Guilt atau rasa bersalah merupakan emosi yang wajar dirasakan seseorang. Rasa bersalah sifatnya retrospektif, yang berarti seseorang mengevaluasi tindakannya yang salah, baik objektif atau asumsi, yang dilakukan di masa lalu. Orang yang merasa bersalah menilai bahwa ada tindakan (yang dilakukan atau tidak) yang berkontribusi atas pengalaman negatif yang dihasilkan. Meskipun rasa bersalah dinilai sebagai emosi negatif yang tidak nyaman untuk dirasakan, namun setiap emosi memiliki fungsinya masing-masing. 

Rasa bersalah membantu seseorang melakukan tindakan korektif untuk  menebus kesalahannya. Misalnya seseorang yang mendapatkan feedback negatif dari performa kerjanya, lalu ia berusaha bekerja lebih giat untuk meningkatkan performanya. Rasa bersalah juga membantu seseorang untuk meminta maaf dan memperbaiki relasi. Seseorang yang kelepasan membentak pasangannya karena sedang banyak pikiran dan menyadari bahwa hal tersebut salah, lalu meminta maaf pada pasangannya. Rasa bersalah juga membantu seseorang untuk mengontrol tindakannya di masa depan.

Akan tetapi, rasa bersalah dapat menjadi maladaptif ketika seseorang berusaha untuk mengontrol tindakannya di situasi yang tidak dapat dikontrol, seperti peristiwa traumatik. Peristiwa traumatik bersifat tiba-tiba dan memberikan tekanan besar sehingga korban merasa tidak berdaya dalam situasi tersebut. Penelitian menemukan bahwa peristiwa traumatik seperti kekerasan seksual pada anak, menyaksikan kekerasan yang dilakukan orangtua, perkosaan pada anak atau dewasa, kekerasan fisik dari orangtua atau pasangan atau orang lain berkaitan dengan rasa bersalah bagi penyintas. Penyintas seringkali dihantui pemikiran dari rasa bersalah seperti “kalau saja aku tau”, “aku mengabaikan tanda-tanda” atau “aku seharusnya bisa”.

“Di hari itu kereta memang cukup ramai sehingga aku berdesakan dengan penumpang lain. Aku berada di gerbong campur dan aku berdiri cukup berdempet dengan orang itu. Sebenarnya kan ini sudah pertanda yang aku harus aku kenali. Kalau saja aku tau bagaimana gelagatnya, aku harusnya bisa mencegah tangannya menyentuh tubuhku.”

Hindsight bias merupakan bentuk pemikiran dari rasa bersalah, yang mana ia menghayati bahwa ia dapat melakukan hal berbeda atau melakukan tindakan preventif apabila ia lebih sadar dengan situasinya saat itu. Penyintas meyakini bahwa tindakannya seolah-olah menjadi penyebab utama yang membuatnya memiliki pengalaman traumatis. Rasa bersalah yang dialami penyintas trauma membuatnya berpikir bahwa ia lalai atau tidak dapat bertanggung jawab atas dirinya. Terlebih, ketika peristiwa trauma terjadi berkali-kali dengan pelaku yang berbeda mengakibatkan penyintas semakin sulit untuk memahami penyebab situasi dan justru meyakini bahwa yang salah adalah tindakannya.

“Aku mendapatkan kekerasan dari pasanganku dan ini bukan pertama kalinya. Dulu pun aku pernah mendapatkan kekerasan dari orangtuaku. Aku kira itu karena perangai orangtuaku yang kasar. Namun ketika ini terjadi lagi, pasti ada kesalahan yang kulakukan sehingga mereka menyakitiku. Kalau aku tau, aku pasti bisa mencegah diriku disakiti seperti ini.”

Penelitian pada penyintas trauma menemukan bahwa okupasi terhadap rasa bersalah dapat memicu hambatan seseorang dalam menjalani hidup secara penuh saat ini. Penyintas menjadi terlalu menganalisis masa lalu dan membuat berbagai skenario bagaimana seharusnya ia melakukan hal berbeda. Hal ini justru membuat penyintas seolah tidak pernah bergerak dari peristiwa traumatis. Selain itu, penyintas menjadi terlalu khawatir untuk bertindak saat ini sehingga menimbulkan perilaku menghindari situasi yang dapat memicu trauma. Rasa bersalah yang intens juga dapat menimbulkan dan mempertahankan gangguan psikologis seperti PTSD dan depresi.

Berikut beberapa tips yang bisa kamu lakukan untuk mengelola perasaan bersalah sebagai penyintas:

  1. Sadari situasi yang dapat dan tidak dapat kamu kontrol. Okupasi terhadap rasa bersalah seringkali muncul akibat dorongan untuk mengontrol situasi yang sudah terjadi. Berikan ruang pada dirimu untuk mengikhlaskan bahwa peristiwa itu sudah terjadi dan kenali apa yang ada dalam kendalimu saat ini.
  2. Latihan mindfulness. Berkutat pada apa yang seharusnya kamu lakukan berbeda membuatmu seperti berada dalam situasi traumatis berulang kali. Latih atensimu untuk kembali fokus pada saat ini; dimana tempatmu berada dan apa yang ada di sekelilingmu.
  3. Apabila rasa bersalah begitu kuat untuk bisa kamu atasi sendiri, kamu bisa melatih bagaimana memprosesnya dengan profesional; belajar mengenal pikiran atau memori yang menyertai serta melatih bagaimana meregulasi emosi.[]

By: Karina Devany, M.Psi, Psikolog

Sumber:

Aakvaag, H. F., Thoresen, S., Wentzel-Larsen, T., Dyb, G., Røysamb, E., & Olff, M. (2016). Broken and guilty since it happened: A population study of trauma-related shame and guilt after violence and sexual abuse. Journal of affective disorders, 204, 16-23.

Kubany, E. S., & Watson, S. B. (2003). Guilt: Elaboration of a multidimensional model. Psychological Record, 53(1), 51-90.
Pugh, L. R., Taylor, P. J., & Berry, K. (2015). The role of guilt in the development of post-traumatic stress disorder: A systematic review. Journal of affective disorders, 182, 138-150.