesehatan mereka.
Dalam praktiknya, pernikahan anak dianggap sebagai bentuk pernikahan paksa, mengingat salah satu atau kedua belah pihak belum menyatakan persetujuan secara penuh dan bebas. Berdasarkan data yang dimiliki oleh UNICEF, anak-anak yang terlibat dalam pernikahan anak memiliki tingkat ekonomi dan kesehatan yang lebih buruk dibandingkan dengan teman-teman mereka yang belum menikah. Hal ini dapat berpengaruh nantinya terhadap keturunan mereka dan semakin membebani kapasitas negara untuk menyediakan layanan kesehatan dan pendidikan yang berkualitas untuk anak.
Sebagian orang tua di daerah terpencil masih memiliki perspektif bahwa anak khususnya anak perempuan sebagai beban atau menganggap mereka sebagai komoditas yang mana dapat ditukar dengan hal lain. Hal ini tentu melanggar hak asasi anak yang seharusnya mendapatkan perlindungan, pendidikan, keadilan, sosial, kesehatan serta hak untuk memilih. Jika dilihat dalam konteks ini, sebagian anak melakukan pernikahan secara terpaksa demi memenuhi kebutuhan orang tuanya. Anak tidak diberikan ruang untuk memilih nasibnya sendiri. Dapat dilihat bahwa pernikahan anak merampas proses pertumbuhan dan perkembangan serta pendidikan yang layak.
Pernikahan anak secara langsung mengancam kondisi kesehatan serta kesejahteraan psikologis seorang anak, terutama anak perempuan. Pernikahan sering diikuti dengan kehamilan, bahkan ketika seorang anak perempuan belum siap secara fisik atau mental. UNFPA menjelaskan bahwa di negara berkembang, komplikasi dari kehamilan dan persalinan merupakan penyebab utama kematian di kalangan remaja perempuan berusia 15 hingga 19 tahun. Ketika seorang anak menikah, tidak jarang dari mereka sering merasa terpaksa untuk putus sekolah agar dapat memikul tanggung jawab rumah tangga.
Kesejahteraan psikologis anak yang terlibat dalam pernikahan anak memiliki kemungkinan untuk menurun, karena anak-anak akan terbebani dengan tugas-tugas orang dewasa yang seharusnya belum menjadi tanggung jawab mereka. Hal ini didukung oleh penelitian Burgess, et. al (2022) mengenai konsekuensi kesehatan mental dari pernikahan anak, dimana hasil menyebutkan bahwa pernikahan anak berpotensi besar akan menyebabkan depresi, kecemasan, pikiran dan upaya bunuh diri, serta tekanan emosional yang disebabkan oleh kemiskinan, intimate partner violence, isolasi, tantangan dalam melahirkan, harga diri dan hilangnya otonomi.
Pada saat ini tidak jarang berita yang mengangkat kasus kekerasan dalam rumah tangga dan hal ini mungkin saja dapat terjadi pada anak-anak. Anak yang memiliki kuasa yang rendah dalam rumah tangga lebih mungkin mengalami kekerasan oleh pasangannya atau bahkan lebih parah karena mendapat tekanan dari pihak keluarga dari pasangannya. Orang tua perlu menyadari bahwa pernikahan anak dapat merusak masa depan anak dan mengambil hak yang anak miliki secara paksa. Untuk itu diperlukan kerjasama dari seluruh lapisan masyarakat serta stakeholder terkait untuk menyebarkan kepedulian mengenai hak anak dan dampak yang dapat muncul akibat pernikahan anak sehingga fenomena ini dapat dicegah.[]
By: Siti Chairunnisa
References:
Burgess, R. A., Jeffery, M., Odero, S. A., Clarke, K. R. & Devakumar, D. (2022). Overlooked and unaddressed: A narrative review of mental health consequences of child marriages. PLOS Global Public Health. https://doi.org/10.1371/journal.pgph.0000131.
Cameriere, R., Palacio, L. A. V., Marchetti, M., Baralla, F., Cingolani, M. & Ferrante, L. (2020). Child brides: the age estimation problem in young girls. Journal of Forensic Odonto-Stomatology, 38(3).
Suhariyati, S., Haryanto, J. & Probowati, R. (2019). Trends of early marriage in developing countries: A systematic review. Journal Ners, 14(3). http://dx.doi.org/10.20473/jn.v14i3(si).17019.
UNICEF. (2021, June). Child Marriage. Retrieved from: https://www.unicef.org/protection/child-marriage
UNFPA. (2022, February). Child Marriage. Retrieved from https://www.unfpa.org/child-marriage
0 Comments
Leave A Comment